Upah Tertahan, Keluarga Terpisah
Kementerian Luar Negeri RI secara berkala mengingatkan WNI di Ukraina untuk bersiap evakuasi sewaktu-waktu. Mereka diminta menyiapkan tas yang mudah dibawa dan berisi paspor, beberapa pakaian, serta obat.
Perang Rusia-Ukraina telah memasuki bulan kedua dan belum ada tanda akan mereda. Di antara pasokan senjata dari Eropa dan Amerika semakin tidak terhingga, ada jutaan orang menderita. Sebagian dari mereka berasal dari Indonesia.
Dari 133 warga Indonesia yang mau dievakuasi dari Ukraina, 80 orang tiba di Jakarta pada Kamis (3/3/2022) sore. Sementara 12 lain tiba pada Senin (21/3) sore. Sebagian warga Indonesia itu terpisah dari keluarganya yang merupakan warga asli Ukraina.
Iskandar bersama delapan temannya tiba paling terakhir di Indonesia. Ada pun Ketut Budiani (43), Ni Luh Sudiasih (43), dan Made Marniasih (43) tiba bersama gelombang pertama.
Sudiasih paling lama tinggal di Ukraina dan sudah beberapa kali bolak-balik ke sana. Sementata Budiani baru tiba pada September 2021 dan Marniasih malah baru datang 1 Februari 2022.
Baca juga : Lawan Balik Sanksi, Putin Paksa Eropa Bayar Gas dengan Rubel
Sejak datang, beberapa kali Marniasih mendengar isu perang akan meletus. "Saya pernah dengar perang (akan meletus) tanggal 16 (Februari 2022). Ternyata tidak ada. orang sana (penduduk Kiev), tidak percaya akan ada perang," kata dia, Jumat (25/3) di Badung.
Sejak November 2021, Amerika Serikat dan sekutunya memang bolak-balik menyebut perang akan segera meletus. Presiden Ukraina Volodomyr Zelenskyy sampai kesal karena prakiraan itu tidak kunjung terbukti. Perang akhirnya terjadi pada Kamis (24/2) pagi. "Saya terbangun waktu bom pertama meledak. Setelah itu, saya mendengar beberapa kali ledakan lagi," kata Sudiasih.
Ia tinggal serumah dengan Budiani dan Marniasih serta tiga orang lain. Dari enam orang itu, empat bekerja di Kiev dan sisanya di Odessa. Semua bekerja di spa yang pemiliknya masih berkerabat dan mengelola sejumlah spa di Rusia dan Ukraina.
Di antara enam orang itu, hanya Marniasih masih memegang paspornya. Sementara paspor lima orang lain masih dipegang majikan mereka. Beberapa jam setelah rudal pertama Rusia meledak di Kiev, paspor Sudiasih dan rekan-rekannya diantarkan majikan mereka. Setelah mendapat paspor, Sudiasih dan rekannya menanti jemputan menuju KBRI Kiev.
"Majikan meminta kami berlindung di KBRI. Menurut dia, perang tidak akan lama, paling hanya tiga hari. Kami perlu berlindung paling tidak seminggu di KBRI," kata Sudiasih.
Menjelang perang
Memang, banyak orang Ukraina tidak yakin perang akan benar-benar meletus. Meski demikian, tanda-tanda perang bertebaran. "Saya ketakutan waktu ada tamu bawa senjata. Jam rasanya lama sekali," kata Budiani.
Tamu itu bukan tentara, hanya warga sipil yang membawa senapan serta beberapa magasin. Padahal, orang Ukraina tidak punya kebiasaan membawa senapan. Sejak Desember 2021, memang banyak warga sipil mendapat senjata dari pemerintah Ukraina. Mereka dijadikan anggota pasukan pertahanan sipil.
Baca juga : Mesir-Israel-UEA Bergandengan Tangan Hadapi Isu Ukraina dan Nuklir Iran
Sementara Sudiasih sudah beberapa waktu keheranan karena tempat latihan perang dekat tempat kerjanya sepi sepanjang Januari-Februari 2022. Padahal, saat itu bukan periode libur dan selama bertahun-tahun Sudiasih melihat tempat latihan itu selalu ada kegiatan setiap musim dingin.
