Indo-Pasifik belum melihat adanya kerja sama konkret yang ditawarkan Amerika Serikat. Sementara itu, Indonesia semakin surut porsinya dalam dokumen kebijakan luar negeri adidaya itu.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indo-Pasifik masih menunggu bentuk nyata pendekatan baru Amerika Serikat pada kawasan. Pendekatan baru diharapkan lebih fokus pada stabilitas dan kesejahteraan kawasan.
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa pada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, I Gede Ngurah Swajaya di Jakarta, Selasa (15/2/2022), menyatakan, Indonesia masih mempelajari dokumen kebijakan baru Indo-Pasifik yang dikeluarkan Amerika Serikat (AS). Indonesia antara lain ingin memastikan apakah dokumen terbaru itu selaras dengan Proyeksi ASEAN tentang Indo-Pasifik atau ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP). “Strategi Indo-Pasifik yang diharapkan adalah (strategi) yang menciptakan kestabilan dan kesejahteraan di kawasan,” kata dia di Jakarta.
Sementara ini, Kementerian Luar Negeri RI menilai, inti dokumen kebijakan luar negeri AS yang dikeluarkan pada Jumat (11/2/2022) itu tidak berbeda dari pidato Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Desember 2022 di Universitas Indonesia. Dokumen itu mencerminkan adaptasi sikap AS pada aspirasi kawasan.
Dokumen itu tidak hanya membahas soal keamanan dan kebebasan berlayar seperti yang bolak-balik ditekankan AS di kawasan selama ini. Dokumen itu juga menyinggung soal kesejahteraan bersama, keterhubungan antarwilayah, perubahan iklim, dan penanggulangan pandemi.
Dokumen versi pemerintahan Joe Biden tersebut lebih sedikit menyinggung soal keamanan dan kebebasan berlayar dibandingkan dokumen era Donald Trump. Sebaliknya, dokumen Biden meningkatkan tekanan pada kemitraan, persekutuan, ekonomi, dan teknologi.
Sayangnya, dokumen versi Biden itu menyinggung lebih sedikit tentang Indonesia dibandingkan dokumen versi Trump. Dokumen Biden meningkatkan perhatian pada China, Korea Selatan, dan Taiwan. Adapun pandangan AS soal ASEAN dan APEC relatif tidak banyak berubah. Porsi perhatian AS kepada India yang lebih banyak ketimbang Indonesia juga berkurang.
Dokumen itu dikeluarkan di sela lawatan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke Pasifik Selatan. Dalam muhibah itu, Blinken mengumumkan Kedutaan Besar AS di Kepulauan Solomon akan kembali dibuka.
Pakar pada Center for Policy Research New Delhi, Brahma Chellaney, menyebut bahwa Biden lebih lunak terhadap China. “Dokumen itu menghindari penggunaan kata agresi untuk menggambarkan tindakan China pada India,” kata dia.
Ia meragukan keseriusan AS pada kawasan bila berkaca pada perkembangan saat ini. “AS begitu sibuk dengan penambahan pasukan Rusia di perbatasan Ukraina. Tidak pernah menanggapi penguatan pasukan China di perbatasan India selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Terpisah, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan, dokumen itu tetap mencerminkan AS yang menganggap China sebagai ancaman. Washington tidak mempromosikan kebebasan dan keterbukaan seperti diklaim dalam dokumennya. “Faktanya, mereka membentuk kelompok eksklusif melalui QUAD dan AUKUS. Mereka mendorong penguatan keamanan regional, sembari menyebarkan kekuatan nuklir baru yang bisa melemahkan stabilitas dan kedamaian kawasan,” tuturnya.
Ia menyebut, strategi terbaru AS tetap mencerminkan mental perang dingin. “Tidak ada yang baru dan hanya akan menghadirkan masalah serta perpecahan di Asia-Pasifik,” ujarnya.
Wang juga meragukan ketulusan AS pada kawasan. Sebab, AS selama bertahun-tahun mengabaikan kawasan dan sibuk membangun dominasi, alih-alih mengembangkan kerja sama.
Pendapat senada disampaikan Tess Newton Cain dari Griffith Asia Institute. Para pemimpin negara kepulauan di Pasifik, menurut Cain, merasa AS hadir hanya karena China sudah lebih dulu ada di sana. Dengan demikian, kepentingan kawasan tidak menjadi alasan utama kehadiran AS.
Para pemimpian negara di kawasan juga khawatir dengan perkembangan keamanan di kawasan, terutama setelah AS dan Inggris menawarkan kapal selam bertenaga nuklir ke Australia. Isu itu amat serius karena beberapa negara di kawasan pernah menjadi tempat uji coba nuklir AS pada 1946-1958.
Di Kepulauan Marshall saja, AS menggelar 67 kali uji coba nuklir. Dampaknya, banyak warga setempat terpaksa dievakuasi dan persoalan kesehatan berlangsung selama puluhan tahun.
Sementara peneliti Chatham House, Cleo Paskal, mengatakan, negara-negara kepulauan di Pasifik sejak lama merasa terpaksa berhubungan dengan Australia dan Selandia Baru. Negara-negara itu berpendapat bahwa Australia dan Selandia Baru lebih mirip penjajah dibandingkan mitra. “Waktu China masuk, mereka awalnya menyambut karena berarti ada pilihan baru,” ujarnya.
Sekarang dengan adanya kehadiran ulang AS di kawasan, harapannya itu bisa memberi pilihan baru bagi kawasan. Terlebih, AS juga mendorong Jepang dan negara mitra lainnya untuk masuk ke kawasan. Meski demikian, kawasan tetap menanti wujud konkret tawaran kerja sama ekonomi dari AS.
Beberapa waktu lalu, Gary Clyde Hufbauer, peneliti Peterson Institute of International Economics, sebuah lembaga kajian di Washington DC,menilai, pemerintahan Biden tidak punya kebijakan jelas pada Kerangka Kerja Sama Ekonomi Indo-Pasifik yang diumumkan pada Oktober 2022. Kerangka kerja ini digarap bersama oleh Blinken, Menteri Perdagangan Gina Raimondo, dan Kepala Kantor Perwakilan Dagang Katherine Tai karena Biden sibuk dengan pergulatan politik domestik.
”Sepertinya Menteri Blinken, Menteri Raimondo, dan Tai saling bersaing satu sama lain soal agenda apa yang akan diprioritaskan,” katanya.
Hufbaer berpendapat, negara-negara Indo-Pasifik belum menunjukkan minat pada kerangka kerja itu. Sebab, kerangka itu tidak mengikat dan tidak menawarkan kejelasan soal akses pasar dan potensi investasi.
Kalau membahas soal inisiatif ekonomi, AS biasanya sibuk merayu dan menawarkan hal tak jelas. Selalu minim realisasi investasi.
Pakar Amerika pada Fudan University, Song Guoyou, mengejek rencana kerangka kerja itu. ”Kalau membahas soal inisiatif ekonomi, AS biasanya sibuk merayu dan menawarkan hal tak jelas. Selalu minim realisasi investasi,” kata Hufbaer.
Tantangan lain pada usulan kerangka kerja sama itu adalah AS dianggap berusaha mengintervensi negara lain lewat isu perdagangan. Ini terekam sepanjang 2021 kala pemerintahan Biden bersikeras memasukkan isu kesejahteraan pekerja dan perubahan iklim dalam perjanjian dagang. Ini dipandang tidak menarik untuk sebagian negara di kawasan. (AFP/REUTERS/RAZ)