Mosi Tidak Percaya terhadap PM Khan dan Sikap Militer Pakistan
Stabilitas politik Pakistan sedang terganggu. Mosi tidak percaya terhadap PM Pakistan Imran Khan menguatkan adanya dukungan militer terhadap oposisi.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
Langkah oposisi Pakistan menggalang mosi tidak percaya kepada Perdana Menteri Imran Khan di parlemen memicu ketidakstabilan politik di negara itu. Demonstrasi besar pendukung Khan dan oposisi pada hari pemungutan suara mosi tidak percaya di parlemen, Senin (4/4/2022), dikhawatirkan bakal melahirkan polarisasi sosial yang semakin tajam.
Dalam pidato pada rapat umum, Minggu (27/3/2022), di Islamabad, Khan menuding oposisi mendapat dukungan asing. Dia menyebut dirinya korban dari ”konspirasi asing” yang bertujuan menggulingkannya. Pada Kamis (31/3), Khan dalam pidato menyebut gerakan oposisi itu didukung Amerika Serikat. Tudingan itu dibantah Washington.
Jauh sebelum bergulir mosi tidak percaya, yakni pada awal Januari 2022, oposisi dan analis politik mengatakan, posisi Khan mulai goyah. Dia berselisih dengan militer, institusi pendukung penting bagi setiap partai politik untuk mencapai kekuasaan. Dukungan itu pernah dinikmati Khan ketika partai Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) berkoalisi dan menjadikannya perdana menteri pada 2018.
Namun, saat itu, Juru Bicara Inter-Services Public Relation (ISPR) Mayjen Babar Iftikhar secara umum menolak tudingan militer mencampuri urusan politik. ISPR adalah saluran resmi dan kehumasan Angkatan Bersenjata Pakistan. Konstitusi dengan jelas mendefinisikan fungsi tentara, yaitu membela Pakistan dari agresi eksternal atau ancaman perang dan tunduk pada hukum, bertindak untuk membantu kekuatan sipil ketika diminta untuk melakukannya.
Iftikhar merespons partai oposisi yang semakin vokal mengkritik militer karena diduga membawa Khan ke tampuk kekuasaan dengan cara memanipulasi Pemilu 2018. Oposisi menuntut Khan mundur pada 31 Januari atau mereka akan menggelar rangkaian demonstrasi besar untuk membuatnya lengser.
Pada pertengahan Januari itu, aliansi oposisi, yakni Gerakan Demokratik Pakistan (PDM), ingin memulai aksi di Rawalpindi tempat markas besar militer Pakistan berada. Namun, militer Pakistan, yang dituding oposisi sebagai pendukung utama Khan, disebut-sebut telah melarang oposisi untuk memulai gerakan di Rawalpindi.
”Saya tidak melihat alasan mereka datang ke Rawalpindi. Jika memang mereka datang, kami akan menyajikan mereka ’chai-pani’ (minuman atau secara harafiah berarti teh dan air). Kami akan menjaga mereka dengan baik,” kata Iftikhar saat menjawab pertanyaan wartawan, seperti dilaporkan harian Dawn.
Tanggapan Iftikhar menimbulkan beragam tafsir, antara lain, militer berada di balik oposisi dan telah meninggalkan dukungannya terhadap PTI dan Khan. Kini pun semakin kencang berembus kabar bahwa pemungutan suara untuk mosi tidak percaya di parlemen didukung militer.
Pemerintahan Khan dilaporkan telah kehilangan dukungan kuat militer. Posisi Khan yang semakin goyah ditafsir bahwa dia tidak lagi mendapat dukungan itu. Khan tidak melihat bahwa dia telah ditinggalkan militer. Sementara militer mengklaim tidak terlibat dalam urusan politik pemerintahan sipil.
Sementara itu, salah satu koalisi utama di parlemen, Gerakan Muttahida Qaumi (MQM-P) dengan tujuh kursi, telah merapat ke oposisi. Pembelotan MQM-P membuat oposisi menjadi mayoritas di parlemen, yakni 175 suara, melampaui 172 suara yang dibutuhkan untuk menggulingkan Khan.