Meski heran, Sudiasih tidak banyak bertanya. Apalagi, orang-orang Ukraina yang ditemuinya selalu meyakini tidak akan ada perang di Kiev. Kalau pun meletus, paling di timur dan selatan seperti sejak 2014.
Sementara Kementerian Luar Negeri RI secara berkala mengingatkan WNI di Ukraina untuk bersiap evakuasi sewaktu-waktu. Mereka diminta menyiapkan tas yang mudah dibawa dan berisi paspor, beberapa pakaian, serta obat.
Rencana evakuasi telah disusun sejak Desember 2021. Polandia jadi pilihan utama, seperti telah dianjurkan banyak negara. Bedanya, pemerintah berbagai negara hanya menganjurkan warganya keluar dari Ukraina. Sementara Indonesia menyiapkan rencana untuk mengangkut WNI yang mau dievakuasi dari sana.
Memang, tidak semua WNI di Ukraina memilih keluar dari sana. Sampai tahapan evakukasi dinyatakan selesai pada Senin (21/3), masih ada sejumlah WNI tetap di Ukraina karena alasan keluarga atau karena tugas.
Mereka yang memilih tinggal karena alasan keluarga adalah perempuan Indonesia yang menikah dengan pria Ukraina. Sejak perang meletus, seluruh pria Ukraina berusia 18 tahun hingga 60 tahun dilarang meninggalkan negara itu dan harus angkat senjata.Larangan itu menjadi salah satu hambatan evakuasi WNI. Orang-orang yang telah disewa KBRI Kiev untuk menjadi pengemudi bus evakuasi malah diberi senjata dan diminta menjadi pasukan pertahanan sipil. KBRI Kiev, dibantu KBRI di sekitar Ukraina, harus mencari pengemudi dari negara lain.
Sementara pengemudi dicari, Sudiasih dan puluhan WNI berlindung di KBRI Kiev. Setiap malam sampai menjelang pagi, mereka mendengar ledakan. Beberapa kali bangunan KBRI Kiev bergetar oleh ledakan itu. Suaranya mengingatkan Marniasih dan 29 WNI asal Bali teringat pada Bom Bali.
Terisolasi
Sementara Iskandar dan delapan temannya terisolasi sampai 17 Maret 2022 di Chernihiv yang terletak di utara Kiev. Para pekerja pabrik plastik itu sempat bersembunyi di bunker, pindah ke basemen, dan makan seadanya. Mereka juga menghadapi krisis air bersih, listrik, bahan bakar minyak, serta sempat putus komunikasi total.
Baca juga : Teka-teki Simbol ZOV di Kendaraan Perang Rusia
Sejak invasi Rusia ke Ukraina terjadi pada 24 Februari 2022, selama 22 hari mereka melihat rudal, merasakan getaran bom, dan menyaksikan bangunan-bangunan hancur dibombardir. Sejumlah skenario evakuasi pun gagal beberapa kali. Hingga akhirnya sebuah mobil boks datang menjemput, beberapa menit setelah mereka menerima panggilan telepon dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kiev, Ukraina.Iskandar dan teman-temannya awalnya bersembunyi di sebuah bunker bersama warga sipil Ukraina.
Namun, beberapa hari setelah gempuran Rusia, sekitar 50 tentara Ukraina mundur dari garis tempur dan bersembunyi di bunker itu. Mereka membawa tank, peralatan tempur, dan mayat tentara. ”Melihat tentara masuk ke bunker, kami akhirnya pindah ke basemen sebuah gedung. Kami takut bunker itu jadi sasaran rudal Rusia,” kata Iskandar.
Pada 10 hari pertama, komunikasi dari Kota Chernihiv masih lancar. Mereka bisa menggunakan sambungan telepon seluler ataupun jaringan internet. Namun, pada hari ke-11, sebuah serangan bom besar merusak sistem komunikasi dan kelistrikan. Listrik dan jalur komunikasi mati total. Selama dua hari mereka tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun.
Makanan mereka pun dijatah karena persediaan makanan yang semakin menipis. Pemerintah Ukraina, menurut Iskandar, membayar restoran-restoran untuk memasok makanan kepada warga. Mereka mendapat jatah selembar roti dan keju pada pagi dan sore. Menjelang tengah malam, mereka mendapat semangkok sop.
