Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia diharapkan bisa mengajak Pemerintah China memperhatikan pemenuhan hak asasi manusia kelompok etnis minoritas, terutama dari rumpun Turkic.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, KRIS MADA
·6 menit baca
AP PHOTO/NG HAN GUAN, FILE
Petugas keamanan Uyghur berpatroli di sekitar MAsjid IdKah di Kashgar, Provinsi Otonom Xinjiang, China pada 4 November 2017.
Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur atau UHRP yang berbasis di Amerika Serikat mendatangi Indonesia untuk menggalang dukungan dari berbagai pihak terkait penegakan hak asasi manusia di Provinsi Otonom Xinjiang, China. Kelompok etnis minoritas Uyghur maupun etnis selain mayoritas China mengalami pelanggaran hak untuk menerapkan kebudayaan masing-masing dan kerap berujung kepada persekusi atau penahanan tanpa proses peradilan.
“Kami mengajak masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara, baik sipil maupun pemerintah, untuk mengambil sikap mengenai pelanggaran HAM oleh Pemerintah China kepada kaum minoritas Uyghur, Kazakh, dan etnis-etnis lain di China,” kata Direktur Advokasi Global UHRP Louisa Greve di Jakarta, Selasa (18/4/2022).
Ia berkunjung bersama Sekretaris Jenderal UHRP Omar Kanat. Mereka antara lain mampir di kantor pusat Muhammadiyah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam diharapkan bisa menggaungkan isu HAM ini dan mendorong Pemerintah China untuk memenuhinya.
Greve menjelaskan, kasus kelompok etnis minoritas Turkic yang antara lain terdiri dari orang Uyghur dan Kazakh di China mengalami diskriminasi ganda. Hal ini berbeda dengan kelompok etnis Hui yang juga beragama Islam, tetapi secara etnis masuk ke dalam suku bangsa China dan memang berbahasa Mandarin.Mereka tidak mendapat tekanan dari Pemerintah China.
“Suku bangsa Turkic selain beragama Islamjuga memiliki bahasa dan tradisi sendiri sehingga mereka benar-benar berbeda dari mayoritas masyarakat China. Perbedaan ini membuat mereka didiskriminasi dan dipaksa untuk melupakan identitas masing-masing. Caranya melalui penangkapan dan indoktrinasi di kemah-kemah kerja paksa. Bahkan, juga ada pemaksaan sterilisasi untuk menekan jumlah penduduk Uyghur,” papar Greve.
Menurut dia, persekusi ini dimulai sejak tahun 2012 ketika Xi Jinping terpilih sebagai Presiden China sekaligus Sekretaris Partai Komunis China. Ia menekankan pentingnya menguatkan sosialisme ala China. Segala kegiatan, termasuk agama di negara tersebut harus sejalan dengan prinsip tersebut.
Hal ini semestinya tidak bermasalah jika tidak ada paksaan. Greve mengungkapkan, segala praktik keagamaan diatur oleh negara. Tokoh-tokoh agama merupakan orang-orang yang ditunjuk pemerintah. Kotbah-kotbah di rumah-rumah ibadah, termasuk ketika shalat Jumat di masjid maupun di rumah-rumah ibadah agama lain semua ditulis oleh negara. Imam hanya membacakan.
“Sesungguhnya, tidak ada kebebasan beragama yang hakiki di China. Masyarakat tidak diizinkan menekuni dan mencari penafsiran agama masing-masing secara kritis. Ritual-ritual agama tidak lagi memiliki konteks spiritualitas, melainkan semata-mata penampilan ruitn,” tutur Greve.
Bagi suku bangsa Turkic, selain kekangan beragama sesuai penafsiran yang bebas, juga ada pemaksaan agar mereka tidak memakai bahasa lokal maupun mempraktikkan adat istiadat turun temurun. Sejak tahun 1990-an, orang-orang Uyghur mulai banyak yang berunjuk rasa kepada Pemerintah China agar hak-hak atas identitas budaya mereka dipenuhi. Akan tetapi, mereka ditangkap dan dijatuhi tuduhan separatisme ataupun terorisme.
“UHRP ingin mengingatkan kembali kepada Pemerintah China bahwa konstitusi negara menjamin adanya kebebasan beragama. Oleh sebab itu, kami ingin meminta dukungan internasional agar mendorong China menepati konstitusi tersebut. Tidak hanya bagi warga Uyghur, tetapi bagi semua orang untuk bisa beragama sesuai keyakinan masing-masing dengan penafsiran yang kritis,” kata Greve.
CCTV VIA AP VIDEO, FILE
Tangkapan layar dari video oleh stasiun televisi nasional China, CCTV, menunjukkan anak-anak kelompok etnis minoritas Uyghur di Provinsi Otonom Xinjiang sedang membaca buku pelajaran berbahasa Mandarin. Rekaman diambil di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Vokasi Hotan.
