Laporan FAO menyebut perang di Ukraina telah menyebabkan kenaikan harga pangan global hingga 12 persen. Dampaknya terasa dari mulai petani hingga konsumen. Rakyat di negara berkonflik akan membutuhkan bantuan kemanusiaan
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
ROMA, JUMAT - Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebut perang di Ukraina telah menyebabkan kenaikan harga pangan global hingga 12 persen. Dampaknya terasa mulai dari petani hingga konsumen.
Harga komoditas bahan pangan seperti biji-bijian dan minyak nabati mencapai level tertinggi pada bulan lalu. Kenaikan itu telah mengakibatkan gangguan pasokan besar-besaran, tidak hanya dalam proses distribusi, bahkan lebih jauh dalam proses produksi.
FAO, dalam laporan yang terbit Jumat (8/4/2022), menyebutkan, Indeks Harga Pangan FAO rata-rata 159,3 poin pada Maret atau naik 12,6 persen dari bulan sebelumnya. Angka ini merupakan level tertinggi sejak perhitungan ini dimulai pada 1990. Bahkan, level indeks ini mengalami kenaikan hingga 33,6 persen dibandingkan bulan yang sama pada 2021.
”Harga bahan makanan pokok seperti gandum dan minyak nabati telah melonjak akhir-akhir ini, menjadi tanggungan biaya yang luar biasa bagi konsumen global, terutama kelompok termiskin. Dan, dengan naiknya harga energi secara paralel bersama harga pangan, daya beli konsumen dan negara yang rentan semakin menurun,” kata Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu pada pidatonya di sesi ke-169 Dewan FAO, Roma, Jumat.
Ada prospek penurunan produktivitas pangan yang mengarah pada harga pangan yang bahkan lebih tinggi lagi.
Sementara harga pupuk yang tinggi, Qu melanjutkan, dapat menyebabkan penggunaan pupuk di bawah porsi standar pada musim depan dan mungkin seterusnya. Akibatnya, ada prospek penurunan produktivitas pangan yang mengarah pada harga pangan yang bahkan lebih tinggi lagi.
”Ini berpotensi menyebabkan lebih banyak orang kekurangan gizi pada 2022 dan bulan-bulan mendatang. Kita jangan sampai mematikan sistem perdagangan global dan ekspor tidak boleh dibatasi atau dipajaki,” kata Qu.
Perang di Ukraina, merujuk laporan FAO, menyebabkan kenaikan harga biji-bijian, seperti gandum dan jagung, hingga 17,1 persen. Rusia dan Ukraina masing-masing menyumbang 30 persen dan 20 persen pasokan global gandum dan jagung dunia.
Dalam komposisi Indeks Harga Pangan FAO, minyak nabati menjadi produk pangan yang mengalami kenaikan paling tinggi, yaitu sebesar 23,2 persen. Ini didorong kuota minyak biji bunga matahari. Ukraina adalah pengekspor minyak bunga matahari terkemuka dunia.
”Ini benar-benar preseden luar biasa. Jelas harga bahan pangan yang sangat tinggi ini membutuhkan tindakan segera,” kata Josef Schmidhuber, Wakil Direktur Divisi Pasar dan Perdagangan FAO. Menurut dia, gangguan besar-besaran pasokan dari wilayah Laut Hitam, terutama Ukraina, memicu kenaikan harga bahan pangan, terutama biji-bijian dan minyak nabati.
Dalam laporan yang sama, FAO juga memangkas proyeksi produksi gandum dunia pada 2022, dari semula 790 juta ton pada bulan lalu menjadi 784 juta ton. Ini disebabkan adanya kemungkinan 20 persen area panen di Ukraina tidak akan bisa dipanen karena situasi perang. Walau ada revisi angka produksi gandum global, proyeksi tersebut tetap lebih tinggi 1 persen dibandingkan tingkat produksi tahun sebelumnya.
Peneliti Institut Riset Kebijakan Pangan Dunia yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat, menilai kerentanan situasi harga bahan pangan dunia akibat situasi di Ukraina menimbulkan ancaman dalam jangka pendek dan panjang.
Dikutip dari laman resmi Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional atau International Food Policy Research Institute (IFPRI), para peneliti menyatakan, harga bahan pangan yang fluktuatif membuat produsen, dalam hal ini para petani, sulit membuat keputusan apakah mereka akan tetap berproduksi atau tidak. Di tingkat ritel, ini berpengaruh pada keputusan untuk berinvestasi lebih lanjut atau sebaliknya.
Sementara di tingkat konsumen, kenaikan harga memengaruhi kemampuan mereka untuk berinvestasi di bidang lain karena sebagian besar penghasilan dihabiskan untuk bahan pangan. Pada keluarga dengan penghasilan rendah, situasi akan jauh lebih kompleks.
Bagi para petani, kenaikan harga pupuk global juga menjadi persoalan yang harus diselesaikan. Menurut penelitian IFPRI, kenaikan harga pupuk bahkan sudah terjadi sebelum perang dimulai karena ekspor kalium dari produsen utamanya, Belarus, terputus.
Sementara itu, Rusia, produsen pupuk penting lainnya, juga tengah mempertimbangkan larangan ekspor. Tingginya harga gas alam, bahan baku untuk pupuk yang berbasis pada nitrogen, seperti urea dan amonia, telah mengerek harga pupuk global.
Peneliti senior IFPRI, Joseph Glauber, dalam wawancara dengan Bloomberg, mengatakan, kenaikan harga bahan pangan dunia sangat terasa, terutama di Afrika. Yaman, contohnya, yang seluruh kebutuhan gandumnya bergantung pada impor, harus menanggung beban yang lebih berat. (AP/REUTERS/MHD)