Sanksi ekonomi pada banyak kasus tak efektif mencapai sasaran. Bahkan, komplikasinya justru menyengsarakan masyarakat luas. Berikut tujuh salah kaprah tentang sanksi ekonomi yang marak dijatuhkan oleh negara-negara kaya.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
(AFP/FILIPPO MONTEFORTE)
Seorang pejalan kaki melewati sebuah mural yang menggambarkan dua tank milik Ukraina dan Rusia yang saling berhadapan, yang dilukis di dekat kantor Kedutaan Besar Rusia di Italia di Roma, Kamis (24/2/2022). Hanya berselang 12 jam setelah perintah invasi dikeluarkan Presiden Rusia Vladimir Putin, militer Rusia telah berhasil mengepung ibu kota Ukraina, Kiev.
Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya selama ini telah menjatuhkan sejumlah paket sanksi kepada Rusia. Menyusul serangan Rusia ke Ukraina per 24 Februari 2022, AS dan negara-negara sekutunya, lagi-lagi, menggelontorkan sanksi. Kali ini volume dan skalanya lebih masif. Akumulasi sanksi dengan target Rusia mencapai lebih dari 5.000 sanksi.
Sanksi bukan hal baru. Faktanya, sanksi sudah menjadi instrumen penekan minimal sejak zaman Perang Dunia I. Setelah Perang Dunia II, sanksi semakin banyak digunakan. Ada yang dijatuhkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ada pula yang dijatuhkan oleh satu atau sekelompok negara secara sepihak di luar mekanisme PBB.
Sejak 1960-an, Dewan Keamanan PBB menetapkan sanksi multilateral terhadap 30 rezim berdasarkan Pasal 41 Piagam PBB. Sanksi memainkan peran kunci dalam mengakhiri rezim apartheid di Afrika Selatan dan Rhodesia Selatan (kini Zimbabwe). Entitas non-negara, seperti Al Qaeda, Taliban, dan, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), juga telah menjadi target sanksi DK PBB.
Di luar mekanisme PBB adalah AS dan negara-negara sekutunya yang paling gandrung menjatuhkan sanksi kepada negara lain. Sejak Perang Dunia I, AS dan sekutunya telah sering menggunakan sanksi ekonomi untuk mencapai tujuan politik internasional mereka.
MARINA EKATARI
Invasi Rusia ke Ukraina sejak Kamis (24/2/2022) terus bergulir. Upaya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk berdialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak direspons. Foto gabungan Putin (kiri) dan Zelenskyy (kanan).
Sanksi sebagai instrumen kebijakan politik luar negeri menjadi semakin populer dalam beberapa dekade terakhir. Pada 1990-an, sanksi dijatuhkan terhadap rata-rata hingga tujuh rezim per tahun. Dari 67 kasus dalam dekade itu, dua pertiganya merupakan sanksi sepihak yang dijatuhkan AS.
Pada masa kepresidenan Bill Clinton, misalnya, mengutip salah satu laporan World Economic Forum, berbagai sanksi oleh AS berdampak pada sekitar 40 persen dari populasi dunia atau 2,3 miliar orang. Sebagian besar sanksi dijatuhkan negara besar terhadap negara kecil. Saat ini, menurut The Atlantic, AS telah menjatuhkan hampir 8.000 sanksi di seluruh dunia. Iran adalah target terbesar sebelum akhirnya kini beralih ke Rusia.
Meskipun sanksi menjadi instrumen yang semakin banyak digunakan untuk mencapai agenda politik luar negeri atau agenda PBB, banyak pertanyaan muncul soal bobot efektivitas instrumen itu. Hal ini berangkat dari pengalaman di berbagai negara target yang menunjukkan bahwa sanksi tidak mencapai sasaran, melainkan justru berkomplikasi hingga merugikan kelompok non-target. Umumnya adalah masyarakat.
Sebuah kajian komprehensif yang diterbitkan Columbia University Press per 2019, menyebutkan, hanya sepertiga dari 170 kasus sanksi yang efektif mencapai tujuannya. Studi lainnya memperkirakan tingkat keberhasilan sanksi terhadap rezim lebih rendah dari 5 persen.
AFP/DANIEL LEAL
Seorang wanita muda menggendong seorang anak balita ketika mereka berdiri di luar stasiun kereta api di Liev pada 27 Februari 2002. Mereka sedang mencari tempat berlindung yang aman dari serangan Rusia.
Lantas, apa yang salah atau tidak tepat dengan sanksi? World Economic Forum per 2019 membuat laporan soal tujuh salah kaprah tentang sanksi. Ada tujuh kesalahpahaman atau kekeliruan menonjol seputar sanksi. Namun, masing-masing tidak bersifat mutlak dan terbuka untuk divalidasi atau diverifikasi lagi kebenarannya. Berikut ketujuh salah kaprah itu.
1. Sanksi dibenarkan sebagai alternatif perang yang lebih lunak dan manusiawi.
Dalam kenyataannya, sanksi seringkali justru membuka jalan bagi perang daripada mencegahnya. Misalnya, 13 tahun sanksi internasional terhadap Irak malah diikuti invasi oleh AS dan sekutunya pada 2003.