Dalam situasi yang semakin gelap bagi Khan untuk menghadapi pemungutan suara di parlemen, muncul pula kekhawatiran akan terjadinya kekacauan atau kerusuhan. Sebab, massa pendukung Khan dan opisisi berencana menggelar aksi massa skala besar pada hari itu. Pasukan keamanan telah memasang barikade kawat berduri di jalan-jalan utama di Islamabad dan kota lain.
Gejolak politik ini terjadi saat Pakistan bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengeluarkan paket dana talangan senilai 6 miliar dollar AS yang sangat dibutuhkan. Para analis khawatir, jika kekacauan meningkat, militer dapat turun tangan untuk memulihkan ketertiban, seperti yang telah dilakukan berkali-kali sebelumnya dalam 75 tahun sejarah Pakistan.
”Sejarah memberi tahu kita apa yang terjadi ketika tidak ada resolusi-resolusi,” kata Najam Sethi, jurnalis dan editor senior The Friday Times. ”Jika oposisi dan pemerintah terus mendorongnya, Anda bakal menghadapi kebangkrutan. Sekarang pun Anda bakal mengalami kehancuran politik. Pada saat seperti itulah militer turun tangan secara langsung,” katanya.
Khan dilaporkan telah membuat marah beberapa petinggi militer akibat kecerobohan dalam menjalankan kebijakan luar negeri. Salah satunya langkah Khan menemui Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskwa tepat pada saat Rusia memutuskan untuk memulai invasi ke Ukraina, 24 Februari lalu. Invasi itu ditentang Barat, sekutu tradisional Pakistan.
Konstitusi Pakistan menyatakan bahwa pemerintah federal harus mengendalikan dan memimpin angkatan bersenjata. Oleh karena itu, tidak mengejutkan ketika Iftikhar tegas menentang tudingan PDM bahwa militer ikut campur tangan dalam urusan politik negara. ”Tentara tidak perlu masuk ke medan politik, juga tidak boleh terseret ke dalamnya,” kata Iftikhar.
Namun, sejarah Pakistan telah mencatat bagaimana sepak terjang militer dalam menjalankan negara itu. Militer bahkan mengambil alih kekuasaan dengan menyingkirkan pemerintahan terpilih secara demokratis. Militer telah melakukannya dengan cara keras, meski kemudian melakukannya dengan cara lunak, yang memperlihatkan ada ketidakseimbangan sipil-militer.
Sejak 1947, Pakistan tiga kali dijalankan oleh diktator militer. Pertama, ketika Jenderal Muhammad Ayub Khan menggulingkan Presiden Iskander Mirza pada 1958. Dia menangguhkan konstitusi dan menyatakan darurat militer selama 44 bulan. Namun, dia baru meninggalkan jabatan pada 1969 dan menunjuk Jenderal Agha Mohammad Yahya Khan sebagai penggantinya.
Pada 1977, Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta. Zulfikar Ali Bhutto, perdana menteri yang digulingkan, dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada 1979. Zia-ul-Haq mempromosikan Islamisasi, berbalik melawan minoritas Muslim seperti Ahmadiyah atau Syiah, dan mendukung Taliban yang memerangi pasukan Uni Soviet di Afghanistan.
Jenderal Pervez Musharraf menggulingkan Perdana Menteri Nawaz Sharif pada 1999. Itu terjadi ketika Sharif memutuskan untuk memecatnya sebagai panglima tertinggi setelah operasi militer yang gagal di wilayah Kargil di Kashmir. Musharraf memegang kekuasaan sebagai PM dan presiden hingga 2008, lalu menunjuk Asif Ali Zardari sebagai presiden baru.
Fakta bahwa beberapa lembaga dan badan sipil utama Pakistan kini dipimpin oleh banyak petinggi militer jelas semakin mempertajam persepsi tentang ”pemerintahan hibrida” di negara itu. Jika hasil pemungutan suara untuk mosi tidak percaya pada Senin nanti membuat polarisasi sosial semakin tajam dan menimbulkan kekacauan, sangat mungkin militer akan bertindak. (AFP/AP/REUTERS)