Satu dekade lebih perang di Suriah meninggalkan jejak berdarah yang panjang. Salah satu jejak itu bakal tertanam di Ukraina melalui keterlibatan petempur Suriah.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Lebih dari satu dekade, sejak meletus pada 2011, perang saudara di Suriah telah berdampak tragedi kemanusiaan tak terperi. Hampir setengah juta orang tewas, sekitar separuh dari 23 juta populasi di negara itu sebelum perang menjadi pengungsi. Ini belum termasuk kerusakan infrastruktur.
Tragedi perang Suriah tak berhenti di situ. Dari satu dekade lebih perang itu, muncul generasi anak-anak muda yang hanya tahu cara bertempur. Mereka mahir menggunakan bermacam senjata dan berpengalaman perang di medan pertempuran. Tak ketinggalan, mereka terlatih dengan berbagai taktik dan strategi perang modern, terutama sejak Amerika Serikat, Rusia, Turki, dan negara utama lain ikut campur tangan di Suriah.
Dengan keterampilan tempur tersebut meski pertempuran di Suriah belum berakhir, para petempur Suriah—baik paramiliter maupun tentaranya—diekspor ke beberapa wilayah konflik. Jejak-jejak mereka ditemukan di Libya, Nagorno-Karabakh, Republik Afrika Tengah, dan kini di Ukraina. Perang menjadikan Suriah sebagai eksportir tentara bayaran.
Penyiapan paramiliter dan tentara Suriah untuk perang di Ukraina telah diberitakan banyak media. Mengutip diplomat Barat dan mitra Pemerintah Suriah di Damaskus, harian The New York Times melansir gelombang pertama mereka berkekuatan sedikitnya 300 tentara Suriah sudah digembleng dengan latihan militer di Rusia untuk dikerahkan ke Ukraina. Di antara mereka berasal dari Divisi Ke-25 Pasukan Khusus pimpinan Brigadir Jenderal Suheil al-Hassan.
Seperti diberitakan, ada cerita menarik soal Brigjen Hassan dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Hubungan keduanya terjalin cukup lama. Putin membantu rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah sejak September 2015. Putin kagum dan memuji ketangguhan pasukan Hassan dalam pertempuran di Suriah. Berkat kolaborasi pasukan Hassan dan Angkatan Udara Rusia, Assad memenangi banyak pertempuran penting di Suriah dan merebut Pangkalan Udara Kuweires, Palmyra, Aleppo, Hama, Deir Ezzour, Mayadin, dan Lembah Eufrat.
Tahun ini, ketika Rusia sejak 24 Februari lalu menginvasi Ukraina dan kini memfokuskan serangan di Donbas, termasuk di Donetsk dan Luhansk, Ukraina timur, Putin ingin mengulang sukses kerja sama dengan pasukan Brigjen Hassan di Ukraina. Mulai Selasa (19/4/2022), perang di Ukraina memasuki fase baru yang disebut Pertempuran Donbas. Ukraina, selain ditopang pasokan senjata Barat, dikabarkan juga diperkuat milisi asing dari beberapa negara, termasuk Suriah.
Hampir dua bulan perang Ukraina berkobar. Situasi di Ukraina, kata Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard, adalah ”pengulangan apa yang kita lihat di Suriah”. Seolah tragedi perang satu dekade lebih di Suriah dan perang di Ukraina adalah satu mata rantai. Mata rantai tragedi yang meluluhlantakkan kemanusiaan. Sangat menyedihkan, bukannya mereda, perang Ukraina kini semakin membara.