2. Sanksi yang merugikan pasti berhasil atau sukses.
Persoalan pertama terletak pada definisi sukses. Apakah sukses membuat suatu negara menderita kerugian besar menjadi ukuran sukses? Fakta-fakta justru menunjukkan pertentangan dengan pemahaman itu, Sanksi ternyata merugikan sebagian besar penduduk sipil. Sementara rezim yang menjadi target utama, misalnya, sama sekali tidak tersentuh.
Sanksi-sanksi juga justru menghambat pertumbuhan ekonomi, merusak produksi, dan menyebabkan bisnis gagal. Pada gilirannya tingkat pengangguran meningkat. Akibat pembatasan impor, sanksi juga dapat memicu inflasi dan memicu krisis mata uang.
3. Sanksi sering dikatakan ”smart” dan ”tertarget”.
Namun, dalam praktiknya, sanksi ekonomi yang komprehensif adalah hukuman kolektif. Sanksi menekan kelas menengah dan memaksakan beban yang tidak proporsional pada kelompok termiskin dan paling rentan. Masyarakat miskin dan paling rentan adalah kelompok paling menderita akibat sanksi.
AP Photo/Evgeniy Maloletka
Pemandangan dari sebuah kaca jendela sebuah rumah sakit di Mariupol, Ukraina, Kamis, 3 Maret 2022. Rumah sakit ini terkena serangan Rusia.
4. Sanksi merupakan cara untuk menegakkan dan mempromosikan hak asasi manusia.
Bukti menunjukkan bahwa entitas masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) umumnya merupakan pihak yang paling dirugikan akibat sanksi. Dengan menggambarkan sanksi sebagai agresi asing dan perang ekonomi terhadap negara mereka, rezim otoriter sering menuduh aktivis HAM bersekutu dengan musuh. Sanksi akhirnya justru menjadi jalur singkat untuk memicu tindakan keras rezim terhadap masyarakat sipil dan LSM.
Contohnya adalah pengenaan sanksi kepada Iran menyusul penarikan AS dari kesepakatan nuklir Iran 2015 pada 9 Mei 2018. Hal itu pada gilirannya justru menguatkan kelompok garis keras di negara itu. Bahkan, kubu garis keras akhirnya mampu memenangi pemiliuhn umum, mengalahkan pemerintahan sentris Hassan Rouhani.
Contoh lain adalah sanksi terhadap Irak di bawah pimpinan Saddam Hussein pada 1990-an. Selain menyebabkan kehancuran besar-besaran masyarakat sipil di negara itu, sanksi juga membantu mengobarkan politik identitas dan sektarianisme yang terus mengganggu Irak dan kawasan yang lebih luas.
5. Sanksi diperlukan dan sangat efektif dalam membawa perubahan rezim.
Terlepas dari kasus Afrika Selatan dan Zimbabwe, sanksi terbukti gagal membawa perubahan rezim. Ini, misalnya, terjadi di Korea Utara, Kuba, dan Myanmar. Rezim yang menjadi target sanksi terbukti bertahan lama.
Blokade yang diberlakukan di Qatar oleh Arab Saudi, Uni Ermirat Arab, Bahrain, dan Mesir sejak Juni 2017 justru telah meningkatkan popularitas emir. Sanksi juga justru membuat sebagian besar penduduk bersatu di belakang rezim.
AP Photo/Oleksandr Ratushniak
Orang-orang melintasi jalan setapak di bawah jembatan yang hancur saat melarikan diri dari kota Irpin, Ukraina, Minggu, 6 Maret 2022. Di Irpin, dekat Kyiv, lautan manusia yang berjalan kaki dan bahkan dengan gerobak dorong melewati puing-ping jembatan yang hancur akibat serangan Rusia.
6. Sanksi dapat melemahkan pemerintah yang menjadi target sanksi.
Hal yang pasti adalah sanksi memperburuk iklim bisnis dan investasi. Sektor swasta menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan. Sementara kekuasaan justru menjadi lebih terpusat dan terkonsentrasi. Sebab, pemerintah semakin mengontrol pasokan komoditas strategis, yang akibat sanksi pasokannya menjadi terbatas atau bahkan kurang. Ujung-ujungnya, sanksi memperkuat rezim di mata masyarakatnya.
7. Sanksi dianggap efektif dalam membendung proliferasi nuklir.
Kasus di Iran jadi contoh konkret bahwa saksi tak efektif membendung proliferasi nuklir. Sejak Perjanjian Non-Proliferasi mulai berlaku pada 1970, empat negara telah memperoleh senjata nuklir, yakni Israel, India, Pakistan, dan Korea Utara. Tiga dari empat negara itu menjadi negara bersenjata nuklir pada saat mereka berada di bawah sanksi.
Demikian tujuh salah kaprah sanksi versi World Economic Forum. Sekali lagi, setiap poin tidak bersifat mutlak dan terbuka untuk divalidasi atau diverifikasi lagi kebenarannya.
Pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan sanksi ekonomi dinilai dari apakah sanksi tersebut membawa perubahan rezim atau mengubah perilaku pemerintah negara target. Ini mengandaikan bahwa tujuan penerapakan sanksi didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan baik lainnya.
Sebab, pada realitas politiknya, hal-hal normatif sebagai alasan sanksi sebenarnya hanyalah kemasan narasi belaka. Sementara agenda sebenarnya merupakan kepentingan strategis negara yang menjatuhkan sanksi terhadap negara target.