Perdana Menteri Australia Scott Morrison enggan duduk satu meja dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam KTT G20 nanti. Morrison menilai Putin melalui serangannya ke Ukraina telah melakukan kejahatan perang.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
CANBERRA, KAMIS - Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyuarakan aspirasinya soal keputusan Indonesia mengundang Rusia pada G-20 tahun ini. Dia menyatakan berada di satu meja dengan Putin, yang dituduh melakukan kejahatan perang oleh Amerika Serikat selama agresi militer di Ukraina, adalah terlalu berlebihan.
”Gagasan untuk duduk bersama dengan Vladimir Putin, ketika AS sudah dalam posisi akan menyatakan dia (Putin) melakukan kejahatan perang di Ukraina, bagi saya adalah tindakan yang terlalu jauh,” kata Morrison saat bertemu dengan media di Canberra, Kamis (24/3/2022).
Morrison berkomentar soal ini setelah Pemerintah Indonesia yang saat ini memegang presidensi G-20 memutuskan mengundang semua anggota G-20, termasuk Rusia, pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Washington DC, AS, 20 April. Adapun pertemuan puncak yang akan dihadiri para kepala negara dan pemerintahan G-20 akan digelar di Bali, 15-16 November 2022.
Dikutip dari laman kantor berita ABC Australia, Morrison mengatakan, sebagai negara sahabat Indonesia, Australia tidak ingin memboikot Presidensi G-20 Indonesia dan membuat hubungan kedua negara menjadi renggang. Sebaliknya, Australia sebagai negara sahabat dan mitra ingin agar Presidensi G-20 Indonesia sukses.
”Kami ingin fokus terutama pada tantangan kita di kawasan Indo-Pasifik. Namun, kita harus memerlukan orang-orang (yang memiliki sikap dan tindakan) tidak menginvasi negara lain,” katanya.
Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengatakan, Australia tengah bekerja dengan sejumlah negara anggota G-20 lainnya untuk menentukan apakah Putin dan perwakilan Rusia diizinkan mengikuti KTT G-20 atau sebaliknya. Dikabarkan, negara-negara yang menolak kehadiran Rusia adalah G-7 atau kelompok tujuh negara terkaya di dunia.
Ini adalah masalah yang sangat sensitif, tidak hanya dalam kaitannya dengan G20, tetapi beberapa organisasi internasional dan multilateral. Masalah ini harus mendapat perhatian dan ditangani bersama-sama,” katanya.
Sikap Australia yang menganggap Putin sebagai penjahat perang mengikuti sikap sekutu dekatnya, AS. Menurut Payne, serangan yang disengaja ditargetkan terhadap warga sipil, termasuk di dalamnya mengebom infrastruktur sipil seperti sekolah dan bangunan tempat warga sipil berlindung, adalah sebuah kejahatan perang.
Payne menyatakan, pemerintah Australia mempertimbangkan untuk mengusir Duta Besar Rusia untuk Australia Alexey Pavlovsky. Namun menurut Payne, Pavlovsky dibutuhkan oleh mereka untuk tetap membuka pintu komunikasi antara Canberra-Kremlin.
Sementara Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (23/3), mengatakan, Indonesia telah menunjukkan ketegasan dengan memutuskan mengundang semua anggota G20. ”Kami sangat berharap Pemerintah Indonesia tidak akan menyerah pada tekanan mengerikan yang diterapkan oleh negara Barat,” katanya.
Selama diundang, Vorobieva menegaskan, Rusia memastikan akan hadir di semua kegiatan G20. Bahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin dinyatakan siap hadir dalam pertemuan puncak G20 Bali, 15-16 November 2022. ”Tentu akan tergantung dari perkembangan keadaan, juga pandemi Covid-19,” ujarnya.
Jika mereka (Barat) menganggap operasi militer (Rusia) ini salah, bagaimana dengan Israel yang menyerang Gaza? Bagaimana dengan NATO yang menyerang banyak negara? Di Irak saja, 600.000 warga sipil tewas karena serangan.
Menurut Vorobieva, AS dan sekutunya berusaha mengisolasi Rusia dari hampir semua organisasi internasional. Bagi Moskwa, Barat sedang menerapkan standar ganda. Sebab, Pakta Pertahanan Altantik Utara (NATO) bolak-balik menyerang negara lain dan tidak ada sanksi.
”Jika mereka (Barat) menganggap operasi militer (Rusia) ini salah, bagaimana dengan Israel yang menyerang Gaza? Bagaimana dengan NATO yang menyerang banyak negara? Di Irak saja, 600.000 warga sipil tewas karena serangan. Anda ingat bubuk putih yang disebut Powell (Menteri Pertahanan AS Colin Powell) sebagai bukti senjata pemusnah massal di Irak? Sampai sekarang tidak ada buktinya,” ujarnya. (REUTERS)