Evakuasi
Evakuasi Sudiasih dan puluhan WNI akhirnya terlaksana kala pengemudi didapat. Didampingi staf KBRI Kiev, mereka Romania melalui Moldova. Rute itu dipilih karena jalan Kiev-Polandia telah banyak jadi lokasi pertempuran. Bahkan, sebagian jalan dan jembatan hancur oleh bom. Tidak mungkin pula mengevakuasi dengan pesawat kala rudal beterbangan di Ukraina.
Dalam perjalanan dari Kiev ke perbatasan Ukraina-Moldova, Marniasih untuk pertama kalinya melihat begitu banyak tank dan aneka kendaraan lapis baja serta tentara bersenapan. Setiap beberapa ratus meter, mereka melihat pos pertahanan dari karung pasir yang ditumpuk. Ada pula sejumlah bekas ledakan.
Baca juga : Rusia Apresiasi Keputusan Indonesia
Hampir sepanjang jalan dipasang perintang sehingga kendaraan ke arah Moldova tidak bisa mengebut. Setiap beberapa ratus meter, ada pemeriksaan oleh orang-orang bersenapan. Sebagian dari mereka sampai naik bus. Dalam bus pengangkut WNI, tidak ada yang tahu apa tujuan pemeriksaan itu.
Bus pengangkut 80 WNI dan para pegawai Kemenlu RI tiba di perbatasan Moldova pada Senin (28/3) malam. Sayangnya, bus itu tidak boleh masuk Moldova. Karena itu, dari perbatasan Kiev, mereka berjalan kaki di tengah dingin. Beberapa lapis jaket yang dikenakan tidak bisa mencegah dingin.
"Jaketnya tetap saya pakai waktu di pesawat (yang mengangkut dari Bucharest, Rumania menuju Indonesia). Pramugarinya tanya, apa tidak tahu Jakarta panas. Saya jawab, kami ini habis dari (zona) perang. Mana sempat bawa baju lain," tutur Sudiasih.
Jangankan baju, sebagian WNI yang bekerja di Ukraina belum menerima gaji. Sudiasih, Marniasih, dan Budiani yang sama-sama bekerja di Sayana mendapat upah setelah tiba di Indonesia. Sementara sebagian lain tidak mendapat upah sampai sekarang.Marniasih, yang belum tiga pekan bekerja, mendapatkan total Rp 9 juta. Padahal, ia mengeluarkan total Rp 20 juta untuk membeli tiket dan mengurus visa ke Ukraina. "Kami masih beruntung hanya tertahan gaji. Ada yang terpisah keluarganya dan tidak tahu kapan akan berkumpul lagi," ujar Budiani.
Dona Poltatseva termasuk yang terpaksa berpisah dari suaminya. Perang Rusia-Ukraina memaksa meninggalkan negara pernah dipilihnya menjadi tempat tinggal. Keluarganya pun terpaksa terpisah. “Saya harus kuat, demi anak. Kalau bukan saya, siapa lagi harus menjaga anak saya,” ujarnya.
Dari Mykolaiv, ia dan keluarganya baru pindah ke Kiev pada 2020. Bahkan, mereka baru membeli mobil warna abu-abu pada pertengahan Februari 2022. “Kami harus meninggalkan semuanya,” kata dia.
Baca juga : Presidensi G20: Netral Salah, apalagi Memihak...
Suaminya, warga negara Ukraina, kini berada di negara lain bersama keluarga besarnya. Sementara Dona dan anaknya terpaksa pulang ke Sukabumi, Jawa Barat. Dona juga harus meninggalkan sejumlah anggrek juga aneka mebel yang perlahan dibeli untuk apartemen yang baru dua tahun ditinggali.
Seperti Sudiasih dan Marniasih, ia juga bolak-balik mendengar ledakan selama berlindung. Waktu itu, ia fokus menenangkan anak juga keluarganya di kampung. Selama berminggu-minggu, keluarganya selalu menangis setiap kali menelepon. “Dulu saya berusaha tenang. Seminggu ini baru terasa sedih,” kata dia.
Ia sedih karena harus meninggalkan negara yang diharapkan akan terus ditinggalinya. Ia sedih karena harus berpisah dari suaminya. Sedih pula karena anggreknya terpaksa ditinggalkan.