Parlemen Dibubarkan, PM Khan Selamat dari Mosi Tidak Percaya
Presiden Pakistan Arif Alvi membubarkan Majelis Nasional sehingga mosi tidak percaya yang bertujuan mendongkel PM Imran Khan pun gagal. Ini memicu ketidakpastian besar di Islamabad.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan akhirnya selamat dari mosi tidak percaya yang digalang kubu oposisi. Khan selamat setelah Wakil Ketua Majelis Nasional Qasim Suri, Minggu (3/4/2022), memblokir pemungutan suara mosi tidak percaya terhadap Khan di parlemen. Presiden Pakistan Arif Alvi kemudian membubarkan Majelis Nasional atas saran Khan berdasarkan Pasal 58 konstitusi negara itu.
Suri merupakan politisi dari partai yang berkuasa, Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI), pendukung Khan. Padahal sebelumnya, Kamis (31/3/2022), Suri menerima Shahbaz Sharif, pemimpin oposisi di Majelis Nasional, yang mengusulkan mosi tidak percaya terhadap Khan dan menjadwalkan untuk dibahas mulai hari itu. Setelah parlemen dibubarkan, Khan mengumumkan pemilu akan digelar dalam waktu 90 hari.
”Presiden Pakistan Arif Alvi telah menyetujui saran Perdana Menteri Pakistan untuk membubarkan Majelis Nasional berdasarkan Pasal 58 (1) dan Pasal 48 (1) Konstitusi Republik Islam Pakistan,” kata pernyataan Sekretariat Presiden Khan, dikutip situs surat kabar Dawn.
Baca juga: Stabilitas Politik Pakistan Terguncang, PM Khan di Ujung Tanduk
Sebelum pembubaran parlemen oleh Presiden Alvi, PM Khan dalam pidatonya pada Minggu mengatakan bahwa dia telah menyarankan presiden untuk membubarkan majelis. Dia berbicara setelah Suri, yang memimpin sidang pada Minggu, menolak mosi tidak percaya terhadap Khan, beberapa jam sebelum pemungutan suara dilakukan.
Suri menyebutkan, mosi tidak percaya itu bertentangan dengan Pasal 5 Konstitusi yang menyatakan kesetiaan kepada negara adalah kewajiban dasar setiap warga negara.
Langkah yang diambil Suri muncul setelah Menteri Penerangan Fawad Chaudhry dalam pidatonya mendesak Suri menjegal pemungutan suara mosi tidak percaya terhadap PM Khan. Dia menuduh oposisi telah ditunggangi kepentingan asing. Sebelumnya, pada Minggu (27/3/2022), Khan juga mengatakan dia telah menjadi korban ”konspirasi asing”.
Selama dua pekan terakhir, Khan menghadapi tantangan terbesar dalam karier politiknya setelah oposisi di parlemen berusaha untuk mencopotnya dari posisi perdana menteri (PM) dengan mosi tidak percaya. Ketika mulai berkuasa pada 2018, dia mengantongi dukungan 76 persen suara parlemen.
Hingga menghadapi detik-detik pemungutan suara mosi tidak percaya terhadap pemerintahannya, Khan sulit mempertahankan dukungan. Koalisi partai Khan, Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI), rontok setelah partai mitra utamanya, Gerakan Muttahida Qaumi (MQM), membelot ke kubu oposisi.
Baca juga: Mitra Koalisi Membelot, Khan Terancam Terguling dari Kursi PM Pakistan
MQM yang memiliki tujuh kursi parlemen, Rabu (30/3/2022), meneken kesepakatan dengan oposisi, yakni Partai Rakyat Pakistan (PPP) dan Liga Muslim Pakistan (PML-N). Oposisi akhirnya mengantongi total 175 suara, lebih tiga suara dari ambang 172 suara yang dibutuhkan untuk menggulingkan Khan.
Selain itu, belasan anggota parlemen PTI juga telah secara terbuka mendukung gerakan oposisi dan menyatakan tak bergabung dengan koalisi partai berkuasa. Pembelotan MQM ditambah dukungan sebagian suara politisi PTI membuat Khan bisa terguling dari kursi PM.
Namun, kubu Khan tidak kehilangan manuver politik yang berujung pada pembubaran parlemen negarai itu, Majelis Nasional, yang memiliki total 342 kursi. Langkah piawai politik Khan memicu kemarahan di kalangan oposisi sehingga memperdalam krisis politik di Pakistan. Oposisi bahkan akan menggalang unjuk rasa besar-besaran di seluruh negeri untuk melawan langkah Khan.
