Terlalu Asyik Domestik, Indonesia Kurang Melek Situasi Global
Persoalan domestik selalu menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia. Sementara untuk isu-isu internasional, mayoritas belum melek.
Laut China Selatan kerap disebut sebagai salah satu perairan terpanas dan berpeluang besar menjadi lokasi pecahnya konflik antara Amerika Serikat dan China. Sejumlah negara-negara Eropa yang jauh dari kawasan bahkan mulai menempatkan kawasan itu sebagai salah satu prioritas kebijakan luar negerinya. Singkat kata, Laut China Selatan akan menjadi titik panas dalam hubungan internasional dalam beberapa tahun ke depan.
Namun, sejauh ini, tren tersebut tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Sekalipun tinggal di wilayah periferi Laut China Selatan, masyarakat Indonesia tidak memandang potensi konflik itu sebagai masalah utama.
Baca juga : Menuju Arsitektur Indo-Pasifik Baru
Jajak pendapat oleh Lowy Institute pada November-Desember 2021 dengan 3.000 responden di 33 provinsi di Indonesia mengungkap fenomena itu. Laporan berjudul ”Charting Their Own Course: How Indonesian See The World” itu resmi disiarkan pada Senin (4/4/20225) malam waktu Canberra, Australia.
Laporan itu dikeluarkan hampir 1,5 bulan setelah Yushof Ishak Institute (YII) mengeluarkan ”The State of Southeast Asia 2022”, laporan hasil jajak pendapat yang rutin digelar sejak 2019. Seperti Lowy, jajak pendapat YII juga diselenggarakan pada November-Desember 2021.
Bedanya, responden YII tersebar di berbagai negara Asia Tenggara dan terdiri dari pengamat dan pejabat. Ada pun responden Lowy, sebagaimana dipaparkan Evan Abelard Laksmana yang ikut menulis laporan itu, sepenuhnya tersebar di Indonesia.
Dalam survei Lowy, pandemi dan ekonomi, termasuk masalah utama bagi orang Indonesia. Lowy menemukan 63 persen responden cemas pada pandemi dan 60 persen lain khawatir pada gangguan keuangan internasional. Adapun soal persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China hanya 41 persen responden yang risau.
Hal ini lebih-kurang sejalan dengan pemahaman masyarakat negara-negara Asia Tenggara yang terekam pada jajak pendapat YII. Sebanyak 75 persen responden cemas pada pandemi dan 49,8 persen lain cemas pada resesi ekonomi. Hanya 35 persen cemas pada peningkatan ketegangan militer.
Baca juga Menjaga ASEAN, Menjaga Asia-Afrika
Memori kolektif bangsa- bangsa Asia Tenggara memang lebih banyak diwarnai dagang dibandingkan dengan perang. Dalam 30 tahun terakhir, perang hanya benar-benar terjadi di Myanmar dan sebagian Filipina. Itu pun sifatnya bukan perang antarnegara, melainkan perang antara pemerintah dan gerakan perlawanan di dalam negeri. Di bagian lain Asia Tenggara, nyaris tidak ada pertempuran.
Perang Kamboja dan Vietnam sudah selesai puluhan tahun silam. Masyarakat di kedua negara fokus meningkatkan kesejahteraan. Bagi mayoritas penduduk Indonesia, perang lebih asing lagi. Baku tembak yang melibatkan Indonesia pernah terjadi di Aceh, Timor, dan Papua. Aceh dan Timor telah lama selesai. Papua dalam skala baku tembak kecil dan sporadis.
Guru Besar Politik Internasional pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bambang Cipto menyebut bahwa di mana pun orang akan lebih perhatian pada hal yang dekat. Bagi banyak orang Indonesia, isu pandemi dan ekonomi memang lebih nyata dan dekat.
”Di Amerika Serikat juga seperti itu, Eropa juga. Hal-hal terkait urusan luar negeri tidak terlalu menjadi perhatian luas. Hanya sekelompok kecil orang karena alasan masing-masing, perhatian pada isu-isu luar negeri,” katanya.
Baca juga : ASEAN-Uni Eropa Selaraskan Kepentingan di Indo-Pasifik
Isu luar negeri yang jadi perhatian Indonesia pun tetap terkait kehidupan sehari-hari. Dalam jajak pendapat Lowy, pencapaian politik luar negeri Indonesia yang paling utama adalah melindungi WNI di luar negeri. Sementara upaya membangun hubungan dengan AS, China, atau Australia menempati urutan terbawah. ”Penduduk Indonesia semakin condong melihat ke dalam,” kata Evan.
