Putin Klaim Taklukkan Mariupol, Pasukan Ukraina Bertahan di Pabrik Baja
Pasukan Ukraina terkurung dalam sebuah pabrik baja di Mariupol. Putin tidak memerintahkan pasukannya menyerang, tetapi mengepung pabrik baja itu seolah seekor lalat pun tak bisa lolos hingga mereka kehabisan stok pangan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
MOSKWA, KAMIS – Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pasukannya yang berada di kota Mariupol, Ukraina, agar tidak menyerbu pabrik baja Azovstal. Pasukan Rusia diminta mengepung pabrik itu dari segala penjuru hingga seekor lalat pun tak bisa terbang keluar masuk. Apabila pabrik itu jatuh ke tangan Rusia, Putin menganggap itu sebagai simbol ”pembebasan” Mariupol.
Perintah tersebut dikeluarkan Putin di Kremlin, Moskwa, Kamis (21/4/2022). Sebelumnya, Ramzan Kadyrov, pemimpin milisi Chechnya pro-Rusia, mengusulkan agar pasukan Rusia menyerang pabrik baja Azovstal. Kadyrov berada di Mariupol untuk memimpin salah satu batalyon Rusia.
”Tidak perlu kita membuang-buang waktu dan tenaga untuk menyerbu. Kepung saja pabrik itu sampai tak seekor lalat pun bisa lewat. Nanti mereka yang di dalam akan menyerah karena kehabisan suplai,” kata Putin.
Pabrik baja Azovstal memiliki labirin terowongan dan bungker di area seluas sekitar 11 kilometer persegi. Mariupol, semula tempat tinggal sekitar 400.000 warga, sejauh ini menjadi medan pertempuran terhebat sekaligus tempat malapetaka kemanusiaan terburuk sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu.
Selama hampir dua bulan, ratusan ribu warga sipil di kota pelabuhan itu terkepung oleh bombardir pasukan Rusia. Para wartawan yang tiba di kota itu mengatakan, banyak mayat tergeletak di jalanan. PBB dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menyebut angka korban warga sipil belum diketahui. Moskwa menepis tudingan bahwa mereka menarget warga sipil dalam pengepungan di Mariupol.
Mengenai situasi di pabrik Azovstal, kantong terakhir pertahanan Ukraina di Mariupol, ada dua versi berbeda mengenai jumlah orang di dalamnya. Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu menyebut ada 2.000 tentara Ukraina yang berlindung di dalam pabrik itu. Adapun Wakil Perdana Menteri Ukraina Iryna Vereschuk mengungkapkan, di dalam pabrik ada 500 tentara Ukraina dan 1.000 lebih warga sipil.
Vereschuk meminta agar orang-orang di dalam pabrik, termasuk tentara, bisa diungsikan melalui jalur kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan perkataan Putin bahwa tentara Ukraina yang menyerah akan diperlakukan dengan terhormat dan mereka yang terluka akan diobati.
Namun, janji Putin ini ditanggapi dengan skeptis oleh Batalyon Azov, bagian dari tentara Ukraina yang bermarkas di Mariupol. Batalyon Azov mengakui ada beberapa anggotanya terperangkap di dalam pabrik Azovstal. ”Kami meminta pelibatan pihak ketiga sebagai penjamin bahwa Rusia akan menepati janji mereka,” ujar Svyatoslav Palamar, salah satu komandan Batalyon Azov.
Ditanya soal keputusan Rusia memblokade pabrik Azovztal tanpa segera menyudahi pengepungan, juru bicara Kementerian Pertahanan Ukraina menyebutkan, itu bukti ”kecenderungan skizofrenia” Putin.
”Penting memahami bahwa masih ada kehidupan di sana, nasib mereka (warga) berada di tangan hanya satu orang, Vladimir Putin. Dan semua korban tewas yang akan muncul setelah saat ini berada di tangannya juga,” ujar Vadym Boichenko, Wali Kota Mariupol, kepada kantor berita Reuters, Kamis.
Tak akan menyerah
Boichenko mengungkapkan, ia memperkirakan sekitar 90 persen kota Mariupol rusak berat atau hancur sejak invasi Rusia. ”Tidak ada rencana pembebasan kota itu. Yang ada adalah penghancuran,” katanya mengutip istilah Putin yang menyebut Rusia telah ”membebaskan” Mariupol.
”Hari ini di seluruh tingkatan, kami hanya berbicara satu hal—kami butuh gencatan senjata, kami butuh evakuasi penuh bagi 100.000 warga Mariupol yang menjadi tawanan pasukan Rusia, dan kami harus membebaskan semua orang di Azovstal,” ujar Boichenko.
