Pemulihan Ekonomi Global ”di Bawah Todongan Senjata”
Perang Rusia-Ukraina membuat UNCTAD merevisi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 dari 3,6 persen menjadi 2,6 persen. Pertumbuhan ekonomi RI juga direvisi dari 4,9 persen menjadi 4,4 persen.

Sejumlah warga mengantre minyak goreng di depan sebuah toko di Jalan Veteran, Makassar, Jumat (25/3/2022). Sepekan menjelang Ramadhan, minyak goreng masih langka dan mahal.
Pemulihan ekonomi global tengah berada dalam bahaya besar atau ”di bawah todongan senjata” (staring down the barrel of a gun). Begitu Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) menggambarkan secara harfiah dan metaforis tentang dampak perang Rusia-Ukraina terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.
Perang kedua negara pecahan Uni Soviet di tengah tapering atau pengetatan kebijakan moneter The Federal Reserve (Fed), Bank Sentral Amerika Serikat, berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi global pada 2022 sebesar 1 persen. UNCTAD merevisi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,6 persen menjadi 2,6 persen.
Kendati tak menyebut Ukraina, UNCTAD menunjukkan perekonomian sejumlah negara dan kawasan yang terkontraksi pada tahun ini. Ekonomi Rusia diperkirakan bakal tumbuh minus 7,3 persen dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 2,3 persen. Pertumbuhan ekonomi Uni Eropa juga dipangkas dari 3,3 persen menjadi 1,6 persen, sedangkan Indonesia dari 4,9 persen menjadi 4,4 persen.
Perang Rusia-Ukraina membuat UNCTAD merevisi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 dari 3,6 persen menjadi 2,6 persen. Pertumbuhan ekonomi RI juga direvisi dari 4,9 persen menjadi 4,4 persen.

Revisi pertumbuhan ekonomi global sejumlah negara dan kawasan dalam laporan UNCTAD bertajuk Tapering in a Time of Conflict yang diluncurkan di Geneva, Swiss, pada 24 Maret 2022, waktu setempat.
Revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi itu tertuang dalam laporan UNCTAD bertajuk ”Tapering in a Time of Conflict” yang dirilis di Geneva, Swiss, pada 24 Maret 2022, waktu setempat. Disebutkan pula, perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan kenaikan harga pangan, bahan bakar, dan pupuk, serta meningkatkan volatilitas keuangan.
Konflik tersebut juga menghambat rantai pasok serta meningkatkan biaya perdagangan dan distribusi logistik global. Dampak invasi terhadap Ukraina yang terjadi sejak 24 Februari 2022 itu telah menghambat laju pemulihan perdagangan dan pembangunan berkelanjutan.
”Perang Rusia-Ukraina akan memperlambat dan melemahkan pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung. Banyak negara berkembang yang telah berjuang mengembalikan daya tarik ekonomi dan keluar dari resesi harus kembali berhadapan dengan angin sakal yang kuat,” kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan.
Sebelumnya, pada 10 Maret 2022, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan, dalam skenario jangka pendek (2022-2023), perang Rusia-Ukraina akan menyebabkan harga pangan dan pakan internasional yang saat ini sudah tinggi akan meningkat 8-22 persen. Harga pupuk global juga diproyeksikan meningkat 13 persen.
Baca juga : Dering Alarm dari FAO

Daryna Kovalenko menggendong anjingnya saat tiba di stasiun kereta Kiev setelah meninggalkan rumahnya di Chernihiv, Ukraina, melalui koridor kemanusiaan, Senin (21/3/2022) waktu setempat. Perang telah membuat hingga 12 juta orang terpaksa mengungsi di dalam dan luar Ukraina.
Risiko kenaikan harga-harga komoditas impor itu tidak hanya disebabkan oleh konflik Rusia-Ukraina. UNCTAD menyebutkan, pengetatan kebijakan moneter The Fed bagi banyak negara berkembang akan berimbas pada devaluasi mata uang terhadap dollar AS. Depresiasi mata uang domestik itu akan menaikkan harga barang impor di dalam negeri sehingga dapat mengerek tingkat inflasi.
Pada 16 Maret 2022, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya, Fed Fund Rate (FFR), sebesar 25 basis poin. The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan FFR menjadi 1,75 persen selama 12 ke depan dan menjadi 2,8 persen pada 2024.
”Lonjakan harga pangan dan bahan bakar akan berdampak langsung pada masyarakat paling rentan di negara berkembang yang bergantung pada pangan dan bahan bakar impor. Daya beli mereka yang belum sepenuhnya pulih dari imbas pandemi bisa semakin tergerus karena sebagian besar pendapatan kelompok tersebut dibelanjakan untuk makanan,” sebut laporan itu.
Lonjakan harga pangan dan bahan bakar akan berdampak langsung pada masyarakat paling rentan di negara berkembang yang bergantung pada pangan dan bahan bakar impor.
Baca juga : Daya Beli Rakyat Kian Tergerogoti
Jumat pekan lalu, Bank Indonsia (BI) melaporkan, rupiah ditutup melemah di level Rp 14.344 dollar AS pada Kamis, 24 Maret 2022. Imbal hasil surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun turun menjadi 6,69 persen, sedangkan imbal hasil surat utang tenor 10 tahun Amerika Serikat (US Treasury) naik menjadi 2,372 persen. Investor asing di pasar keuangan domestik telah menjual bersih SBN senilai Rp 3,13 triliun pada 21-24 Maret 2022.
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu ke-4 Maret 2022, BI menilai perkembangan harga komoditas di dalam negeri tetap terkendali. BI juga memperkirakan tingkat inflasi pada Maret 2022 sebesar 0,68 persen secara bulanan dan 2,68 persen secara tahunan.
Komoditas penyumbang inflasi bulanan tersebut, antara lain, cabai merah 0,11 persen, bahan bakar rumah tangga 0,7 persen, telur ayam ras 0,06 persen, daging ayam ras 0,05 persen, tempe 0.04 persen, minyak goreng 0,03 persen, serta tahu dan daging sapi masing-masing 0,02 persen.
”BI akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal yang meningkat, serta terus mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut,” ucap Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono.
Baca juga : Waspadai Inflasi Tinggi Tahun Ini

