Trio di Balik Netralitas Tiga Negara Arab Teluk
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar sama-sama percaya diri untuk tampil netral dalam krisis Ukraina. Ketiga negara Arab di Teluk Persia itu memiliki posisi tawar kuat, energi.
Ada dua pemain kunci dan strategis dalam organisasi Dewan Kerja Sama Teluk atau Gulf Cooperation Council yang muncul terkait isu perang Rusia-Ukraina. Pertama, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Kedua, Qatar.
Disebut dua pemain besar dari Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) karena masing-masing Arab Saudi-Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar menjalankan kebijakan independen dalam menghadapi isu perang Rusia-Ukraina.
Qatar dikenal memiliki sikap independen dari Arab Saudi dan UEA di panggung internasional dan regional. Adapun Arab Saudi dan UEA selalu berkoordinasi sehingga sering lahir satu sikap atau pendapat sama dalam berbagai kegiatan regional dan internasional.
Baca juga : Arab Saudi dan Uni Emirat Arab Berani Lawan AS
Masyarakat internasional, khususnya Amerika Serikat (AS), kini melihat Arab Saudi-UEA dan Qatar sebagai dua pemain kunci dari GCC dalam isu perang Rusia-Ukraina. Sebab, mereka memiliki potensi menentukan pasar energi dunia.
Arab Saudi-UEA memiliki potensi produksi minyak mentah yang dapat menentukan stabilitas harga minyak dunia. Adapun Qatar adalah salah satu produsen gas terbesar dunia yang memiliki potensi menggantikan gas Rusia.
Maka, tak heran jika para pemimpin negara-negara Barat berkomunikasi dengan para pemimpin kunci dari GCC itu. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengunjungi Arab Saudi dan UEA pada 16-17 Maret untuk menemui Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohamed bin Salman (MBS) dan Putra Mahkota Abu Dhabi Pangeran Mohamed bin Zayed (MBZ).
Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck juga mengunjungi Qatar, Sabtu (19/3/2022), dan UEA pada Senin (21/3). Tujuannya, untuk mencari sumber alternatif pasokan gas dan minyak ke Jerman.
Baca juga : Eropa Kelabakan dengan Sinyal Ancaman Rusia Soal Pasokan Gas
Menteri Luar Negeri (Menlu) Jepang Yoshimasa Hayashi, 21 Maret, juga mengunjungi Abu Dhabi untuk menemui Menlu UEA Sheikh Abdullah bin Zayed. Menlu AS Antony Blinken, 29 Maret, terbang ke Maroko untuk menemui MBZ yang sedang berada di Maroko.
Pihak Ukraina pun sudah melihat peran strategis Qatar sejak awal meletusnya perang Rusia-Ukraina per 24 Februari. Pada hari pertama serangan Rusia ke Ukraina, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy langsung menelepon Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani.
Selanjutnya, per 4 Maret, Menlu Ukraina Dmytro Kuleba juga menelepon Menlu Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani. Ini ditindaklanjuti dengan kunjungan utusan khusus Presiden Ukraina, Bektum Rostam, yang langsung terbang ke Doha untuk menemui Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani, 10 Maret.
Menyadari sedang dibutuhkan masyarakat internasional, Arab Saudi-UEA dan Qatar memilih bermain licin. Caranya, mereka berusaha mengakomodasi kepentingan AS dan Rusia sekaligus.
Memang sikap Arab Saudi-UEA dan Qatar yang bermain dua kaki antara AS dan Rusia dalam isu perang Ukraina cukup mengejutkan. Sebab, mereka dikenal sahabat strategis AS di Timur Tengah.
Baca juga : Antisipasi Rusia Stop Pasokan Gas, Jerman Nyalakan Alarm Darurat Energi
Di Qatar terdapat pangkalan udara AS terbesar di Timur Tengah, yaitu pangkalan udara Al Udeid. Di UEA juga terdapat pangkalan udara AS, yaitu pangkalan udara Al-Dhafra. Arab Saudi pun memberi fasilitas transit di pangkalan udara Dhahran untuk pesawat tempur AS yang beroperasi di Timur Tengah.
Awalnya, Arab Saudi-UEA dan Qatar diduga memihak AS dalam isu krisis Ukraina. Kenyataannya, tiga negara Arab kaya Teluk tersebut bermain dua kaki antara AS dan Rusia. Lantas pertanyaannya, siapa di balik netralitas Arab Saudi-UEA dalam isu krisis Ukraina? MBS!
MBS membawa Arab Saudi tampil berbeda di panggung internasional daripada era generasi kedua keluarga besar Al Saud. Pada era generasi kedua Al Saud, Arab Saudi dikenal bagian dari payung AS. Namun, MBS yang merupakan generasi ketiga membawa Arab Saudi untuk membangun hubungan baik tidak hanya dengan AS, tetapi juga Rusia dan China.
Hubungan Arab Saudi dengan Rusia dan China berkembang pesat semenjak MBS ditunjuk sebagai putra mahkota pada 2017. Arab Saudi kini, misalnya, memilih bekerja sama dengan China daripada AS untuk mengembangkan rudal balistik dan pesawat tanpa awak. Arab Saudi ingin menyaingi Iran yang sudah memiliki industri rudal balistik dan pesawat tanpa awak yang cukup maju.
Adapun hubungan strategis Arab Saudi dan Rusia saat ini terbangun dalam organisasi OPEC Plus. Arab Saudi dan Rusia merupakan dua produsen minyak terbesar di dunia.
Hubungan strategis Arab Saudi-Rusia dalam forum OPEC Plus tidak goyah oleh tekanan AS.
Sesuai kesepakatan dalam forum OPEC Plus, Arab Saudi memproduksi minyak mentah sekitar 11 juta barel per hari. Rusia memproduksi minyak mentah sekitar 8 juta barel per hari. Stabilitas harga minyak di pasar dunia saat ini merupakan buah kesepahaman Arab Saudi-Rusia.
Hubungan strategis Arab Saudi-Rusia dalam forum OPEC Plus tidak goyah oleh tekanan AS. Arab Saudi beberapa waktu lalu ditekan AS agar menambah produksi minyak di atas kuota yang telah disepakati OPEC Plus.
UEA pun di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Abu Dhabi MBZ selalu bersama Arab Saudi dan Rusia dalam forum OPEC Plus untuk membangun kebijakan harga minyak dunia. Maka, terjalinlah aliansi strategis Rusia, Arab Saudi, dan UEA dalam forum OPEC Plus itu.
Hubungan UEA-China juga berkembang pesat. UEA telah membeli pesawat drone buatan China, Wing Loog. UEA kini dalam proses membeli pesawat tempur ringan buatan China, L-15 Falcon. UEA mulai mencari pasokan senjata alternatif selain AS setelah kesulitan mendapat pesawat tempur buatan AS, F-35.
Adapun Qatar di bawah kepemimpinan Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani bermain cantik pula dalam isu Ukraina. Meskipun mendapat tekanan AS, Qatar tetap memilih menjaga hubungan baiknya dengan Rusia.
Meskipun mendapat tekanan AS, Qatar tetap memilih menjaga hubungan baiknya dengan Rusia.
Itu di balik Menlu Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani berkunjung ke Moskwa untuk menemui Menlu Rusia Sergei Lavrov pada 14 Maret dalam upaya mencari solusi diplomasi untuk mengakhiri perang Ukraina.