Seperempat penduduk dunia mengalami krisis kemanusiaan. Konflik, baik karena politik maupun perebutan sumber daya alam, menjadi momok berkepanjangan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
GENEVA, KAMIS – Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan data terbaru yang mengatakan bahwa seperempat penduduk Bumi atau setara dengan 2 miliar orang saat ini hidup di daerah-daerah yang berkonflik. Hal ini merupakan beban bagi perwujudan kestabilan dan keamanan kawasan. Di samping itu, juga semakin menambah beban kemiskinan, kelaparan, kekerasan, dan konflik-konflik horisontal berskala lebih kecil.
PBB mendata, ada 56 negara yang mengalami konflik. Laporan ini disusun sebelum perang antara Rusia dengan Ukraina yang dimulai pada 24 Februari lalu terjadi. Negara-negara yang tercatat mengalami konflik berkepanjangan antara lain adalah Suriah, Yaman, Mali, Haiti, Sudan, dan Myanmar.
“Pada tahun 2021 saja ada 84 juta orang yang kehilangan tempat tinggal dan harus meninggalkan daerah asal gara-gara konflik, kekerasan sosial, serta berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres di Geneva, Swiss, Kamis (31/3/2022).
Konflik tidak hanya disebabkan oleh persaingan politik seperti yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina ataupun berbagai kudeta pemerintahan oleh kelompok pemberontak. Ada pula konflik akibat bencana alam dan kelangkaan air. Salah satu contoh ialah yang terjadi di Afghanistan. Di tengah kemarau selama tiga tahun belakangan, Taliban merebut kekuasaan pada Agustus 2021 dan menambah berat situasi kemiskinan masyarakat.
Di Ukraina, PBB memantau ada 4 juta penduduk yang mengungsi ke luar negeri. Pada saat bersamaan, di dalam negeri Ukraina terdapat 6,5 juta warganya yang kehilangan tempat tinggal. Berdasarkan perhitungan, di tahun 2022 ini secara global ada 274 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Angka ini meningkat 17 persen dibandingkan dengan jumlah di tahun 2021.
“Sebanyak 183 juta orang dari 274 juta itu membutuhkan intervensi mendesak. Bantuan sosial bagi mereka memerlukan biaya 41 miliar dollar Amerika Serikat,” kata Guterres.
Sebanyak 4,4 miliar dollar AS dari kebutuhan bantuan ini diperuntukkan bagi Afghanistan. PBB sejatinya meminta sumbangan 100 juta dollar AS per tahun dari 193 negara ataupun wilayah anggotanya. Khusus untuk Afghanistan, sejumlah negara seperti Inggris, Jerman, dan Qatar telah mendeklarasikan komitmen mereka. Inggris misalnya, mengumumkan alokasi anggaran sebesar 380 juta dollar AS.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Majed Al-Ansari memaparkan, dengan situasi darurat konflik sekalipun, dunia tidak bisa mengucilkan suatu negara. Pengucilan pada dasarnya mengincar pemerintah dan elite politik negara tersebut, tetapi kenyataannya merugikan, bahkan mengorbankan rakyat jelata yang tidak terikat dengan permasalahan politik.
“Kita bisa mengambil contoh dari Afghanistan. Mengucilkan Taliban akan semakin membuat masyarakat Afghanistan terpuruk kemiskinan, kelaparan, dan bencana kemanusiaan lainnya. Dunia sudah melihat hasil pengucilan Afghanistan pada masa kekuasaan Taliban Jilid I. Tentu sekarang ada cara yang lebih baik untuk mendorong Taliban memenuhi komitmen kemanusiaan mereka,” tuturnya.
PBB mengatakan, konflik dalam negeri di 56 negara yang disebutkan banyak mengalami internasionalisasi. Pihak-pihak luar terlibat di dalam konflik, bukan untuk mendamaikan atau minimal mengupayakan gencatan senjata, tetapi membantu persenjataan salah satu pihak yang bertikai.Hal ini membuat pencarian jalan keluar bagi konflik semakin rumit karena terciptanya polarisasi di kawasan, bahkan juga di skala global.
“Dalam sepuluh tahun belakangan, dunia mengeluarkan 349 miliar dollar AS untuk biaya perdamaian. Di saat yang sama, anggaran dan belanja militer global meningkat jadi 2 triliun dollar AS pada tahun 2020,” kata Guterres.
Wilayah lain yang tengah mengalami pertikaian ialah Kongo di Benua Afrika. Padatahun 2013, pasukan pemerintah yang dibantu pasukan perdamaian PBB berhasil meredam kelompok pemberontak M23. Mereka dikabarkan melarikan diri antara lain ke Rwanda.
Pada tahun 2021, M23 kembali ke Kongo dan berusaha mengambil alih titik-titik yang kaya akan sumber daya mineral. Pekan lalu, kelompok ini menyerang beberapa desa di Provinsi Kivu Utara. PBB menurunkan dua unit helikopter pasukan perdamaian untuk memeriksa keadaan. Salah satu helikopter itu ditembak dan semua penumpang serta awak yang berjumlah delapan orang tewas. Pemerintah Kongo dan M23 sama-sama menyangkal penyerangan tersebut.
“Fokus kami adalah melawan pasukan pemerintah. Kami bersedia damai selama pemerintah menuruti persyaratan yang kami berikan,” kata Juru Bicara M23 Will Ngoma. (AP/AFP)