Amerika Serikat dan sekutunya berusaha mengisolasi Rusia dari semua organisasi internasional. Namun, Indonesia sebagai Presiden Group of Twenty tahun ini memutuskan mengundang semua anggota, termasuk Rusia.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rusia mengapresiasi keputusan Indonesia mengundang semua anggota Group of Twenty dalam semua rangkaian agenda kelompok 20 ekonomi dengan produk domestik terbesar di dunia itu. Indonesia memutuskan mengundang semua anggota Group of Twenty di tengah tekanan Amerika Serikat dan sekutunya untuk mengucilkan Rusia dari Group of Twenty. Desakan itu disampaikan setelah Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva mengatakan, Indonesia telah menunjukkan ketegasan dengan memutuskan mengundang semua anggota Group of Twenty. ”Kami sangat berharap Pemerintah Indonesia tidak akan menyerah pada tekanan mengerikan yang diterapkan oleh negara Barat,” katanya dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (23/3/2022).
Selama diundang, Rusia memastikan akan hadir di semua kegiatan Group of Twenty. Bahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin dinyatakan siap hadir dalam pertemuan puncak Group of Twenty di Denpasar pada 15-16 November 2022. ”Tentu akan tergantung dari perkembangan keadaan, juga pandemi Covid-19,” ujarnya.
Lyudmila mengatakan, AS dan sekutunya berusaha mengisolasi Rusia dari hampir semua organisasi internasional. Bagi Moskwa, Barat sedang menerapkan standar ganda. Sebab, Pakta Pertahanan Altantik Utara (NATO) bolak-balik menyerang negara lain dan tidak ada sanksi.
”Jika mereka (Barat) menganggap operasi militer (Rusia) ini salah, bagaimana dengan Israel yang menyerang Gaza? Bagaimana dengan NATO yang menyerang banyak negara? Di Irak saja, 600.000 warga sipil tewas karena serangan, Anda ingat bubuk putih yang disebut Powell (Menteri Pertahanan AS Colin Powell) sebagai bukti senjata pemusnah massal di Irak? Sampai sekarang tidak ada buktinya,” ujarnya.
Lyudmila menilai, Indonesia membuat keputusan tepat dengan mengundang semua anggota Group of Twenty. Sebab, tujuan-tujuan prioritas Indonesia selama menjadi Ketua Bergilir Group of Twenty sulit dicapai jika ada pihak yang tidak dilibatkan. Lagi pula, Group of Twenty adalah forum ekonomi. Oleh karena itu, Moskwa menilai upaya membawa isu perang Ukraina di forum itu tidak akan tepat dan tidak akan menyelesaikan masalah. ”Reaksi Barat sama sekali tidak imbang,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, ia mempertanyakan efektivitas sanksi yang diterapkan AS dan sekutunya. Selama puluhan tahun, AS dan sekutunya menjatuhkan sanksi ke banyak negara. ”Tidak ada satu pun yang bisa mengubah kebijakan di suatu negara. Jadi, apa guna sanksi itu?” katanya.
Ia menuding AS dan sekutunya melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi manusia lewat serangkaian sanksi itu. Sebab. sanksi-sanksi itu malah terbukti menyengsarakan jutaan orang di banyak negara. Apalagi, sebagian negara itu juga sudah hancur diserang AS dan sekutunya. ”Lihat Libya, Suriah, Irak,” ujarnya.
Lyudmila juga mempertanyakan keputusan perusahaan-perusahaan Barat yang memutus akses informasi versi Rusia. Banyak kanal media sosial milik lembaga dan orang Rusia diberangus. Media-media Rusia juga dilarang beroperasi di banyak negara. ”Di mana kebebasan berpendapat yang selama ini didengungkan?” katanya.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, ia melanjutkan, sejumlah negara secara terbuka mendukung kampanye kebencian terhadap orang Rusia. Banyak warga sipil Rusia di beberapa negara menjadi sasaran kebencian. ”Permusuhan begitu nyata. Kami berterima kasih di Indonesia tidak ada permusuhan seperti itu,” ujarnya.
Ia dan Atase Pertahanan Rusia di Indonesia Kapten Sergey Zhevnovatyy berkeras bahwa Rusia sedang menjalankan operasi militer. Moskwa harus melakukan itu karena Kiev mengabaikan permintaan untuk menghentikan serangan kepada warga di Ukraina timur. ”Ada ribuan orang tewas dan terluka akibat serangan itu,” kata Zhevnovatyy.
Perwira Angkatan Laut Rusia itu menyangkal Moskwa sengaja menyerang berbagai fasilitas sipil di Ukraina. Bangunan sipil yang menjadi sasaran telah diidentifikasi sebagai tempat penyimpanan senjata atau persembunyian milisi Ukraina. Hal itu, antara lain, terjadi di pusat perbelanjaan di Kiev.
”Media Barat menyebut pusat perbelanjaan itu sedang penuh orang waktu rudal tiba. Padahal, serangan dilakukan tengah malam. Mana mungkin pusat perbelanjaan ramai setelah tengah malam,” ujarnya.
Rusia memadukan serangan jarak jauh dengan rudal dan bom berpemandu, intelijen darat, dan penyisiran bangunan. Intelijen dan penyisiran terutama memastikan setiap bangunan tidak ada warga sipil. Penyisiran juga untuk mencari tahu bangunan yang dijadikan penyimpanan senjata dan persembunyian milisi.
Dalam perang Ukraina, memang tidak hanya tentara yang terlibat. Rusia mengerahkan tentaranya bersama milisi Republik Rakyat Donetsk (RRD) dan Republik Rakyat Luhanks (RRL). Sementara Ukraina mengerahkan tentara dan milisi. Warga anggota-anggota NATO juga menjadi milisi yang membantu Ukraina.
Zhevnovatyy menuding, milisi Ukraina kerap menghalangi upaya evakuasi warga sipil. ”Mereka (milisi) sengaja bersembunyi di permukiman, melarang warga mengungsi supaya bisa dijadikan tameng,” katanya.