Netral salah, apalagi memihak. Inilah lebih kurang situasi dilematis yang dihadapi Indonesia dalam kepemimpinannya dalam G20 tahun ini.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Posisi Indonesia sebagai Presiden G20 tahun ini serba salah. Menempatkan diri netral saja, dengan salah satu manifestasinya adalah mengundang Rusia sebagai anggota G20, berisiko salah di mata Amerika Serikat dan sekutunya, apalagi jika mengakomodasi permintaan untuk mengisolasi Rusia dari G20. Maka, Indonesia secara obyektif akan lebih salah.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Kamis (24/3/2022), menyebut bahwa medan perang Rusia-Ukraina telah menyebar ke Indonesia. Ini bukan dalam bentuk perang fisik, melainkan konflik kepentingan yang tampak pada aspirasi dua pihak yang berseberangan, mengundang Rusia atau tidak mengundang Rusia.
”Australia sudah menyatakan tidak akan hadir (di kegiatan G20) kalau Rusia hadir. Sementara Rusia menyatakan akan hadir. Saya yakin, AS, Inggris, dan sekutunya akan ikut tidak hadir. Pilihan itu membuat negara-negara tersebut menggeser situasi Ukraina ke Indonesia,” kata Hikmahanto.
Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Mohamad Dian Revindo menyatakan, kehadiran Rusia di forum-forum G20 bukan hanya kepentingan Jakarta dan Moskwa. G7 sebenarnya justru sangat berkepentingan dengan kehadiran Rusia di rangkaian kegiatan G20. Sebab, G20 dibentuk untuk merangkul kekuatan-kekuatan yang berkembang di luar tujuh negara terkaya itu. ”Kalau tidak dirangkul, akan tumbuh persaingan baru,” ujarnya.
Dalam situasi sekarang, menurut Revindo, netralitas Indonesia dipandang sebagai keberpihakan pada Rusia. Di sisi lain, Indonesia juga bisa dianggap berpihak ke AS dan sekutunya jika membiarkan forum G20 dipakai untuk mengecam Rusia. ”Indonesia bisa dianggap gagal kalau itu (kecaman terhadap Rusia di forum G20) terjadi,” ucap anggota T20 itu.
Setelah membuat keputusan mengundang Rusia, Revindo menambahkan, Indonesia perlu menelaah secara mendalam konsekuensinya. Namun, ia mengingatkan bahwa aktor-aktor dalam G20 bukan hanya AS dan sekutunya serta Rusia. Ada Arab Saudi, Afrika Selatan, China, dan yang terbukti punya kepentingan masing-masing. ”Meski G7 penting, faktanya kini perekonomian global terus berkembang di luar tujuh negara terkaya itu. Lebih dari 80 persen populasi global justru tinggal di luar anggota G7,” tuturnya.
Indonesia telah memutuskan mengundang semua peserta G20, termasuk Rusia, dalam rangkaian kegiatan G20 tahun ini. Pada Rabu (23/3), pemerintah telah mengirim undangan kepada semua anggota G20 untuk pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Washington DC, 20 April. Sementara AS dan sekutunya berkepentingan mengisolasi Rusia di berbagai forum internasional.
Pengajar Hukum Internasional pada Universitas Indonesia, Aristyo Darmawan, mengatakan, kehadiran AS dan sekutunya di G7 dan Rusia sama pentingnya di G20. Tanpa G7, G20 akan kehilangan signifikansinya. Sebab, G7 masih menjadi pemain utama global.
Di sisi lain, Indonesia akan kehilangan netralitasnya jika tidak mengundang Rusia dalam rangkaian pertemuan G20 di bawah keketuaan Indonesia. ”Akan menjadi bumerang, mengonfirmasi keberpihakan Indonesia pada Amerika Serikat,” katanya.
Jika setuju tidak mengundang Rusia, Aristyo melanjutkan, Indonesia akan semakin dianggap mudah disetir AS dan sekutunya. ”Kepercayaan kepada Indonesia, yang selama ini terkenal bisa diterima berbagai pihak, akan tergerus,” ujarnya.
Sebelumnya, Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva menyatakan bahwa Indonesia telah menunjukkan ketegasan dengan memutuskan mengundang semua anggota G20. ”Kami sangat berharap Pemerintah Indonesia tidak akan menyerah pada tekanan mengerikan yang diterapkan oleh negara Barat,” ujarnya.
Rusia memastikan akan hadir di semua kegiatan G20 jika diundang. Bahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin dinyatakan siap hadir dalam pertemuan puncak G20 di Denpasar pada November 2022. ”Tentu akan tergantung pada perkembangan keadaan, juga pandemi Covid-19,” ujarnya.
Ia mengatakan, AS dan sekutunya berusaha mengeluarkan Rusia dari hampir semua organisasi internasional. Bagi Mokswa, Barat sedang menerapkan standar ganda. Sebab, Pakta Pertahanan Altantik Utara (NATO) bolak-balik menyerang negara lain dan tidak ada sanksi.
Menurut dia, Indonesia membuat keputusan tepat dengan mengundang semua anggota G20. Sebab, tujuan-tujuan prioritas Indonesia selama menjadi ketua bergilir G20 sulit dicapai jika ada pihak yang tidak dilibatkan. Selain itu, G20 adalah forum ekonomi. Karena itu, Moskwa menilai upaya membawa isu perang Ukraina di forum itu tidak akan tepat dan tidak akan menyelesaikan masalah. ”Reaksi Barat sama sekali tidak imbang,” ucapnya.