Fokus dan Persuasi, Kunci Kebijakan Indonesia Hadapi Isu Xinjiang
Indonesia bisa masuk dari pintu isu hak asasi manusia di Xinjiang agar bisa lebih leluasa dan tegas mengutarakan kebijakan. Semestinya isu itu juga tidak dipolitisasi di dalam negeri.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berita pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok etnis Uighur ataupun sejumlah warga beragama Islam di Provinsi Xinjiang, China, santer di Indonesia. Akan tetapi, pada saat yang sama, Indonesia tidak mengeluarkan sikap ataupun pernyataan yang berarti terhadap permasalahan ini. Ada kesan pemerintah tersandera kecemasan apabila tegas terhadap isu Xinjiang akan memunculkan polarisasi, bahkan separatisme di masyarakat Tanah Air.
Demikian inti diskusi yang diselenggarakan Amnesty International Indonesia pada Kamis (7/10/2021) malam. Diskusi ini sekaligus peluncuran hasil penelitian Amnesty International di Xinjiang yang dalam bahasa Indonesia diberi judul ”Kami Bagaikan Musuh dalam Peperangan: Penahanan Massal, Penyiksaan, dan Persekusi Tiongkok terhadap Muslim di Xinjiang”.
”Menghadapi China yang bersikeras bahwa isu di Xinjiang adalah isu separatisme domestik membutuhkan pendekatan yang persuasif dari Indonesia. Kita harus mengajak China untuk menjadi pemain global ataupun negara adidaya yang baik dengan memenuhi berbagai persyaratan kemanusiaan,” kata Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Siti R Susanto.
Ia menjelaskan, Xinjiang memiliki nilai geopolitik yang penting bagi China. Selain kaya akan sumber daya alam, Xinjiang berbatasan dengan delapan negara dan merupakan pintu masuk China ke berbagai pakta kerja sama dengan Eurasia.
Fakta bahwa China merupakan negara adidaya yang tengah bangkit bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis Uighur ataupun minoritas Muslim di Xinjiang. Siti mengamati, China mulai memasuki isu-isu normatif, seperti mitigasi krisis iklim. Bahkan, dalam isu ini, China dan saingannya, Amerika Serikat, bisa mengesampingkan perbedaan untuk bekerja sama mengurangi emisi karbon.
”Isu HAM juga termasuk isu normatif dan universal yang jika terus kita dorong agar diselesaikan oleh China, justru akan membuat mereka tampak positif di mata dunia. Ini akan membantu China membuktikan bahwa persepsi Barat terhadap mereka selama ini keliru,” papar Siti.
Dalam wawancara eksklusif dengan Kompas bulan lalu, Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian mengatakan, isu di Xinjiang murni isu separatisme. Setiap negara pasti memberlakukan sanksi tegas kepada individu yang tidak mengakui ideologi bangsanya dan ingin membentuk negara sendiri.
Menurut dia, tuduhan pelanggaran HAM murni dibuat-buat oleh negara-negara Barat, seperti AS, Inggris, dan Uni Eropa, yang ingin merusak reputasi China karena semakin maju di sektor ekonomi dan geopolitik sehingga berusaha turut campur atas politik dalam negeri China. Xiao menekankan China tidak anti-Islam dan malah mendukung kemerdekaan bagi Palestina.
Amnesty International melakukan 108 wawancara yang mencakup para mantan tahanan kemah indoktrinasi, keluarga tahanan dan orang hilang, serta berbagai individu yang pernah mengunjungi Xinjiang. Terdapat pula citra satelit yang menunjukkan perkembangan pembangunan berbagai kemah indoktrinasi di berbagai wilayah di provinsi tersebut.
”Penahanan warga Uighur dan Muslim kian gencar sejak tahun 2017 dengan memakai narasi deradikalisasi. Hasil wawancara dengan para mantan tahanan mengungkapkan, di kemah-kemah jamak dilakukan penyiksaan,” kata Wakil Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena.
