Di tahun 2022, pendidikan kesehatan reproduksi global masih minim dan perempuan yang menanggung dengan kehamilan tak diinginkan serta risiko aborsi ilegal.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Pandemi Covid-19, kemiskinan, dan kini peperangan di berbagai wilayah dunia mengakibatkan terjadinya kehamilan tidak diinginkan atau KTD. Bahkan, Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNFPA mengeluarkan data terbaru pada hari Rabu (30/3/2022) yang mengungkapkan bahwa setengah dari kehamilan global sejatinya tidak diinginkan.
Data itu membuka mata mengenai peliknya permasalahan kesetaraan jender di muka Bumi. KTD berkaitan erat dengan diskriminasi terhadap perempuan, kemiskinan, kekerasan seksual, kekerasan domestik dan rumah tangga, ketiadaan pendidikan kesehatan reproduksi, dan minimnya infrastruktur kesehatan.
Menurut UNFPA, setiap tahun ada 121 juta kehamilan di dunia atau jika diturunkan ke jumlah yang lebih kecil menjadi 331.000 kehamilan setiap tahun. Akan tetapi, 60 persen dari kehamilan itu tidak diinginkan. Penyebab KTD bisa karena merupakan hasil perkosaan, baik oleh orang diluar pasangan maupun perkosaan di dalam pernikahan.
Adapula karena faktor budaya yang memaksa perempuan tidak boleh menolak ajakan berhubungan badan dari pasangan, meskipun kondisi fisik perempuan itu tidak memungkinkan untuk meneruskan kehamilan. Juga terdapat KTD - sekalipun perempuan tidak dipaksa menjalani hubungan bada - ia tidak memiliki akses ke alat kontrasepsi dan program keluarga berencana (KB).
“Setengah dari KTD itu berakhir dengan aborsi yang tidak aman. Aborsi seperti ini berisiko mengakibatkan infeksi, kerusakan permanen pada rahim maupun organ seksual perempuan, bahkan kematian,” kata Direktur UNFPA Natalia Kanem.
Lembaga itu menjelaskan, di dunia ada 257 juta perempuan yang ingin menghindari kehamilan dengan alasan kesehatan, kemiskinan, maupun pekerjaan. Akan tetapi mereka tidak memiliki akses ke kader KB maupun menjangkau alat-alat kontrasepsi. Termasuk alat kontrasepsi yang paling murah, yaitu kondom.
“Angka ini gunung es karena ini data hanya dari para perempuan yang bisa disurvei oleh UNFPA. Tekanan ekonomi dan budaya mengakibatkan stres kepada perempuan dengan KTD,” kata Kanem.
Menurut dia, mayoritas perempuan yang disurvey mengerti betul bahwa mereka tidak punya biaya dan akses ke makanan bergizi untuk menunjang kehamilan, apalagi akses ke fasilitas kesehatan untuk memantau kehamilan. Oleh sebab itu, mereka nekat mengambil risiko melakukan aborsi di klinik ilegal, dukun, bahkan ada pula perempuan yang mengaborsi diri sendiri dengan kawat panas ataupun batang kayu saking putus asanya.
Pandemi Covid-19 melumpuhkan perekonomian di berbagai negara. Kebijakan penutupan wilayah turut berdampak kepada hilangnya akses kepada alat KB. Di tahun 2020, UNFPA mencatat ada 1,4 juta KTD akibat Covid-19. Ini mencakup kehamilan yang dipaksakan karena para korban kekerasan domestik dan rumah tangga mau tidak mau tinggal bersama penganiaya mereka sepanjang penutupan wilayah (lockdown).
Di tahun 2021, Afghanistan menambah jumlah negara dengan risiko KTD tertinggi. Sejak tahun 2018, negara ini dilanda kemarau yang mengakibatkan kemiskinan akut dan anak putus sekolah. Selain itu, setelah Taliban berkuasa, akses perempuan ke pendidikan dan pekerjaan sangat terbatas. Perkiraan UNFPA, per tahun 2025 ada 4,8 juta KTD di Afghanistan.
Perang antara Rusia dengan Ukraina juga menambah risiko jumlah KTD dan kekerasan terhadap perempuan. Sejauh ini, belum ada data persis jumlah perempuan yang menjadi korban. Akan tetapi, dari data PBB, 20 persen perempuan yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik menjadi korban kekerasan seksual. Mereka mengalami perkosaan di tengah konflik. Ketika mereka berusaha mengungsi juga rentan jatuh ke dalam jaringan tindak pidana perdagangan orang.
Bencana alam turut menyumbang angka tingginya kerentanan perempuan terhadap KTD. Topan Rai yang menerjang Filipina pada Desember 2021 meratakan wilayah Visayas dan Mindanao. “Terdapat 4 juta perempuan yang menjadi penyintas Topan Rai dan 1 juta orang sedang hamil. Butuh intervensi KB segera untuk memastikan kehamilan berlangsung aman,” kata Direktur UNFPA Filipina Leila Joudane kepada media Business World.
Laporan UNFPA ini menerangkan, Finlandia merupakan negara di peringkat satu untuk pemakaian kontrasepsi dengan angka 79 persen. Artinya, laki-laki maupun perempuan di sana memiliki kesadaran mengenai KB. Kehamilan merupakan hal yang dipertimbangkan secara serius dan dicegah apabila pasangan menilai mereka belum siap secara mental, keuangan, ataupun faktor-faktor lain.
Setelah Finlandia, negara-negara lain dengan rekor kesehatan reproduksi dan kesadaran berkontrasepsi yang baik ialah Kanada, China, Kuba, Norwegia, Inggris, dan Irlandia. Mereka semua memiliki jumlah akses terhadap KB di atas 70 persen.
Surat kabar The Irish Times mengatakan, di Irlandia masih ada 6 persen perempuan yang tidak bisa mengakses program KB ataupun alat kontrasepsi. Mereka semua merupakan perempuan yang berada di dalam rumah tangga dengan kekerasan domestik sehingga tidak memiliki kedaulatan atas tubuh sendiri.
Direktur Pusat Kajian Perempuan Universitas Rutgers, Amerika Serikat, Yana Rodgers, menerangkan bahwa lembaga itu melakukan penelitian mengenai pendidikan kesehatan reproduksi di 51 negara berkembang. "Kami menemukan, semakin ditutup-tutupi informasi mengenai kesehatan reproduksi dan akses aborsi yang aman, semakin tinggi kekerasan seksual, KTD, dan aborsi ilegal di negara itu," ujarnya. (Reuters)