China Terus Yakinkan Indonesia, Xinjiang Baik-baik Saja
China terus berupaya agar Indonesia berada di sisi mereka, termasuk menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Salah satunya, advokasi dan kampanye bahwa Xinjiang merupakan tempat yang baik.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menghadapi maraknya kritik terhadap isu pelanggaran hak asasi manusia di Provinsi Otonomi Xinjiang, Kedutaan Besar China di Jakarta menyelenggarakan jumpa pers bersama pemerintah daerah Xinjiang. Tujuannya ialah menghadirkan kesaksian masyarakat Xinjiang beserta sejumlah tokoh di Indonesia untuk menunjukkan kepada publik Indonesia bahwa Xinjiang adalah tempat yang baik.
Jumpa pers itu diadakan secara daring pada hari Kamis (18/11/2021). Hadir sebagai tuan rumah acara Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian. ”China dan Indonesia adalah sahabat dan mitra yang sangat dekat. China merupakan investor dan mitra dagang nomor satu bagi Indonesia,” tuturnya.
Ia mengungkapkan bahwa dalam diplomasi vaksin Covid-19, China memasok 80 persen vaksin yang dipakai oleh Indonesia atau sekitar 247 juta dosis. Selain itu, lima perusahaan farmasi China juga membangun kerja sama dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk mengembangkan penelitian dan produksi vaksin Covid-19 secara lokal.
Dalam acara itu ditayangkan berbagai video yang menunjukkan bahwa Xinjiang memiliki ragam kesenian yang kaya. Terdapat pula cuplikan mengenai tempat-tempat pelatihan vokasi serta upaya Pemerintah China mengentaskan kemiskinan dari masyarakat yang berhasil dicapai pada tahun 2020.
”Pendapatan domestik bruto Xinjiang sekarang 1,37 triliun yuan. Tahun 2019 saja masih 900 miliar yuan. Ada 30,7 juta penduduk yang berhasil diangkat dari garis kemiskinan,” kata Tohti Yaqup, Wakil Direktur Jenderal Komite Kongres Rakyat Xinjiang.
”Angka harapan hidup sekarang 74 tahun dan dari 25,5 juta penduduk Xinjiang, suku bangsa Uighur ada 11 juta jiwa. Segala tuduhan genosida dan pelanggaran hak asasi manusia dari negara-negara Barat itu murni fitnah,” kata Yaqup.
Selain dari pejabat daerah, terdapat pula kesaksian dari perwakilan masyarakat Xinjiang beretnis Uighur, seperti dari mahasiswa, ketua kelompok perempuan, dan lulusan pusat pelatihan kerja. Semua mengatakan bahwa kehidupan mereka membaik dan memperoleh pekerjaan yang stabil serta menyejahterakan keluarga.
Dari Indonesia, turut memberi testimoni Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin dan Kiai Haji Said Aqil Siroj yang merupakan Ketua Umum (Rais Tanfidziyah) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
”Delegasi NU sudah beberapa kali ke Xinjiang menemui ulama setempat. Mereka umumnya lulusan Arab Saudi dan Mesir. Kami berbicara dengan memakai bahasa Arab. Semua mengatakan tidak ada larangan beragama. Perbedaan dengan di Indonesia ialah di China semua kegiatan keagamaan hanya boleh dilaksanakan di tempat ibadah resmi atau di rumah masing-masing,” ujarnya.
Terkait pertanyaan mengenai genosida sistematik terhadap komunitas minoritas,terutama yang beragama Islam, Wakil Ketua Asosiasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Xinjiang Gulnar Obul menerangkan bahwa pengaturan populasi di provinsi tersebut sesuai dengan program keluarga berencana dari pemerintah pusat. Menurut dia, program KB masuk ke Xinjiang jauh lebih terlambat dibandingkan dengan wilayah lain di China sehingga banyak disorot media.
Pernyataan Obul didukung oleh pengakuan dari Ayqamar Tursun, seorang perwakilan kelompok perempuan dari Ahu, sebuah wilayah di kota Kirgiz. Ia mengatakan bahwa perempuan Uighur umumnya memiliki dua hingga tiga anak. Mereka semua mendapat pendidikan gratis sejak prasekolah. Kaum perempuan juga memperoleh cek kesehatan tanpa biaya serta banyak yang telah memasuki bursa tenaga kerja untuk mengangkat perekonomian keluarga.