Peneliti senior Lee Kuan Yew School of Public Policy itu mengatakan, jajak pendapat Lowy mematahkan banyak anggapan terhadap orang Indonesia. ”Secara umum, isu-isu dalam negeri masih menempati urutan teratas dalam daftar (topik) yang mengkhawatirkan publik,” ujarnya.
Upaya membangun hubungan dengan AS, China, atau Australia menempati urutan terbawah. Penduduk Indonesia semakin condong melihat ke dalam.
Kontradiksi juga terungkap. Mayoritas responden menganggap demokrasi sebagai sistem terbaik. Mayoritas juga menganggap bahwa identitas Indonesia di pentas internasional bukanlah sebagai negara Islam.
Di sisi lain, Pangeran Mohammad bin Salman dari Arab Saudi dan Pangeran Mohammed bin Zayed dari Uni Emirat Arab menjadi pemimpin luar yang paling dipercaya. Padahal, keduanya pemimpin negara nondemokrasi dan penduduknya mayoritas Islam.
Lowy juga menemukan, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Australia merosot. Melonjak hingga 75 persen pada 2011, kepercayaan Indonesia kepada Australia tinggal 55 persen dalam survei Lowy 2021. Tren kepercayaan terhadap AS juga hampir sama, dari 72 persen menjadi 56 persen. Ada pun terhadap China, tingkat kepercayaan Indonesia tergerus dari 60 persen menjadi 42 persen.
Pada saat bersamaan, Indonesia menganggap potensi ancaman dari semua negara itu terus naik. Beijing, Canberra, dan Washington berada di peringkat teratas dalam daftar pihak asing yang dianggap orang Indonesia sebagai ancaman.
Pada 2011, Indonesia menganggap Malaysia sebagai negara paling berbahaya. Kini, hanya 23 persen responden menganggap Malaysia sebagai ancaman. Terhadap semua figur itu, Evan menduga, setidaknya ada dua penyebabnya.
Hanya 17 persen responden rutin mengikuti berita tentang luar negeri.
Pertama, minat pada informasi soal luar negeri terbatas. Kedua, informasi soal luar negeri lebih banyak disampaikan oleh para elite. Padahal, para elite telah menyaring informasi itu menurut persepsi mereka.
Sering kali elite membahas isu luar negeri dari sudut pandang negatif. Kebetulan, negara-negara yang dianggap sebagai ancaman bagi responden Lowy adalah negara-negara yang paling kerap disinggung elite Indonesia.
Memang, dalam riset Lowy, hanya 17 persen responden rutin mengikuti berita tentang luar negeri. Selain itu, hanya 7 persen responden yang bepergian ke luar negeri. Soal ini, tim menduga ada kaitan dengan pandemi yang membuat perjalanan lintas negara sulit dilakukan.
Evan mengatakan, jajak pendapat itu perlu mendapat perhatian Kementerian Luar Negeri RI. Sebab, responden menempatkan TNI sebagai pihak terdepan dalam membela kepentingan Indonesia terhadap negara lain. Sementara Kemenlu berada di urutan ketiga.
Lebih mengejutkan lagi, hanya 25 persen responden pernah mendengar istilah ”bebas aktif". Padahal, konsep ini merupakan jangkar politik luar negeri Indonesia selama puluhan tahun.
Hanya 25 persen responden pernah mendengar istilah bebas aktif.
Temuan Lowy menunjukkan, upaya diplomasi publik oleh Kemenlu perlu diintensifkan. Kemenlu RI perlu merumuskan ulang cara komunikasi publik agar masyarakat bisa memahami isu-isu luar negeri dengan lebih komprehensif dan layak. ”Penting bagi publik Indonesia untuk lebih terpapar pada isu-isu luar negeri,” katanya.
Sejumlah kerja-kerja diplomasi Indonesia telah diketahui publik. Hal itu selaras dengan temuan Lowy bahwa prioritas capaian diplomasi adalah perlindungan WNI dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Diplomat Indonesia juga perlu menggencarkan pembukaan pasar produk Indonesia di luar negeri. Perlindungan kedaulatan Indonesia juga menjadi perhatian lebih dari 90 persen responden.
Baca juga : Tantangan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Upaya Indonesia memperkuat ASEAN dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menjadi perhatian mayoritas responden. Dalam berbagai kesempatan, semua itu telah dinyatakan Kemenlu sebagai prioritas politik luar negeri.
Namun, temuan Lowy menunjukkan Kemenlu perlu lebih kreatif menjalankan diplomasi publik di dalam negeri di tengah upaya Indonesia menemukan tempat pada panggung global. Akan ada peluang ketidakcocokan antara persepsi publik dan kenyataan di luar negeri jika penduduk Indonesia semakin menjauhi informasi-informasi luar negeri.