Perempuan barangkali jadi kunci kebangkitan kedua Jepang. Namun secara tradisi, perempuan masih jadi kelompok marginal dalam struktur sosial-politik di negara itu. Ada aturan pemberdayaan, tapi masih jadi macan kertas.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Jepang adalah ekonomi yang bangkit dari reruntuhan Perang Dunia II dan melesat secara impresif hingga mencapai gemilang negara maju sejak 1977. Namun, sukses itu mengalami stagnasi, antara lain, karena persoalan di sektor keuangan selama 1991-2001.
Jepang bertekad untuk kebangkitan kedua. Namun, realisasinya terasa berat. Apalagi, negara itu dihadapkan pada tantangan sosial dan ekonomi karena tren penduduk yang semakin menua.
Namun, apa jadinya jika benih pertumbuhan atau kunci kebangkitan itu justru berada di tangan perempuan, kelompok yang secara tradisi posisinya sangat marginal dalam struktur sosial-politik Jepang. Kesadaran itu sudah muncul sejak beberapa tahun silam. Tantangannya ada pada konsistensi pelaksanaan. Sampai hari ini.
Jepang telah memiliki Undang-Undang Kesetaraan Jender sejak 1986. Pada 2014, Perdana Menteri Shinzo Abe menggaungkan narasi bahwa perempuan merupakan masa depan Jepang. Pemerintahannya pun berjanji menempatkan perempuan dalam posisi yang bersinar di masyarakat.
Namun, pelaksanaannya tak sesuai harapan. Forum Ekonomi Dunia pada laporan 2021 menempatkan Jepang di peringkat 120 dari 156 negara dalam hal kesetaraan jender. Hanya 5 persen perusahaan Jepang yang memiliki tiga orang atau lebih perempuan di posisi petinggi senior. Sementara dua pertiga perusahaan di Amerika Serikat, 85 persen perusahaan di Inggris, dan 100 persen perusahaan di Perancis memiliki setidaknya tiga perempuan pada jabatan direktur.
”Kami menargetkan dalam sepuluh tahun mendatang, 50 persen petinggi perusahaan adalah perempuan,” kata Direktur Operasional Rekruit Holdings Ayano Senaha. Recruit Holdings adalah sebuah perusahaan konsultasi ketenagakerjaan yang bermarkas di Tokyo, Jepang. Pada 2020, mereka memiliki 10 persen perempuan yang menjabat posisi tinggi di perusahaan. Per April 2021, jumlahnya turun menjadi 1,21 persen.
Pada April 2021, Badan Layanan Keuangan Negara Jepang mengeluarkan peraturan bahwa semua perusahaan yang terdaftar di bursa efek wajib membuka data mengenai jumlah perempuan pegawai, jumlah perempuan yang menduduki posisi manajerial maupun di atasnya, besarnya kesenjangan upah antara perempuan dengan laki-laki, serta rasio pegawai laki-laki dan perempuan.
Ada juga ketentuan yang mewajibkan perusahaan membuka aturan perusahaan tentang program cuti haid, hamil, dan melahirkan. Demikian pula pemberian cuti ayah bagi para laki-laki yang baru memiliki anak. Setidaknya ada 4.000 perusahaan yang masuk dalam daftar peraturan tersebut.
Ketua Institut Pelatihan Direktur Jepang (BDTI) Nicholas Benes menerangkan, sejatinya seluruh perusahaan di dunia memerlukan kemajemukan. Dalam suasana global saat ini dan di masa depan, kemajemukan itu bahkan tidak sebatas urusan jender.
”Akan semakin baik jika ada perbedaan latar belakang ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, kewarganegaraan, dan keterampilan di dalam satu perusahaan. Ini akan meningkatkan daya kerja sama internal dan juga berbagai gagasan serta inisiatif untuk memajukan kinerja semua sektor,” tutur Benes.
Tantangan pemberdayaan perempuan di Jepang adalah pada pemikiran masyarakat yang masih sangat patriarkal. Peran laki-laki dan perempuan sangat dibatasi. Perempuan didikte untuk mengurus rumah tangga. Sementara laki-laki sepenuhnya bertugas mencari nafkah.
”Bahkan, di zaman modern dan Jepang sudah menjadi anggota G7 (tujuh negara terkaya di dunia), Jepang masih tidak bisa keluar dari pemikiran itu,” kata sosiolog dari Universitas Hiroshima, Chisato Kitanaka, kepada media Deutsche Welle.
Ia menjelaskan, dikotomi budaya ini berdampak negatif kepada perempuan maupun laki-laki. Tidak ada pembagian tugas yang berkeadilan di dalam keluarga. Selain itu, juga ada persoalan dunia kerja yang tidak memerhatikan kesejahteraan pegawai. Karyawan di Jepang dituntut bisa sering lembur tanpa boleh mengeluh kepada atasan.
Akibatnya, perempuan banyak mengundurkan diri setelah memiliki anak. Di sisi lain, kaum laki-laki menghadapi tekanan yang berat. Tingkat stres tinggi karena baik perempuan maupun laki-laki sukar mengaktualisasi diri. Ini kemudian berdampak kepada pendidikan anak yang akhirnya melanggengkan budaya tersebut.
Semua aturan yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, Kitanaka menambahkan, hanya menjadi macan kertas. ”Semua hanya omongan tak bergigi. Aturan-aturan itu tidak ada turunan teknis maupun sanksi sehingga perusahaan berani melanggar. Jika ketahuan pun tidak ada efek jeranya,” kata Kitanaka. (REUTERS)