Pegiat HAM Protes atas Langkah Tesla Buka Ruang Pamer di Xinjiang
Langkah perusahaan pembuat mobil listrik, Tesla, untuk tetap beroperasi di China, bahkan membuka cabang di Xinjiang, menuai kecaman para pembela hak asasi manusia. Tesla dianggap mendukung opresi China di wilayah itu.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Berbagai lembaga pembela hak asasi manusia dan perwakilan Pemerintah Amerika Serikat mengemukakan keberatan terhadap perusahaan pembuat mobil listrik, Tesla, atas keputusannya membuka ruang pamer di Urumqi, ibu kota provinsi otonomi Xinjiang di China. Mereka menilai langkah Tesla ini sama dengan mendukung Pemerintah China melakukan opresi—bahkan genosida—kepada suku bangsa Uighur dan kelompok etnis minoritas lainnya di wilayah tersebut.
Protes resmi dikeluarkan oleh Dewan Relasi Amerika-Islam (CAIR). ”Pemimpin Tesla, Elon Musk, harus menghentikan dukungan ekonomi terhadap genosida yang dilakukan oleh China,” kata Ibrahim Hooper, Direktur Komunikasi CAIR, Selasa (4/1/2022).
Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Senator Marco Rubio melalui akun media sosialnya. Menurut dia, Tesla secara terang-terangan memberi dukungan kepada sistem pemerintahan dan ekonomi yang mencari keuntungan dengan mengeksploitasi manusia melalui kerja paksa dan berbagai macam kekerasan. Tindakan ini, kata Rubio, tidak mencerminkan nilai demokrasi yang dianut oleh AS.
Musk secara pribadi menghadiri pembukaan ruang pameran di Urumqi pada tanggal 31 Desember 2021. Melalui akun resmi Tesla di media sosial China, Weibo, Musk mengatakan bahwa ia mengakhiri tahun 2021 dengan indah. Ia mengakui menanti pemenuhan ambisi memopulerkan mobil listrik di negara itu.
China adalah pasar yang besar bagi Tesla. Pada tahun 2021, mereka berhasil menjual 53.000 unit mobil listrik. Sebagian besar mobil Tesla di China sudah diproduksi di dalam negeri karena Tesla membuka pabrik di Shanghai pada tahun 2019. Perusahaan ini juga memiliki dukungan yang kuat dari Pemerintah China meskipun Beijing pada Desember lalu mengkritik satelit Space X milik Tesla yang beberapa kali hampir menabrak satelit milik China.
Negara-negara Barat mengecam perlakuan Pemerintah China terhadap kelompok etnis minoritas di Xinjiang. Selain itu, China juga menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang mewajibkan semua perusahaan internasional menyetor data keluar dan masuk mereka kepada pemerintah. Sejumlah perusahaan, seperti Microsoft, LinkedIn, dan Yahoo, memutuskan meninggalkan China karena merasa langkah negara itu tidak sesuai dengan nilai kebebasan dan demokrasi yang mereka yakini.
Namun, tidak semua perusahaan Barat berani mengambil langkah tersebut. Pembuat gawai pintar, Apple, merupakan contoh korporasi yang mau bermain sesuai dengan aturan China. Mereka tidak mau kehilangan rantai pasok dari China yang memproduksi hampir seluruh bahan baku teknologi Apple.
Perusahaan-perusahaan lain turut menghadapi dilema. Perusahaan perangkat lunak, Intel, akhirnya menyerah dan meminta maaf kepada Pemerintah China. Sebelumnya, mereka menyatakan menghentikan membeli segala jenis bahan baku yang diproduksi di Xinjiang karena tidak mau terlibat dalam rantai pekerja paksa. China kemudian mengeluarkan kecaman terhadap Intel yang membuat mereka takluk.
Risiko boikot juga dihadapi oleh toko serba ada dari AS, Walmart dan Sam’s Store. Mereka meniadakan berbagai produk buatan Xinjiang di toko-toko seantero China yang memancing kemarahan publik. Pemerintah China mengeluarkan ancaman pemboikotan kepada kedua perusahaan itu. Tahun 2021, waralaba toko pakaian asal Swedia, H&M, mengalami penurunan penjualan 23 persen di China karena hal yang sama.
”China bagaikan buah simalakama bagi perusahaan-perusahaan Barat. Jika hengkang, mereka akan kehilangan pasar yang besar. Akan tetapi, pada saat yang sama, reputasi mereka secara global bisa ternoda. Pasar China ini berisiko menjadi ’tumit Achilles’ bagi Tesla,” kata Ross Gerber, Direktur Firma Pengelolaan Kekayaan dan Investasi Gerber Kawasaki kepada media Yahoo Finance.
Dalam jumpa pers dengan sejumlah media arus utama di Indonesia, Juru Bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang Elijan Anayat mengungkapkan bahwa pihaknya mengajukan gugatan hukum terhadap sejumlah perusahaan internasional yang, menurut Pemerintah China, memfitnah mengenai pelanggaran HAM di Xinjiang. Perusahaan-perusahaan ini menolak mengimpor produk dari Xinjiang, seperti kapas dan panel surya.
Dari sisi perusahaan Xinjiang yang dirugikan oleh tuduhan itu, Anayat mengatakan bahwa mereka juga menggugat antropolog asal Jerman, Adrian Zenz. Ia merupakan peneliti yang menerbitkan makalah mengenai kemah-kemah konsentrasi di Xinjiang. Menurut Zenz, yang juga didukung oleh temuan surat kabar AS, The New York Times, ada 1 juta warga Xinjiang dimasukkan ke kemah, baik untuk indoktrinasi maupun bekerja paksa. (AP/REUTERS)