Terapkan Kerja Paksa di Xinjiang, 5 Perusahaan China Masuk Daftar Hitam AS
AS menyebutkan, perbudakan adalah bagian dari upaya sistematis Beijing untuk menindas minoritas Uighur dan warga minoritas lainnya di Xinjiang, China barat laut. Beijing membantahnya.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Amerika Serikat memasukkan lima perusahaan China dalam daftar hitam karena diduga menjalankan praktik kerja paksa atau perbudakan di Xinjiang, China barat laut. Satu perusahaan di antaranya terkena larangan ekspor bahan panel surya dan empat lainnya dijatuhi pembatasan perdagangan.
Dalam pernyataan tertulis, Gedung Putih menyebutkan bahwa Hoshine Silicon Industry Co yang beroperasi di Xinjiang dilarang mengekspor lagi produknya ke AS. ”Dari informasi yang diperoleh menunjukkan, Hoshine menggunakan sistem kerja paksa untuk menghasilkan produk berbasis silika,” kata pernyataan Gedung Putih, Kamis (24/6/2021) di Washington DC, AS.
Gedung Putih mengutip janji G-7 baru-baru ini untuk membersihkan rantai pasokan global sebagai bagian dari tindakannya. Secara terpisah, Departemen Perdagangan AS menambahkan lima entitas China ke daftar hitam ekonomi AS atas tuduhan kerja paksa atau perbudakan di Xinjiang, termasuk Hoshine. AS tidak melarang impor semua produk silika dari Xinjiang, kecuali untuk Hoshine.
Menurut Departemen Perdagangan AS, Hoshine dilarang mengekspor produk berbasis silika. Empat perusahaan Xinjiang lainnya dikenai pembatasan ketat untuk memperoleh komoditas, perangkat lunak, dan teknologi AS. Kelima perusahaan itu, menurut Washington, masuk dalam daftar hitam karena terlibat kerja paksa.
”Tindakan ini menunjukkan komitmen kami untuk mengenakan tarif tambahan kepada Republik Rakyat China (RRC) karena terlibat dalam praktik kerja paksa yang kejam dan tidak manusiawi,” kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.
”AS percaya bahwa kerja paksa yang disponsori negara di Xinjiang merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan contoh praktik ekonomi RRC yang tidak adil,” kata Gedung Putih.
Menurut Gedung Putih, sistem perbudakan adalah bagian dari upaya sistematis Beijing untuk menindas jutaan etnis minoritas Muslim Uighur dan warga minoritas lainnya di Xinjiang. Upaya seperti itu meliputi antara lain kekerasan seksual dan penahanan skala besar di kamp-kamp kerja paksa di Xinjiang.
Empat perusahaan lainnya termasuk dua produsen bahan polisilikon untuk industri panel surya, yakni Xinjiang Daqo New Energy dan Xinjiang GCL New Energy Material Technology, prosesor aluminium Xinjiang East Hope Nonferrous Metals, dan Xinjiang Production and Construction Corps milik negara, yang sudah terkena pembatasan untuk bisnis yang berhubungan dengan kapas.
Tindakan tersebut memukul produsen dari daerah yang memasok hampir setengah dari polisilikon dunia yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri fotovoltaik surya dan industri elektronik.
Seorang pejabat dari Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS, yang mengeluarkan larangan ekspor terhadap Hoshan, memperkirakan bahwa AS mengimpor barang dari perusahaan tersebut senilai 150 juta dollar AS selama 30 bulan terakhir.
Ditanya apakah tindakan perdagangan AS dapat bertentangan dengan upaya negara itu dalam mempromosikan energi surya, Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Alejandro Mayorkas mengatakan, larangan impor produk polisilikon dan solar yang dihasilkan dari kerja paksa tidak akan menghambat tujuan energi bersih pemerintahan Presiden Joe Biden.
”Tujuan lingkungan (energi bersih) kami tidak untuk dicapai melalui pekerjaan para buruh di lingkungan kerja paksa,” kata Mayorkas pada konferensi pers. ”Kami akan membasmi kerja paksa di mana pun itu berada dan menghentikan sistem kerja paksa adalah yang paling penting dan mencari produk alternatif,” kata Mayorkas.
Larangan impor Hoshine menambah tindakan serupa terhadap produsen dan pengguna produk kapas dan tomat serta produk perawatan rambut dari wilayah tersebut. AS juga baru-baru ini memberlakukan larangan impor dari perusahaan perikanan China terkemuka, yakni Dalian Ocean, karena penggunaan kerja paksa, yang tidak terkait dengan Xinjiang dan Uighur.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian bereaksi terhadap laporan tentang tindakan AS tersebut. Dia mengatakan, Kamis kemarin, bahwa China akan mengambil ”semua tindakan yang diperlukan” untuk melindungi hak dan kepentingan perusahaannya.
Hoshine Silicon Industry mengatakan pada platform investor interaktif bahwa mereka mendukung pernyataan Kementerian Luar Negeri China. Dikatakan, perusahaan tidak mengekspor silikon industri ke AS secara langsung dan dampaknya terhadap bisnisnya sangat terbatas.
Adapun John Smirnow, Penasihat dan Wakil Presiden Urusan Strategi Pasar pada Asosiasi Industri Energi Surya, asosiasi industri surya utama AS, mengatakan bahwa kelompoknya mendukung penuh langkah pemerintahan Biden. ”Ada terlalu banyak risiko untuk beroperasi di sana (di Xinjiang),” kata Smirnow.
Secara terpisah, Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pencegahan Kerja Paksa Uighur ke Senat, Kamis waktu Washington DC. RUU itu diajukan oleh Senator Republik Marco Rubio dan Senator Demokrat Jeff Merkley.
Jika lolos legislasi menjadi UU, peraturan perundang-undangan AS tersebut akan melarang semua produk dari Xinjiang. Kecuali jika para eksportir dapat menunjukkan bahwa produk-produk mereka tidak dihasilkan dari sebuah lingkungan kerja yang menerapkan sistem kerja paksa.
”Ini (praktik) perbudakan. Sesederhana itu,” kata Rubio kepada panitia. ”Perusahaan Amerika berpendapat bahwa rantai pasokan mereka bersih, dan apa yang dikatakan UU ini adalah: buktikan!”
Pemerintah China selama ini membantah telah melakukan kerja paksa di Xinjiang. Beijing menegaskan, semua isu buruk yang terkait Xinjiang atau China umumnya hanya merupakan propaganda untuk menjatuhkan reputasi China di mata masyarakat internasional. (AFP/REUTERS)