Ketidakpastian
Tindakan Khan dinilai menciptakan ketidakpastian besar di Islamabad. Konflik politik yang diikuti polarisasi sosial dapat menghancurkan masa depan Pakistan. Para pakar konstitusi Pakistan memperdebatkan kembali legalitas langkah yang diambil kubu Khan. Mereka juga bertanya, apakah Khan bisa menghentikan kekacauan jika itu terjadi di masa mendatang?
”Kami telah memutuskan melakukan aksi duduk di Majelis Nasional, kecuali pemungutan suara mosi tidak percaya terjadi,” kata Bilawal Bhutto-Zardari, Ketua PPP, kepada wartawan. ”Kami sedang menghubungi Mahkamah Agung atas (tindakan) pelanggaran (hukum) ini.”
Baca juga: Imran Khan Terancam Dilengserkan dari Posisi Perdana Menteri
Jika kubu opisisi dan Khan terlibat dalam kekacauan akibat mobilisasi massa untuk mempertahankan posisi masing-masing, pada titik itulah diperkirakan militer Pakistan bisa muncul untuk mengambil alih kekuasaan dengan alasan stabilisasi politik dan keamanan negara. Konstitusi dengan jelas mendefinisikan fungsi tentara, antara lain bertindak untuk membantu kekuatan sipil ketika diminta untuk melakukannya.
Sejak 1947, Pakistan tiga kali dijalankan diktator militer. Pertama, ketika Jenderal Muhammad Ayub Khan menggulingkan Presiden Iskander Mirza pada 1958. Dia meninggalkan jabatan pada 1969 dan menunjuk Jenderal Agha Mohammad Yahya Khan sebagai penggantinya.
Pada 1977, Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta. Zulfikar Ali Bhutto, perdana menteri yang digulingkan, dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada 1979. Pada 1999, Jenderal Pervez Musharraf menggulingkan Perdana Menteri Nawaz Sharif.
Jika terjadi kekacauan setelah pembubaran parlemen, maka situasi itu dapat menjadi pintu masuk militer. Khan melihat pergolakan politik saat ini sebagai ulah kekuatan asing. Pekan lalu, Khan menyebut Amerika Serikat, meski beberapa saat kemudian dia meralatnya sebagai salah ucap atau slip of tongue.
Sejak berkuasa pada 2018, retorika Khan sebenarnya menjadi lebih anti-AS. Dia terang-terangan menyatakan keinginan untuk bergerak lebih dekat ke China dan memusuhi India, sekutu dekat AS di kawasan. Bulan lalu, Khan merapat ke Mokswa dan bertemu Presiden Vladimir Putin tepat pada saat invasi Ukraina dimulai, 24 Februari 2022.
Kecerobohan Khan dalam menjalankan kebijakan luar negeri merupakan salah satu masalah yang diangkat sebagai alasan oposisi mengeluarkan mosi tidak percaya. Kebijakan luar negeri Pakistan, sekutu tradisional Barat, itu juga dilaporkan telah membuat marah beberapa petinggi militer.
Baca juga: Mosi Tidak Percaya terhadap PM Khan dan Sikap Militer Pakistan
Menurut pakar kebijakan luar negeri AS dan Asia, militer Pakistan kuat secara tradisional dalam mengendalikan kebijakan luar negeri dan pertahanan. Militer dipastikan akan berusaha membatasi dampak ketidakstabilan politik dari kebijakan luar negeri Khan.
Kunjungan Khan ke Moskwa telah menjadi ”bencana” dalam hubungan Pakistan-AS. Pemerintahan baru di Islamabad, yang akan menggantikan Khan, setidaknya bisa membantu memperbaiki hubungan ”sampai tingkat tertentu”.
Selain menuding Khan melakukan kecerobohan dalam kebijakan luar negerinya, oposisi ingin pemerintahan Khan dibubarkan karena salah mengurus ekonomi negara yang menyebabkan inflasi meroket, nilai rupee melemah, dan utang menggunung.
Ada beberapa isu yang dimaksud dengan pergolakan, yang diperkirakan banyak orang akan mengarah pada pemakzulan Khan, bagi negara-negara yang terlibat erat di Pakistan. Setidaknya empat negara terhubung erat dengan Pakistan, yakni Afghanistan, China, India, dan AS.