’
Putin telah mengultimatum pasukan Ukraina untuk menyerahkan diri atau memilih mati. ”Tentara (Ukraina) tidak ada keinginan untuk menyerah, mereka ingin meninggalkan kota dengan senjata tetap di tangan dan melanjutkan perjuangan mempertahankan tanah air kami, Ukraina kami,” kata Boichenko, yang menjadi Wali Kota Moriupol sejak 2015 itu.
Pendekatan berubah
Pensiunan pejabat Angkatan Laut Inggris, Purnawirawan Laksamana Muda Chris Parry, menilai, pernyataan terbaru Putin soal langkah pasukannya di Mariupol mencerminkan adanya perubahan ”pendekatan dalam operasional” Rusia. Belajar dari kegagalan serangan dalam delapan pekan pertama, pasukan Rusia tidak lagi mengejar serangan cepat untuk menaklukkan kota-kota di Ukraina, khususnya di wilayah timur.
Kini mereka, lanjut Parry, mengubahnya menjadi perang dengan cara terus menekan lawan hingga lawan perlahan-lahan kehabisan suplai dan personel. ”Agenda Rusia saat ini adalah bukan untuk merebut tempat-tempat yang benar-benar sulit, tempat pasukan Ukraina bisa bertahan di pusat-pusat kota. Namun, (Rusia) berupaya dan merebut teritori serta mengepung pasukan Ukraina dan menyatakan kemenangan besar,” kata Parry.
Di Mariupol, keberadaan Batalyon Azov menjadi salah satu alasan Rusia menyerang kota itu. Alasan utama lainnya ialah memutus koneksi Ukraina ke Laut Azov serta membangun akses bagi tentara Rusia dengan kelompok gerakan separatis di Crimea dan Donbas. Batalyon Azov bermarkas di Mariupol. Rusia menuding sejumlah anggota batalyon itu sebagai penganut politik ekstrem kanan, bahkan neo-Nazi. Keberadaan mereka dijadikan alasan invasi dengan tujuan membebaskan Ukraina dari ideologi fasis.
Pemerintah Rusia mengatakan, mereka telah membunuh 4.000 tentara Ukraina di Mariupol. Selain itu, ada 1.478 tentara Ukraina yang menyerahkan diri. Terdapat pula 142.711 warga sipil yang diungsikan oleh Rusia. Wali Kota Boychenko dalam unggahan di akun media sosial Telegram miliknya mengatakan bahwa warga sipil harus mengikatkan kain putih di lengan mereka sebagai pertanda tidak akan melawan.
”Dulu, tentara Rusia selalu mengingatkan agar warga memakai kain putih. Sekarang, tentara Rusia asal menembak orang yang tidak memakai kain ini tanpa bertanya terlebih dulu,” ujar Boychenko.
Dukungan UE
Dukungan terhadap Ukraina dari Uni Eropa terus bertambah. Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez dan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen berkunjung ke Kiev untuk bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Dilansir dari surat kabar Spanyol, The Local, Sanchez membawa misi Spanyol untuk mempercepat akhir dari peperangan dan di saat yang sama terus memberi bantuan kemanusiaan untuk rakyat Ukraina. Kedutaan Besar Spanyol di Kiev juga rencananya dibuka kembali segera setelah ditutup ketika Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari. Spanyol telah menerima 134.000 pengungsi Ukraina dan 64.000 di antara telah diberi izin tinggal serta bekerja.
Sementara itu, China tetap meminta agar sanksi terhadap Rusia dihentikan. Presiden China Xi Jinping ketika berpidato di sebuah forum di Boao, Provinsi Hainan, China, mengatakan, sanksi tak menguntungkan siapa pun. Justru, rakyat global yang terkena getahnya dan tidak bisa pulih dari krisis ekonomi setelah didera pandemi Covid-19.
”Bagi China, hal terpenting ialah keamanan dan kestabilan global. Jangan sampai sebuah bangsa membangun dirinya dengan mengorbankan bangsa lain,” kata Xi, seperti dikutip oleh kantor berita China, Xinhua.
China dituduh bermain dua kaki. Di satu sisi, mereka tidak mengecam tindakan Rusia menyerang Ukraina. Di sisi lain, China juga menjaga jarak dari Rusia dan tidak mengirim bantuan persenjataan. Alasannya karena China sebagai negara pengekspor komoditas terbesar di dunia tidak mau terkena imbas sanksi Barat untuk Rusia dan mengacaukan pergerakan rantai pasok mereka. (AP/REUTERS/AFP/SAM)