Tolak Membebek AS, Malaysia-Vietnam Tak Terapkan Sanksi kepada Rusia
Amerika Serikat berusaha memperluas sanksi kepada Rusia. Namun, upaya mengisolasi Rusia ini tak selamanya diikut negara-negara lain. Sejumlah negara bahkan tegas menolaknya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
HANOI, RABU — Malaysia dan Vietnam adalah dua negara di Asia Tenggara yang secara tegas mengatakan menolak memberi sanksi kepada Rusia. Alasannya, langkah itu tidak sesuai dengan prinsip politik luar negeri setiap negara yang mengutamakan netralitas. Malaysia dan Vietnam sama-sama mendorong gencatan senjata dan dialog damai.
Kebijakan Malaysia itu ditegaskan Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yakoob dalam lawatannya ke Hanoi, Vietnam, Rabu (23/3/2022). Sejatinya, keterangan serupa telah diberikan oleh Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah pada awal Maret.
”Malaysia mempercayai bahwa sanksi terhadap suatu negara tidak bisa diberikan secara unilateral. Ada prosedur yang benar, yaitu harus melalui Perserikatan Bangsa-Bansga (PBB),” kata Ismail, seperti dikutip oleh kantor berita nasional Malaysia, Bernama.
Lebih lanjut, Malaysia juga merupakan anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Pemberian sanksi sejatinya tidak bisa digunakan dengan metode sapu jagat atau pukul rata. Namun, sanksi harus didasarkan pada perhitungan terperinci mengenai tujuan dan efektivitasnya. ”Jangan sampai sanksi malah merugikan masyarakat yang tidak bersalah,” kata Ismail.
Pihak Vietnam belum mengeluarkan keterangan resmi. Akan tetapi, sejak awal Maret, Vietnam menyatakan tidak mendukung penyerangan Rusia terhadap Ukraina sekalipun negara itu tidak menyampaikan kecaman terhadap tindakan Rusia.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) per 26 Februari juga mengeluarkan pernyataan yang intinya mendorong de-eskalasi konflik dan mendorong perdamaian. Tak ada kata-kata kecaman terhadap Rusia.
Satu-satunya anggota ASEAN yang memberikan sanksi kepada Rusia adalah Singapura. Mereka melarang segala transaksi barang dan jasa, termasuk mata uang kripto, dengan berbagai lembaga keuangan dan perusahaan Rusia.
Media Singapore Business Review menjelaskan, lembaga-lembaga penanam modal ataupun pengelola modal dari Rusia juga harus segera menghentikan transaksi. Aliran uang, barang, dan jasa ke Donetsk dan Luhansk juga dilarang. Kedua wilayah di Ukraina itu telah menyatakan memisahkan diri dari Ukraina.
”Bagi Singapura, pemberian sanksi ini sangat penting karena Rusia telah melanggar kedaulatan Ukraina. Ini bisa menjadi preseden buruk apabila tidak dicegah. Negara-negara kecil, seperti Singapura, menghadapi risiko besar,” ujar Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan.
Sanksi terhadap Rusia telah merembet ke mana-mana, bahkan ke area yang tidak terkait ekonomi. Kucing-kucing ras dari Rusia dilarang mengikuti lomba binatang piaraan. Berbagai komposisi klasik gubahan komposer asal Rusia pun dilarang dipertunjukkan di gedung-gedung kesenian. Seniman dan atlet Rusia juga dilarang tampil.
Penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan mengungkapkan bahwa Presiden Amerika Serikat Joe Biden sedang berada di Brussles, Belgia, untuk rapat dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). ”Beliau akan mengumumkan sanksi tambahan terhadap Rusia seusai rapat,” ucapnya, seperti dikutip oleh The Financial Times.
Biden selanjutnya dijadwalkan ke Polandia. Negara itu telah menerima 2 juta pengungsi asal Ukraina. Presiden Polandia Andrzej Duda berencana meminta tambahan kehadiran pasukan NATO di wilayahnya. Saat ini, ada 10.000 tentara AS di Polandia.
Permohonan penambahan kehadiran pasukan AS dan NATO juga dikemukakan oleh Estonia, Latvia, Lituania, dan Romania. Mereka mengharapkan, dengan adanya banyak pasukan NATO, Rusia akan gentar melakukan invasi ke negara-negara tersebut pada tahun-tahun mendatang. Dalam dua bulan terakhir, jumlah pasukan AS di Eropa naik dari 80.000 orang menjadi 100.000.
Meskipun demikian, para pakar ekonomi dunia memperingatkan bahwa sejatinya, korban terbesar dari sanksi-sanksi terhadap Rusia ini adalah rakyat jelata. Tidak hanya rakyat Rusia, tetapi rakyat secara global.
”Kenaikan harga minyak ataupun bahan baku energi lainnya akan menekan negara-negara berkembang, seperti di Asia Tenggara. Di tataran global, rakyat dari kelompok ekonomi menengah ke bawah akan terdampak serius oleh efek sanksi ini, termasuk rakyat miskin di Eropa,” kata pakar energi global Vandana Hari kepada BBC.