Pertama, Afghanistan. Hubungan antara badan intelijen militer Pakistan dan Taliban telah mengendur dalam beberapa tahun terakhir. Sekarang Taliban kembali berkuasa, menghadapi krisis ekonomi dan kemanusiaan karena kekurangan dana segar dan isolasi internasional.
”Kami (Amerika Serikat) tidak membutuhkan Pakistan sebagai jembatan bagi Taliban. Qatar dipastikan akan memainkan peran itu sekarang,” kata Lisa Curtis, Direktur Program Keamanan Indo-Pasifik di lembaga kajian Center for a New American Security.
Baca juga: Sembilan Negara Tetangga Afghanistan Waspadai Penyebaran Terorisme
Ketegangan meningkat antara Taliban dan militer Pakistan, yang kehilangan beberapa tentara dalam serangan di dekat perbatasan Pakistan-Afghanistan. Pakistan ingin Taliban berperan besar menindak kelompok ekstremis.
Islamabad khawatir bahwa kelompok-kelompok ekstremis akan menyebarkan kekerasan ke Pakistan. Faktanya, kekerasan di perbatasan sudah mulai terjadi. Khan sebagai pemimpin Pakistan, negara sekutu tradisional Barat, kurang kritis terhadap isu pelanggaran HAM oleh Taliban.
Kedua, China. Khan secara konsisten menekankan peran positif China di Pakistan dan di dunia pada umumnya. Pada saat yang sama, Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) senilai 60 miliar dollar AS sebenarnya dikonsep dan diluncurkan di bawah dua partai besar, PPP dan PML-N. Namun, kini keduanya ingin mendongkel Khan dari jabatannya.
Pemimpin oposisi dan calon potensial penerus Khan, Shehbaz Sharif, membuat kesepakatan dengan China secara langsung sebagai pemimpin Provinsi Punjab. Reputasinya untuk menyelesaikan proyek infrastruktur besar CPEC sebenarnya juga merupakan harapan Beijing.
Ketiga, India. Negara tetangga, yang sama-sama bersenjata nuklir itu, telah berperang tiga kali dengan Pakistan sejak kemerdekaan pada 1947. Mereka perang untuk memperebutkan wilayah sengketa Kashmir, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Seperti halnya Afghanistan, militer Pakistanlah yang mengendalikan kebijakan di wilayah sensitif tersebut. Ketegangan di sepanjang perbatasan de facto di Kashmir saat ini antara Pakistan dan India telah berada pada level terendah sejak 2021.
Baca juga: Mencegah Perang Kelima India-Pakistan
Akan tetapi, tidak ada pembicaraan diplomatik formal antara keduanya selama bertahun-tahun karena tidak ada rasa saling percaya antara Islamabad dan New Delhi. Salah satunya kritik ekstrem Khan terhadap Perdana Menteri India Narendra Modi dalam menangani minoritas Muslim di India.
Karan Thapar, komentator politik India yang mengikuti isu hubungan India-Pakistan, mengatakan, militer Pakistan dapat menekan pemerintah sipil baru di Islamabad untuk melanjutkan keberhasilan gencatan senjata di Kashmir. Pada Sabtu (2/4/2022), Kepala Staf Angkatan Darat Pakistan Jenderal Qamar Javed Bajwa mengatakan, negaranya siap bergerak maju di Kashmir jika India setuju.
Keempat, Amerika Serikat. Pakar Asia Selatan yang berbasis di AS mengatakan, krisis politik Pakistan tidak mungkin menjadi prioritas bagi Presiden Joe Biden yang bergulat dengan perang di Ukraina. Kecuali, jika Krisis politik itu menyebabkan kerusuhan massal atau meningkatkan ketegangan dengan India.
”Kami memiliki begitu banyak urusan lain untuk dikerjakan,” kata Robin Raphel, mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Asia Selatan, yang kini menjadi salah satu peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC.
Dengan militer Pakistan mempertahankan kendali di balik layar atas kebijakan luar negeri dan keamanan, nasib politik Khan tidak menjadi perhatian utama. Militer adalah pengambil keputusan atas kebijakan yang menjadi perhatian AS, yaitu terkait Afghanistan, India, dan senjata nuklir. Perkembangan politik internal Pakistan tidak relevan bagi AS. (REUTERS/AP/AFP)