Ia menjelaskan, terjadi pemaksaan asimilasi Uighur serta etnis minoritas lain secara masif dan sistemik ke dalam nilai-nilai sosialisme China. Proses itu mengakibatkan segala bentuk ekspresi yang menunjukkan identitas kebudayaan berbeda dari etnis mayoritas Han dianggap sebagai perbuatan menentang pemerintah.
Menurut Wirya, wawancara juga dilakukan dengan berbagai individu yang mengaku dilarang melaksanakan ibadah sesuai agama Islam. Terdapat kasus ketika bulan Ramadhan, warga tidak diizinkan berpuasa dan dipaksa makan oleh petugas desa setempat. Petugas juga melakukan ronda dini hari untuk mencari rumah-rumah yang diam-diam melakukan sahur.
Beberapa diaspora Uighur yang berhasil melarikan diri ke luar negeri bercerita bahwa kerabat mereka disandera di kampung halaman. Sanak saudara itu kemudian dimasukkan ke dalam kemah-kemah indoktrinasi. Umumnya selama 9-18 bulan, bahkan ada pula yang hilang tidak diketahui rimbanya.
Ketika telah bebas dari kemah, sejumlah narasumber mengungkapkan mereka dipaksa bekerja di pabrik dengan upah sangat murah, yaitu 200 yuan atau setara dengan Rp 440.000 per bulan. Mereka tidak bisa keluar dari pekerjaan karena keselamatan diri dan keluarga diancam.
”Ini semua adalah pelanggaran HAM. Semua memenuhi elemen kontekstual kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa didiamkan oleh masyarakat global,” tutur Wirya.
Peneliti dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Deka Anwar, menjabarkan alasan isu pelanggaran HAM di Xinjiang terlalu dipolitisasi di Indonesia. Isu ini ramai dibahas publik Tanah Air ketika pemilihan umum presiden tahun 2019. Akibatnya, isu Xinjiang identik dengan kelompok aliran politik tertentu sehingga tidak bisa mengena ke publik secara luas dan lintas aliran politik ataupun kepercayaan.
Faktor lain, baik pemerintah maupun media arus utama Indonesia umumnya tidak memiliki wawasan yang luas mengenai isu Xinjiang. Beberapa organisasi masyarakat Uighur pernah datang ke Indonesia untuk berdialog dengan lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, dan media arus utama.
Masalahnya, pihak yang diajak berdialog ini tidak mengetahui pijakan politik organisasi Uighur ini. Ada sejumlah organisasi yang menyerukan separatisme dan pendirian negara merdeka Turkistan Timur, ada pula yang murni menyerukan masalah pelanggaran HAM.
Kurangnya wawasan dari pihak Indonesia membuat pemahaman tentang Xinjiang akhirnya diidentikkan dengan isu separatisme. Indonesia cenderung tidak mau terlibat isu separatisme di negara lain karena tidak mau nanti dikaitkan dengan isu serupa di Papua.
”Semestinya, Indonesia melihat isu di Xinjiang murni pelanggaran HAM. Jangan dipolitisasi di dalam negeri dan jangan mengikuti politik yang hendak dibawa oleh China ataupun kelompok separatisme,” ujar Deka. Pintu masuk kasus pelanggaran HAM ini, lanjutnya, membuat Indonesia bisa berbicara lebih leluasa tanpa takut berimbas kepada investasi ekonomi ataupun diplomasi vaksin China.
Adapun anggota Komisi I DPR, Al Muzammil Yusuf, berpendapat, Indonesia bisa mempromosikan narasi budaya Uighur dan Muslim sebagai kekayaan bagi China. Ini bisa menarik semakin banyak warga dunia untuk datang dan melihat sendiri keharmonisan masyarakat di Xinjiang. Syaratnya dengan bersikap terbuka dan segera menuntaskan persoalan HAM ini.
”Jika China melihat Uighur dan umat Muslim dari konteks terorisme justru keliru. Bahkan, Taliban saja melawan Negara Islam di Irak dan Suriah. Kasus pelanggaran HAM akan terus digaungkan oleh masyarakat internasional, tidak hanya dari sisi komunitas Muslim global,” katanya.