Waspada Pangan pada 2022
Secara umum kondisi pangan, baik global maupun di Indonesia, pada 2022 diperkirakan tetap aman dan krisis pangan tidak akan terjadi. Meskipun demikian, kewaspadaan tetap diperlukan, terutama dengan naiknya harga pangan.
Selama masa pandemi Covid-19 (2020-2021), kondisi pangan, baik nasional maupun dunia, tergolong aman—ditandai dengan tidak adanya gejolak harga pangan yang signifikan.
Bahkan pada awal pandemi (Januari–Mei 2020), indeks harga pangan dunia justru mengalami penurunan dari 102,5 menjadi 91,1, sementara produksi pangan, terutama serealia, mencapai rekor tertingginya.
Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) serta 15 lembaga pangan lainnya pernah meramalkan di awal 2020 bahwa dunia akan mengalami krisis pangan.
Ramalan FAO itu mendasari beberapa kebijakan pertanian skala besar di Indonesia, di antaranya kebijakan food estate. Penulis membantah ramalan FAO itu dengan menyatakan krisis pangan dunia pada 2020 tidak akan terjadi (”Krisis Pangan 2020”, Kompas 21/4/2020), dan benar akhirnya tidak ada krisis pangan pada 2020, bahkan hingga 2021.
Lalu, mengapa saat ini kita perlu waspada pangan? Sejak harga pangan dunia mencapai titik terendahnya pada Mei 2020, harga pangan terus mengalami kenaikan yang tajam, dan hampir tiap bulan harga meningkat, kecuali pada bulan Juni, Juli, dan Desember 2021. Harga pangan sudah melonjak sebesar 54,4 persen sejak Mei 2020 hingga Februari 2022.
Kenaikan tertinggi terjadi pada harga minyak nabati, yaitu sebesar 159 persen, disusul gula (63 persen), susu dan turunannya (50 persen), serealia (49 persen), dan daging (18 persen). Khusus daging sapi asal Brasil telah terjadi lonjakan harga yang sangat tinggi sebesar 61 persen sejak Mei 2020 hingga awal pekan lalu (7/3/2022).
Di dalam kelompok minyak nabati, minyak sawit mengalami kenaikan harga tertinggi sebesar 248 persen, sedangkan harga kedelai meningkat 111 persen. Untuk kelompok serealia, kenaikan tertinggi terjadi pada gandum sebesar 191 persen dan jagung 120 persen.
Kenaikan harga gandum yang sangat tinggi baru terjadi akhir-akhir ini.
Sementara beras praktis tidak mengalami gejolak harga. Kenaikan harga gandum yang sangat tinggi baru terjadi akhir-akhir ini. Hanya dalam tempo dua minggu harga gandum melonjak sebesar 56 persen (Trading Economics, 7/3/2022) dan masih berpotensi untuk terus naik.
Wilayah Laut Hitam yang saat ini dilanda peperangan antara Rusia dan Ukraina merupakan salah satu pusat penghasil gandum dan jagung dunia. Peperangan yang terjadi sejak invasi Rusia ke Ukraina 24 Februari 2022 telah merusak pasokan dan ekspor gandum maupun jagung dari wilayah tersebut, dan menyebabkan harga di pasar dunia tidak terkendali.
Wilayah produsen utama kedelai, yaitu Argentina dan Brasil, mengalami kekeringan akibat La Nina yang menurunkan produksi dan kualitas kedelai. Harga kedelai sejak akhir Februari 2022 hingga saat ini telah mencapai rekor tertinggi selama sembilan tahun terakhir dan diperdagangkan pada harga sekitar 17 dollar AS per gantang.
Indeks Harga Pangan FAO telah mencapai titik tertingginya selama hampir setengah abad ini. Pada 2022, indeks sudah mencapai 135,0, lebih tinggi dibandingkan ketika terjadi krisis pangan dunia tahun 2007-2008 (dengan indeks 114,3) dan tahun 2011 (indeks 118,8).