Strategi ekonomi
Juru Bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, Elijan Anayat, memaparkan bahwa tuduhan pelanggaran HAM dan pemberlakuan sanksi ekonomi dari negara-negara Barat atas komoditas dari Xinjiang menyakiti perekonomian lokal. Masyarakat merupakan pihak yang dirugikan akibat ekspor tekstil, panel surya, dan berbagai hasil pertanian terhalang.
Sejumlah bisnis merugi, terutama yang mengandalkan pertukaran dengan mata uang dollar AS. Anayat menuturkan, sanksi-sanksi tersebut bertentangan dengan hukum internasional dan aturan perdagangan global karena ikut campur pada urusan dalam negeri.
”Kami berhadapan dengan masalah adanya kelompok separatis dan pelaku aksi terorisme. Jangan satu masyarakat yang dituduh dan terkena imbas,” ujar Anayat.
Sebagai strategi menghadapi pemboikotan, Xinjiang mengubah target pasar ke pangsa domestik dan negara-negara di luar Barat. Perusahaan-perusahaan yang diboikot oleh Barat ini juga diberi insentif pajak agar tetap bisa berproduksi. Sejumlah pembenahan juga dilakukan, seperti memperbaiki tata kelola ketenagakerjaan, lingkungan, dan meningkatkan penelitian serta pengembangan teknologi kunci untuk pembangunan.
Tuduhan dari Barat
Anayat mengungkapkan, beberapa perusahaan yang menganggap dirinya dirugikan oleh tuduhan pelanggaran HAM juga menggugat lembaga dan individu dari Barat yang mereka nilai menyebar fitnah. Salah satu yang digugat ialah antropolog asal Jerman, Adrian Zenz, yang meneliti mengenai kemah-kemah konsentrasi serta reorientasi masyarakat Uighur di Xinjiang.
Zenz ketika menjadi pembicara dalam Kongres Uighur Dunia yang diadakan di kota Praha, Ceko, pada 11-14 November lalu, mengatakan bahwa secara global, perhatian yang diberikan terhadap masalah pelanggaran HAM sangat kurang. Dunia internasional seolah tidak tahu langkah yang harus diambil.
Dalam wawancara dengan Radio Free Europe, Zenz mengatakan bahwa ada diskriminasi sistematis di China terhadap kelompok etnis Uighur, Kazakh, Kyrgyz, dan minoritas lainnya. Ia juga mendokumentasikan pemaksaan sterilisasi kepada perempuan, memasukkan orang-orang yang menentang pemerintah ke penjara untuk dipekerjakan secara paksa, serta pendidikan reorientasi bagi generasi muda minoritas.
Zenz tidak sendirian. Pada tahun 2019, surat kabar AS, The New York Times, memperoleh Berkas Xinjiang, yaitu dokumen sebanyak 400 halaman mengenai pandangan Pemerintah China terhadap provinsi tersebut. Di dalamnya dipaparkan strategi sosial, politik, ekonomi, dan budaya untuk menekan kelompok etnis minoritas di Xinjiang yang disusun oleh Partai Komunis China (PKC).
Berkas Xinjiang mencakup pidato Sekretaris Jenderal PKC sekaligus Presiden China Xi Jinping pada tahun 2014 mengenai separatisme. Menurut dia, guna mencegah munculnya ideologi yang tidak sejalan dengan PKC, dibutuhkan pemrograman ulang para anggota masyarakat. Cara yang efektif ialah melalui kemah-kemah reorientasi. Xi mengajak agar para pejabat mengacu pada teknik ”Perang Melawan Terorisme” yang dilakukan AS pasca-serangan 11 September 2001 oleh Al Qaeda.
”Polisi secara sistematis menjemput paksa warga, termasuk perempuan dan remaja dari rumah mereka di tengah malam untuk dianiaya. Mayoritas dari mereka bukan teroris ataupun pendukung gerakan separatis, melainkan warga biasa. Ini adalah teror yang sebenarnya dan dilakukan oleh negara,” kata Jiang, seorang mantan polisi China, ketika diwawancara oleh CNN Oktober lalu.