Selain itu, UHRP juga mendorong agar Pemerintah China menghentikan seluruh program asimilasi masyarakat minoritas karena ini menghilangkan identitas setiap suku bangsa. Salah satu yang disoroti UHRP adalah Program Bunga Delima. Ini adalah program pertukaran pelajar antara anak Uyghur dengan anak Han yang merupakan suku bangsa mayoritas di China.
Program ini bermasalah karena keikutsertaan dari kedua belah pihak tidak berbasis sukarela, mereka ditekan untuk mengikuti pertukaran ini. Aspek kedua, Program Bunga Delima ini bukan bertujuan agar anak Han dan anak Uyghur sama-sama belajar mengenai perbedaan kelompok etnis masing-masing dan saling menghormati, melainkan untuk mengikis identitas etnis anak Uyghur sehingga mereka bisa seperti masyarakat China kebanyakan. Ini disebut dengan genosida budaya secara sistematis.
Sejauh ini, Beijing terus mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM di Xinjiang. Mereka menggunakan data statistik sebagai ukuran ketiadaan diskrimiansi. Misalnya, pendapatan domestik bruto Xinjiang pada tahun 2019 hanya 900 miliar yuan. Di tahun 2021 naik menjadi 1,37 triliun yuan dan ada 30,7 juta warganya berhasil dientaskan dari kemiskinan.
Angka harapan hidup warga Xinjiang juga naik dari 50-an tahun menjadi 74 tahun. “Suku bangsa Uyghur tetap menjadi mayoritas di Xinjiang. Jadi, tuduhan genosida itu bohong,” kata Tohti Yaqup, Wakil Direktur Jenderal Komite Kongres Rakyat Xinjiang dalam jumpa pers daring dengan sejumlah wartawan Indonesia pada 19 November 2021.
AP PHOTO/JOSEPH NAIR
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi
Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga mengumumkan bahwa China mempersilakan Ketua Komisi Tinggi Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa Michelle Bachelet untuk berkunjung ke Xinjiang. Wang mengatakan, kemah-kemah pendidikan yang dilakukan China mencontoh program serupa yang dilakukan antara lain oleh Inggris dan Perancis untuk deradikalisasi.
Wang Yi mengatakan, Xinjiang selalu terbuka untuk disambangi orang asing yang tidak memiliki bias atau motif tertentu. Beijing siap menerima lawatan siapa pun, termasuk Komisioner Perserikatan Bangsa-bangsa untuk HAM Michelle Bachelet.
Kala berpidato di Majelis Umum Dewan HAM PBB pada Maret 2022 di Geneva, Wang menyebut perekonomian Xinjiang melejit 160 kali dalam 60 tahun terakhir. Pendapatan per kali naik 30 kali dan populasi suku Uighur naik dari 2,2 juta menjadi 12 juta jiwa. “Untuk setiap 530 muslim di Xinjiang ada satu masjid. Rasio ini lebih tinggi dibanding banyak negara barat atau bahkan negara muslim sekalipun. Semua tuduhan pemusnahan etnis, kerja paksa, dan pelarangan beribadah adalah kebohongan,” ujarnya.
Wakil Tetap China untuk Kantor PBB di Geneva Chen Xu mengatakan, lawatan Bachelet yang direncanakan pada Mei 2022 akan disambut Beijing. “Kami berharap Komisaris Tinggi dan kantornya tetap menghormati kedaulatan, HAM, dan langkah pembangunan setiap negara sesuai kondisi masing-masing,” ujarnya.
Beijing siap berdialog dengan siapa pun soal Xinjiang, selama dilakukan secara tulus. China tidak menerima ajakan dialog yang dikemas dengan tudingan tanpa bukti.
Juru bicara Kemenlu China Wang Wenbin dan Zhao Lijian menyampaikan hal senada. Beijing, menurut Zhao, selalu menentang setiap upaya manipulasi oleh negara lain.
Wang mengatakan, berbagai negara berulang kali menggunakan beragam modus untuk memeras China lewat isu Xinjiang. Salah satunya tudingan kerja paksa terhadap etnis minoritas di Xinjiang. Beijing mengaku selalu memberikan hak setara kepada semua pekerja tanpa memandang sukunya. Pemerintah memastikan kesetaraan itu berlaku secara sosial dan ekonomi. Setiap orang bisa menikmati hasil pembangunan.
Peneliti pada Zhejiang Normal University, Wang Jiang, mengatakan bahwa Barat kerap tidak adil. Kebijakan China di Xinjiang didasarkan pada upaya memberantas radikalisme dan meningkatkan kesejahteraan. Upaya itu kerap dipandang sebagai penindasan oleh Barat. “Mereka sering menyebarkan disinformasi soal HAM di sana (Xinjiang),” kata dia kepada Global Times.
Padahal, China selalu siap menerima siapa pun yang ingin mencari tahu soal Xinjiang. Syaratnya, upaya itu tidak didasari motif mencari-cari kesalahan China.
Karena itu, Wang Jiang berharap Bachelet dan timnya tidak terpengaruh oleh informasi sepihak dari Barat. Lawatan ke Xinjiang akan menjadi kesempatan bagi Bachelet dan timnya melihat Xinjiang secara obyektif. (AFP/Reuters)