Baca juga: Harga Pangan Dunia Kian Melambung Tinggi
Krisis pangan tahun 2011 telah menyebabkan guncangan besar di wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah dan memicu kerusuhan sosial yang masif, yang mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal dan perubahan rezim (Lagi dkk 2011). Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah Arab Spring (Musim Semi Arab). Selain itu, jutaan orang mengungsi, menimbulkan masalah pengungsian terbesar setelah Perang Dunia II.
Indeks harga pangan saat ini sudah mendekati indeks saat krisis pangan besar tahun 1973-1975 (dengan angka indeks sebesar 137,4) yang terjadi sebagai akibat gangguan produksi dan pasokan pangan karena perang Arab-Israel.
Pangan Indonesia
Bila sebuah negara telah mengintegrasikan sistem pangannya ke dalam sistem pangan dunia, dampak kenaikan harga pangan dunia dengan cepat tertransformasi ke harga pangan domestik. Ciri khas sebuah negara yang telah mengintegrasikan sistem pangannya ke dalam sistem pangan dunia adalah adanya impor pangan yang semakin lama semakin tinggi dan tarif impor pangan yang sangat rendah atau nol persen, sebagaimana halnya terjadi pada Indonesia.
Meskipun demikian, Indonesia mendapatkan keuntungan besar juga dari liberalisasi perdagangan komoditas pertanian. Lonjakan harga minyak sawit dunia menghasilkan keuntungan (windfall) yang sangat besar.
Nilai ekspor komoditas kelapa sawit melonjak dari 16,6 miliar dollar AS (2019) menjadi 19,5 miliar dollar AS (2020) dan 30,2 miliar dollar AS (2021) atau setara Rp 432 triliun. Diperkirakan devisa negara karena kelapa sawit akan terus meningkat pada 2022 ini.
Nilai perdagangan untuk semua komoditas pertanian juga melonjak dari 31,0 miliar dollar AS (2020) menjadi 43,7 miliar dollar AS (2021), yang didominasi oleh komoditas sub-sektor perkebunan sebesar 92 persen dan menghasilkan surplus perdagangan komoditas pertanian sebesar 18,8 miliar dollar AS.
Berbeda dengan subsektor perkebunan, subsektor tanaman pangan justru semakin terpuruk di tengah angka subsidi dan program yang semakin membesar.
Volume impor delapan komoditas utama, yaitu gandum, kedelai, bawang putih, gula tebu, jagung, beras, ubi kayu dan kacang tanah melonjak hampir 20 juta ton hanya dalam tempo sepuluh tahun, yaitu dari 8,0 juta ton (2008) menjadi 27,6 juta ton (2018), sedikit menurun pada 2019 dan naik lagi selama masa pandemi Covid-19. Pada 2021, impor delapan komoditas tersebut mencapai 27,7 juta ton (diolah dari BPS dan Kementerian Pertanian).
Dari sisi nilai, impor komoditas pangan pada 2021 mencapai 9,1 miliar dollar AS, naik dari 6,8 miliar dollar AS pada 2020. Sementara ekspor komoditas pangan hanya 0,35 miliar dollar AS dan menghasilkan defisit neraca perdagangan pangan sebesar 8,7 miliar dollar AS. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dengan 2020 yang sebesar 6,5 miliar dollar AS.
Diperkirakan devisa negara karena kelapa sawit akan terus meningkat pada 2022 ini.
Ketergantungan impor pangan Indonesia saat ini mencapai 100 persen untuk gandum, 100 persen untuk bawang putih, 97 persen untuk kedelai, 76 persen untuk gula, dan 11 persen untuk jagung untuk keperluan pakan. Sementara ketergantungan impor untuk komoditas pangan lainnya di bawah 10 persen.
Dengan demikian, gejolak harga pangan dunia, terutama untuk komoditas-komoditas yang porsi impornya lebih dari 50 persen, akan segera berdampak ke Indonesia.
Krisis pangan 2022
Berbeda dengan krisis pangan sebelumnya, di mana penyebab terbesar adalah penurunan produksi serealia dunia, kenaikan harga pangan kali ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga minyak nabati dunia.
