Konflik kepentingan Amerika Serikat dan Rusia pada krisis Ukraina menyeret Presidensi G-20 Indonesia 2022. Apa pun sikap Indonesia, risikonya akan menyambar kualitas hasil G-20 dan kepentingan nasional.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tahun ini, Indonesia menjadi presiden G-20. Sebagai presiden, Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan G-20 secara optimal hingga membuahkan output yang mampu efektif menjawab tantangan dunia mutakhir dan masa depan. Dari perspektif kepentingan domestik, kegiatan G-20 diharapkan mendukung agenda pembangunan nasional.
Namun, krisis Ukraina yang bereskalasi per 24 Februari 2022 menyebabkan posisi Indonesia sebagai presiden G-20 tahun ini menjadi sulit. Konflik kepentingan dan konstelasi politik dalam krisis Ukraina mau tidak mau merembet dan terefleksi dalam dinamika G-20. Sebab, aktor-aktor utama yang berkonflik berikut para pendukungnya adalah juga anggota-anggota G-20.
Merujuk pandangan pakar Hubungan Internasional dari Departemen Ilmu Politik Universitas Chicago, John Mearsheimer, krisis Ukraina sejatinya merupakan letupan pertempuran kepentingan antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia. AS ingin terus memperluas hegemoninya melalui eksistensi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sampai ke perbatasan Rusia. Langkah ini dilawan Moskwa karena menganggapnya sebagai ancaman terhadap kepentingan strategis nasional Rusia. Ukraina sebagai proksi menjadi korban paling terdampak.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, urusan Presidensi G-20 Indonesia 2022 sudah mulai terasa pelik, sensitif, dan sangat politis. Indonesia berada di antara tarik-menarik kepentingan negara-negara yang tengah berkonflik. Urusan undangan saja jadi dilematis dan kompleks.
Kepala Biro Dukungan Strategis Pimpinan pada Kementerian Luar Negeri RI Achmad Rizal Purnama, dalam konferensi pers mingguan di Jakarta, Kamis (17/3/2022), menyatakan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah berkomunikasi dengan para menteri luar negeri anggota G-20. Komunikasi itu termasuk membahas soal perang Rusia-Ukraina. ”Berbagai pandangan tentu harus didengar Indonesia,” ujarnya.
Perbedaan pandangan di G-20, Rizal melanjutkan, sudah biasa terjadi. Namun, fakta itu tidak lantas menjadi hambatan untuk bekerja sama. Kali ini, perbedaan pandangan muncul seputar serangan Rusia ke Ukraina.
Rizal juga mengatakan bahwa Retno sudah menyampaikan kepada para koleganya di G-20 bahwa semua perang pasti berdampak buruk terhadap dunia. Oleh karena itu, penanganannya perlu dibahas. ”Perlu diingat, G-20 dibentuk untuk menanggapi krisis,” katanya.
Menteri Luar Negeri RI periode 2009-2014 Marty Natalegawa berpendapat, krisis Ukraina mau tidak mau akan memengaruhi dinamika G-20. Oleh karena itu, Indonesia harus menyiapkan konsep yang tepat agar krisis itu tidak merembet menjadi bola liar di G-20.
Dampak ekonomi global dari krisis Ukraina, Marty melanjutkan, bisa menjadi pintu masuk G-20 membantu menyelesaikan persoalan itu. Sebab, faktanya, krisis Ukraina yang disertai dengan bombardir sanksi dari AS dan sekutunya terhadap Rusia mulai menghantam perekonomian global.
”Daripada menunggu sampai masalah semakin memecah belah G-20, Indonesia harus tampil dengan satu konsep di pertemuan G-20 ini yang sifatnya menjembatani semua kepentingan. Oleh karena itu, kita harus ambil inisiatif, minimum lewat dampak ekonomi sebagai pintu masuknya,” kata Marty.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Chatib Basri, menyatakan, G-20 adalah salah satu forum untuk mengaktualisasikan kebijakan luar negeri Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri tersebut harus menjadi jangkar keputusan-keputusan pemerintah pada Presidensi G-20 Indonesia 2022.
”Kita tentukan dulu politik luar negeri kita. Kalau memang posisi kita mau menjaga keseimbangan, yang harus dilakukan adalah lobi. Saya tidak tahu seberapa efektif lobi bisa dilakukan melihat blok (AS-Rusia) sudah seperti saat ini,” kata Chatib.
Semua pilihan memiliki konsekuensi ekonomi dan politik terhadap Indonesia. Tantangan ini yang harus dikalibrasi secara komprehensif dan terukur oleh pemerintah.
Semua pilihan, Chatib menambahkan, memiliki konsekuensi ekonomi dan politik terhadap Indonesia. Tantangan ini yang harus dikalibrasi secara komprehensif dan terukur oleh pemerintah.
”Yang paling ideal, kita bisa lobi kedua belah pihak untuk menerima posisi yang kita ambil. Tapi, kalau kemudian yang ideal itu tidak terjadi atau lobi gagal, kita harus siap dengan rencana darurat. Ini mesti dihitung dari konsekuensi ekonomi dan politik dari perspektif kepentingan nasional,” tuturnya.
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, mengatakan, sudah ada pembahasan untuk mengecualikan Rusia dari G-20. Wacana ini muncul dalam rangkaian sidang persiapan teknis G-20. ”Meski Indonesia punya rekam jejak dan modal merangkul semua, tantangan ini tidak mudah diselesaikan,” ujarnya di Yogyakarta.
Indonesia, menurut Muhadi, perlu menanggapi wacana pengecualian Rusia secara serius. Sebab, ada negara-negara yang mendukung dan menolak wacana itu. Pendukung dan penolaknya sama-sama berkontribusi penting bagi perekonomian global.
Tantangannya, Muhadi mengingatkan, hubungan AS-Sekutu dan Rusia tidak lagi pada tahap konflik, tetapi permusuhan ideologis.
”Jika masalahnya soal kepentingan, masih ada peluang mencari jalan tengah. Jika masalahnya sudah sampai menegasikan atau meniadakan pihak lain, akan sulit dicari komprominya,” ujar Muhadi. (RAZ/LAS)