Saat Semua Harga Terkerek, Mobil Bekas dan Hemat BBM Jadi Pilihan
Saat semua harga kebutuhan hidup terkerek naik seperti sekarang, pengeluaran harus diseimbangkan. Termasuk saat akan mengganti mobil.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Empat tahun terakhir, Natalia Ponce De Leon memilih menggunakan Toyota Tacoma, sebuah double cabin untuk pilihan berkendaranya sehari-hari. Mobil bermesin empat silinder 2700 cc itu menjadi teman De Leon untuk berkeliling Palm Beach Utara dan California, Amerika Serikat, setiap hari, menemui para pelanggan bisnis gorden custom-nya.
Saking lekatnya dengan mobil itu, saat waktunya untuk mengganti double cabin yang mampu menempuh jarak 9,8 kilometer per satu liter bensin tersebut, dia memilih berkata ”tidak”. Bahkan, tidak terpikir dalam benaknya untuk mengganti mobil yang memiliki ruang muatan besar itu.
Akan tetapi, dua tahun pandemi yang meluluhlantakkan ekonomi Amerika Serikat dan dunia mengubah segalanya. Harga mobil baru naik drastis di tengah seretnya pasokan dari pabrik. Perang di Ukraina juga membuat harga bahan bakar meroket.
Warga AS, termasuk De Leon, yang berpikir sudah waktunya untuk mengganti kendaraan mereka, berpikir ulang soal ini. Apalagi, naiknya berbagai harga kebutuhan pokok membuat mereka harus berpikir ulang untuk menekan pengeluaran.
Sebagai gantinya, mereka yang berpikir untuk mengganti kendaraan terpaksa bertahan dengan kendaraan yang ada. Atau, kalau mau ganti mobil, sekarang memilih untuk menggantinya dengan mobil bekas. Pilihannya adalah mobil mungil, sejenis mobil keluarga yang lebih murah dan lebih irit tingkat konsumsi bahan bakarnya.
Hitung-hitungan itulah yang dipakai De Leon. Kini, dia memilih menggunakan mobil Toyota RAV4, sport utility vehicle (SUV) mungil yang telah berusia 9 tahun. Tapi, dia beruntung karena jarak jelajahnya masih sangat rendah, yaitu 14.000 mil atau sekitar 22.530 kilometer.
Meski dia harus merogoh kocek sekitar 23.000 dollar AS atau sekitar Rp 328,9 juta untuk membeli mobil bekas ini, De Leon senang dengan keputusannya. Dengan biaya kredit sekitar 400 dollar AS per bulan atau sekitar Rp 5,72 juta selama enam tahun, angka itu tidak terlalu membebaninya. De Leon senang karena dia memiliki kendaraan yang mungil, mudah dikendalikan, dan ruang yang cukup luas bagi tangga setinggi 1,8 meter miliknya.
Yang terbaik dari semua hal itu adalah penghematan biaya bahan bakar. Dengan harga bensin sekitar 4 dollar AS atau sekitar Rp 57.200 per galon (1 galon setara 4,546 liter bensin), dia bisa menghemat banyak untuk ongkos bahan bakar kendaraan barunya ini.
”Saya pikir saya akan menghemat. Per bulan antara 100-200 dollar AS,” ujarnya. Dia berpikir mengalihkan dana itu untuk membantu memasarkan bisnis gorden miliknya secara daring.
Bekas dan hemat BBM
Gejolak ekonomi yang belum stabil membuat pasar mobil bekas menarik untuk diamati. Di Amerika Serikat, harga compact car (SUV atau mobil keluarga kecil) yang berusia 2-8 tahun mengalami peningkatan hingga 1,1 persen dalam tiga pekan terakhir, menjadi sekitar 12.560 dollar AS atau sekitar Rp 179,6 juta. Untuk harga mobil tua, vintage dan jenis collector’s item, menurut data Black Book—perusahaan yang mengamati pasar otomotif—juga mengalami kenaikan, bahkan lebih tinggi.
Akan tetapi, pada periode yang sama, rata-rata harga SUV besar yang berusia 2-8 tahun mengalami penurunan hingga 2,3 persen, masih berada di kisaran Rp 467,6 juta.
Bandingkan dengan harga mobil baru, yang melonjak hingga 22 persen atau setara dengan 46.000 dollar AS atau sekitar Rp 657,8 juta. Berdasarkan harga dan suku bunga perbankan pada bulan itu, pembayaran kredit untuk kendaraan baru rata-rata sekitar 691 dollar AS atau Rp 9,881 juta. Menurut perhitungan Cox Automotive dan Moody’s, angka kredit ini jauh di atas jangkauan rata-rata rumah tangga di AS yang berpendapatan kotor sekitar 65.732 dollar AS per tahun atau sekitar RP 940 juta.
Alex Yurchenko, Kepala Analis Data Black Book, mengatakan bahwa permintaan konsumen yang besar terhadap mobil mungil, efisien, dan hemat bahan bakar mendorong dealer dan para pedagang mobil bekas untuk menyediakannya. Tidak ketinggalan juga mobil yang lebih berumur.
Di balik tren itu, realitas ekonomi AS tersingkap: warga AS saat ini memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan. Meski pasar kerja AS kuat dan banyak orang menerima kenaikan gaji dalam beberapa bulan terakhir, tingginya angka inflasi dan indeks harga konsumen telah menghapus semua keceriaan.
Sepanjang tahun lalu, indeks harga konsumen meningkat hingga 8,5 persen, laju tercepat dalam empat dekade. Selain itu, bantuan uang tunai dan bantuan federal lain yang pernah digelontorkan pemerintah sepanjang pandemi telah berakhir.
Tidak jarang, warga terpaksa menggunakan uang tabungannya untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, warga terpaksa banyak berutang untuk membiayai pengeluaran mereka sehari-hari.
Pada saat yang sama, ketersediaan program leasing juga menyusut. Sementara program seperti ini membantu rumah tangga berpenghasilan menengah untuk menjaga pembiayaan bulanan kendaraan mereka tetap rendah. Program leasing hampir mengering karena produsen mobil tidak lagi memberikan penawaran yang menarik.
Sementara bagi rumah tangga dengan penghasilan tinggi, kenaikan harga bahan bakar membuat mereka beralih pada kendaraan yang memiliki tingkat efisiensi bahan bakar lebih baik. Bahkan, mereka saat ini memilih menggunakan mobil listrik.
Hal itu dibuktikan dengan peningkatan penjualan hingga 66 persen setahun terakhir. Walau demikian, menurut Edmunds.com, situs otomotif terkemuka AS, pangsa pasar kendaraan listrik masih berkisar empat persen. (AP)