Sejak tiga tahun terakhir ini produksi serealia dunia terus mengalami peningkatan dari 2.712 juta ton (2019) menjadi 2.775 juta ton (2020) dan 2.796 juta ton (2021). Produksi gandum meningkat dari 777 juta ton (2020) menjadi 775 juta ton (2021). Produksi beras dunia pada 2021 mencapai rekor tertingginya sebesar 519 juta ton atau naik sebesar 0,7 persen dibandingkan dengan 2020.
Serealia merupakan komponen pangan yang teramat penting karena merupakan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat di dunia dan sumber bahan baku pakan yang terbesar. Gejolak produksi dan harga serealia berpotensi untuk menimbulkan krisis pangan global sebagaimana yang terjadi pada krisis pangan tahun 1973-1975, 2007-2008, dan tahun 2011.
Baca juga: Dering Alarm dari FAO
Diperkirakan produksi serealia dunia masih akan mengalami kenaikan pada 2022 ini (FAO, 3/3/2022). Produksi gandum dunia diperkirakan akan meningkat karena peningkatan produksi di Kanada dan Amerika Serikat. Produksi gandum di Eropa juga meningkat karena kondisi iklim yang membaik meskipun terbayang-bayangi oleh perang Rusia-Ukraina.
Nisbah stocks-to-use serealia pada 2021/2022 berada di angka 29,1 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan 2020/2021 (29,7 persen) dan terendah selama delapan tahun terakhir. Meskipun demikian, nisbah tersebut masih tergolong aman.
Meskipun produksi dan stok pangan dunia relatif aman, kebutuhan serealia dunia pada 2021/2022 diperkirakan akan meningkat sebesar 1,4 persen dibandingkan dengan 2020/2021, sedangkan pertumbuhan produksi pada 2020/2021 hanya setengahnya (0,7 persen). Permintaan gandum akan meningkat sebesar 2,4 persen, biji-bijian kasar terutama jagung meningkat 0,9 persen, dan beras naik sebesar 1,5 persen.
Permintaan serealia dunia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan produksinya sehingga ada potensi harga serealia dunia khususnya dan pangan pada umumnya akan tetap meningkat pada tahun ini.
Produksi serealia di Indonesia, terutama padi dan jagung, pada 2022 sangat tergantung dari kondisi iklim dan serangan hama. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi curah hujan tahunan pada 2022 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normalnya. Jumlah curah hujan tahunan lebih dari 2.500 milimeter per tahun berpotensi terjadi di sebagian Sumatera, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Climate Outlook 2022).
Meskipun demikian, Indonesia masih berpotensi akan mengalami periode kemarau kering (El Nino) pada 2022, meskipun tidak terlalu ekstrem, karena sudah mengalami kemarau basah dua tahun berturut-turut pada 2020 dan 2021.
Bila curah hujan terjadi di atas normal, kemungkinan produksi padi dan jagung akan meningkat pada 2022, tetapi bila fenomena El Nino terjadi—yang diikuti dengan serangan hama yang luas—produksi padi dan jagung diperkirakan akan menurun.
Secara umum kondisi pangan, baik global maupun di Indonesia, pada 2022 diperkirakan tetap aman dan krisis pangan tidak akan terjadi.
Secara umum kondisi pangan, baik global maupun di Indonesia, pada 2022 diperkirakan tetap aman dan krisis pangan tidak akan terjadi. Meskipun demikian, kewaspadaan tetap diperlukan, terutama dengan naiknya harga pangan karena peningkatan permintaan yang kemungkinan besar diakibatkan oleh perubahan pandemi Covid-19 menjadi endemi Covid-19.
Salah satu yang perlu menjadi perhatian adalah penurunan Indeks Ketahanan Pangan Indonesia dari posisi 62 dari 113 negara yang dikaji pada (2019) menjadi urutan ke-65 (2020) dan ke-69 (2021). Dari empat isu utama yang menjadi bahan penilaian, isu sumber daya alam dan resiliensi berada di urutan terbawah (113), di bawah Ghana, Banglades, dan Mozambik (GFIS 2022).
Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa guncangan harga pangan di dunia langsung berimbas kepada Indonesia. Kita berharap posisi ketahanan pangan Indonesia membaik pada 2022. Kuncinya adalah sejahterakan petani, maka produksi meningkat dan sejahteralah kita.
Dwi Andreas SantosaGuru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI)