Menkeu AS Ancam Boikot G20, Sri Mulyani Harapkan Yang Terbaik
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap G20 menjadi solusi efektif untuk permasalahan global. Sebelumnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengancam memboikot G20 jika pejabat Rusia hadir.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga Koordinator Finance Track Presidensi G20 Indonesia menekankan urgensi G20 sebagai forum yang bisa memberikan solusi terhadap permasalahan global. Ia berharap pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral alias FMCBG G20 di Washington DC, 20 April, berjalan efektif.
”Pertemuan FMCBG G20 diharapkan mampu membahas dan mengoordinasikan langkah yang efektif, menurunkan risiko ekonomi global, memecahkan masalah pangan dan energi, serta menjaga momentum pemulihan ekonomi dunia secara berkelanjutan dan inklusif,” kata Sri Mulyani di Jakarta lewat pesan tertulisnya kepada Kompas, Kamis (7/4/2022).
Hal itu disampaikan Sri Mulyani setelah Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menyampaikan bahwa AS akan memboikot beberapa pertemuan G20 jika ada pejabat atau perwakilan Pemerintah Rusia ikut serta di dalamnya. Hal ini ia sampaikan di depan sidang Komite Jasa Keuangan DPR AS, Washington DC, Rabu (6/4) waktu setempat.
”Presiden Biden menjelaskan, dan saya tentu setuju dengannya, bahwa perang di Ukraina tak bisa jadi bisnis seperti biasa bagi Rusia di lembaga keuangan mana pun. Dia (Biden) meminta Rusia dikeluarkan dari G20, dan saya telah menjelaskan kepada rekan-rekan saya di Indonesia bahwa kami tak akan berpartisipasi dalam sejumlah pertemuan jika Rusia hadir,” kata Yellen.
Saya telah menjelaskan kepada rekan-rekan saya di Indonesia bahwa kami tak akan berpartisipasi dalam sejumlah pertemuan jika Rusia hadir.
Juru Bicara Departemen Keuangan AS mengatakan, pertemuan yang akan diboikot sebagaimana disampaikan Yellen tersebut merujuk pada FMCBG di Washington DC, 20 April.
Di bawah Presidensi G20 Indonesia 2022, FMCBG dijadwalkan digelar tiga kali sebelum berujung pada pertemuan puncak di Bali, November 2022. Pertemuan yang akan digelar di Washington DC merupakan yang kedua. Pertemuan perdana digelar di Jakarta, 17-18 Februari. Adapun pertemuan ketiga digelar di Bali pada pertengahan Juli.
Sri Mulyani menekankan, FMCBG G20 di Washington DC sangat penting di tengah ekonomi dunia yang sedang berupaya pulih dari hantaman pandemi Covid-19. Belakangan, muncul pula tantangan baru, yakni perang di Ukraina yang menyebabkan ketegangan geopolitik bertambah dan menimbulkan dampak luberan berupa meroketnya harga komoditas pangan dan energi-mineral sehingga memicu kenaikan inflasi ekstrem.
Semua permasalahan itu, Sri Mulyani melanjutkan, menuntut respons kebijakan yang sangat kompleks. Pengetatan kebijakan yang terlalu cepat dan keras mengancam momentum pemulihan.
”Tanpa exit policy yang kredibel, keberlanjutan dan stabilitas ekonomi serta keuangan dunia akan terancam, sementara ancaman pandemi belum sepenuhnya berakhir dan masih harus dikelola dengan hati-hati. Dunia harus mampu memiliki persiapan menghadapi kemungkinan pandemi yang akan datang,” kata Sri Mulyani.
Kerjasama global dengan berdasarkan pada penghormatan atas kemerdekaan dan perdamaian abadi, Sri Mulyani menambahkan, justru semakin penting dan diperlukan dalam ancaman risiko geopolitik yang makin tinggi dan mengancam kepentingan bersama semua negara. "Ini menjadi syarat untuk bisa pulih bersama dna pulih lebih kuat, recover stronger recover together," kata Sri Mulyani.
Di bawah Presidensi G20 Indonesia 2022, FMCBG dijadwalkan digelar tiga kali sebelum berujung pada pertemuan puncak di Bali, November. Pertemuan yang akan digelar di Washington DC merupakan yang kedua. Pertemuan perdana digelar di Jakarta, 17-18 Februari. Adapun pertemuan ketiga digelar di Bali pada pertengahan Juli.
Menanggapi pernyataan Gedung Putih, Pemerintah Rusia menyatakan, mereka akan membuat keputusan apakah Presiden Rusia Vladimir Putin akan ambil bagian dalam KTT G20 atau sebaliknya berdasarkan situasi yang berkembang di lapangan. “Kami akan mengklarifikasi hal ini. Apalagi, Indonesia adalah tuan rumah penyelenggaranya,” kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov.
Sementara djuru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, tidak memberikan banyak komentar mengenai pernyataan Yellen. “Kami mencermati apa yang disampaikan Menteri Keuangan AS. Tetapi, kami juga memiliki kebijakan untuk tidak mengomentari pernyataan yang disampaikan. Walau demikian, dari sisi kesiapan, Kemenkeu RI terus mempersiapkan kegiatannya,” katanya.
Faizasyah mengatakan, Pemerintah RI ingin melihat situasi yang terjadi saat ini secara lebih obyektif, terutama karena dunia dan masyarakat global menghadapi tantangan yang lebih besar, yaitu pemulihan ekonomi dunia yang hancur karena pandemi. Kini, proses pemulihan menjadi lebih kompleks karena perang di Ukraina.
“Untuk itu, 20 negara ekonomi besar ini berpeluang untuk membicarakannya dan menjadi bagian dari solusi, tidak menjadi sumber tantangan lainnya,” kata Faizasyah.
Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009, Nur Hassan Wirajuda, saat berbicara dalam seminar yang diadakan Universitas Prasetya Mulya, mengatakan, permintaan AS untuk tidak mengundang atau bahkan lebih jauh lagi mengeluarkan Rusia dari G20 tidak akan mudah dilaksanakan.
Hassan mengatakan, berbeda dengan organisasi internasioal yang memiliki struktur dan aturan resmi, forum G20 jauh berbeda. “G20 bukanlah sebuah organisasi formal yang terstruktur rapi. Tentang melarang atau tidak mau hadir, itu ukurannya pada kekuatan,” kata dia.
Dia juga mengatakan, forum G20 tidak hanya beranggotakan negara-negara Barat dengan perekonomian yagn sangat maju, akan tetapi juga negara-negara berkembang dengan pandangan serta kepentingan yang berbeda dengan Barat.
"Ada Indonesia, Arab Saudi, Brasil, Afrika Selatan dan Argentina yang belum tentu sepakat dengan pandangan barat dan sekutunya atau menerima tekanan barat,” kata Hassan.
Bila boikot itu benar-benar terjadi dan berujung pada gagalnya pelaksanan Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang dijadwalkan berlangsung pertengahan November, menurut Hassan, sebuah hal yang disayangkan. “Tapi, itu bukan karena kesalahan Indonesia,” kata Hassan.
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri pada forum yang sama, menyatakan, ada kemungkinan KTT G20 tetap bisa dilaksanakan. Namun polarisasi yang terjadi menyebabkan adanya halangan pada penerapan komitmen-komitmen atas agenda yang telah diusung pada berbagai pertemuan.
“G20 tidak hanya sebatas summit, KTT, akan tetapi ada komitmen dan rencana aksi yang memerlukan koordinasi serta kerja sama di tingkat global,” katanya.
Komitmen dan rencana aksi inilah yang menurut Yose memiliki kemungkinan gagal dilaksanakan karena negara-negara maju enggan terlibat lebih jauh dengan adanya Rusia dalam forum.
Untuk itu, Yose mendorong Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan yang tetap mempertahankan perekonomian terbuka dan tidak protektif. Pemerintah juga mesti aktif mencari sumber pasokan alternatif untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri, serta mempersiapkan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih berhati-hati. (AP/REUTERS/MHD)