Stok cukup, harga tinggi
Indonesia yang saat ini tengah berupaya menstabilkan stok dan harga minyak goreng, juga harus kembali berhadapan dengan kenaikan harga komoditas pangan lain, pakan, pupuk, dan energi. Harga-harga komoditas itu tengah bergejolak dan cenderung merangkak naik akibat imbas perang Rusia-Ukraina. Tekanan kenaikan harga itu akan semakin besar pada Ramadhan dan Lebaran.
Kendati perdagangan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina tidak terlalu besar, Indonesia tetap terimbas konflik kedua negara tersebut. Konflik Rusia-Ukraina itu telah menyebabkan harga minyak dan gas bumi, minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan nabati yang lain, serta pupuk dan gandum melonjak.
Tak mengherankan jika Indonesia yang merupakan negara importir minyak, pupuk, dan gandum, serta produsen CPO terbesar yang belum menjadi penentu harga CPO global, turut terdampak. Kenaikan harga minyak dan gas dunia telah membuat Indonesia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas nonsubsidi.
Kenaikan harga CPO juga menyebabkan harga minyak goreng sawit di dalam negeri melonjak tinggi. Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) mencatat, sepanjang pekan lalu, harga CPO Indonesia masih tinggi dan bergerak di kisaran 1.700 dollar AS per ton hingga 1.750 dollar AS per ton.
Adapun Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan menunjukkan, harga rata-rata nasional minyak goreng kemasan sederhana naik 5,61 persen menjadi Rp 22.600 per liter dan minyak goreng kemasan premium naik 2,42 persen menjadi Rp 25.400 per liter. Begitu juga dengan harga rata-rata tepung terigu. Sepanjang pekan lalu, harganya naik 3,67 persen menjadi Rp 11.300 per kg.
Baca juga : Serba Naik, Serba Mahal

Kenaikan harga sudah terjadi jauh sebelum masa Ramadhan-Lebaran. Hal ini dikhawatirkan bisa membuat harga pangan semakin naik atau bertambah mahal saat memasuki masa Ramadhan-Lebaran. Harga sejumlah komoditas pangan memang cenderung tinggi meski pemerintah dan Badan Pangan Nasional mengklaim stok komoditas mencukupi untuk memenuhi kebutuhan Ramadhan-Lebaran.
Agar harga tidak semakin tinggi saat Ramadhan-Lebaran, Badan Pangan Nasional akan terus memonitor stok dan harga. Badan Pangan Nasional juga akan mobilisasi stok pangan dari sejumlah daerah yang surplus ke daerah-daerah yang defisit.
”Dalam prognosis kami pada Januari-Mei 2022, pasokan pangan dari dalam negeri cukup untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadhan-Lebaran. Namun, khusus untuk stok pangan impor, ada sejumlah komoditas yang perlu dipercepat realisasinya,” kata Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Pangan Nasional Andriko Noto Susanto dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 yang digelar secara hibrida di Jakarta, Senin (28/3/2022).
Pasokan pangan dari dalam negeri cukup untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadhan-Lebaran. Namun, khusus untuk stok pangan impor, ada sejumlah komoditas yang perlu dipercepat realisasinya.
Baca juga : Pemerintah Tugaskan Bulog Beli Kedelai Importir

Tangkapan layar Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Pangan Nasional Andriko Noto Susanto saat menjelaskan ketersediaan stok menyambut Ramadhan-Lebaran dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 yang digelar secara hibrida di Jakarta, Senin (28/3/2022).
Untuk stok pangan dari dalam negeri, Andriko mencontohkan, stok beras hingga akhir Mei 2022 surplus 8,7 juta ton. Jagung dan bawang merah juga diperkirakan suprlus masing-masing 3,2 juta ton dan 92.435 ton.
Stok bahan pangan lain juga surplus. Cabai besar surplus 21.957 ton, cabai rawit 40.383 ton, daging ayam ras 357.770 ton, dan telur ayam ras 98.576 ton. Sementara minyak goreng hingga Mei 2022 juga diperkirakan surplus 663.491 ton.
Adapun bahan pangan yang dipenuhi dari impor, antara lain, kedelai, gula, dan daging sapi. Menurut Andriko, stok kedelai saat ini tertopang oleh realisasi impor Januari-Februari 2022 sebanyak 338.941 ton. Stok itu akan bertambah jika rencana impor kedelai pada Maret-Mei 2022 sebanyak 774.574 ton berjalan lancar.
”Jika berjalan lancar, stok kedelai impor bisa surplus 142.307 ton. Begitu juga dengan daging sapi. Stoknya akan surplus 31.153 ton jika impor pada Maret-Mei sebanyak 95.115 ton segera terealisasi,” ujarnya.
Untuk menambah pasokan daging sapi, Badan Pangan Nasional bekerja sama dengan ID Food juga akan memobilisasi sapi hidup sebanyak 5.000 ekor dari sejumlah daerah sentra peternakan sapi ke Jabodetabek. Sementara itu untuk cabai, Badan Pangan Nasional akan memobilisasi stok dari Bima, Nusa Tenggara Barat, yang masih surplus, ke sejumlah daerah di Maluku, Papua, dan Kalimantan.
Baca juga : Badan Pangan Nasional Perkuat Cadangan Pangan Selain Beras