Kejahatan terhadap Perempuan Asia Pasifik di AS Meningkat
Kekerasan berbasis rasisme terhadap warga keturunan Asia Pasifik di Amerika Serikat terus berlanjut. Perempuan korban terbanyak.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Pendidikan kesetaraan jender dan kemajemukan masyarakat masih menjadi tantangan yang besar, bahkan di negara-negara maju sekalipun. Amerika Serikat misalnya, memiliki masalah rasialisme terhadap komunitas Asia Pasifik yang selama ini terselubung. Pandemi Covid-19 menguak segala hal negatif ini ke permukaan.
Sejak pandemi akibat virus korona jenis baru menular di dunia, masyarakat Asia pasifik di AS menghadapi semakin banyak tindakan rasis dan ujaran kebencian terhadap mereka. Sejatinya, bias rasisme terhadap komunitas Asia Pasifik telah ada sejak zaman dulu, akan tetapi tidak pernah dibahas secara serius. Baru ketika pandemi terjadi dan perbuatan rasis telah meningkat menjadi kekerasan fisik, bahkan pembunuhan, permasalahan ini diungkap.
Komunitas Asia di AS memiliki posisi yang unik. Walaupun mereka warga negara AS, banyak sekali perlakuan yang seolah menganggap mereka bukan bagian dari masyarakat AS secara umum. Ditilik dari sejarah, penyebabnya ialah Aturan Pengecualian Orang Asia yang dikeluarkan pada tahun 1882. Ketika itu, banyak sekali imigran dari China yang datang ke AS untuk bekerja di sektor pembangunan rel kereta api maupun pertambangan.
Najia Aarim-Heriot dalam bukunya Chinese Immigrant, African Americans, and RacialAnxiety in United States, 1848-82 menjelaskan bahwa dari semua pekerja migran yang merantau ke AS pada saat itu, migran dari Asia memang mendapat perlakuan yang lain. Pekerja migran dari Eropa masih memiliki aspek kekerabatan dengan warga kulit putih AS.
Akan tetapi, migran dari Asia berbeda dari penampilan fisik, agama dan kepercayaan, serta gaya hidup. Di kalangan pekerja minoritas seperti Asia dan kulit hitam juga terbentuk sistem adu domba untuk mencegah mereka bersatu melawan majikan. Akibatnya, di kalangan pekerja sekalipun juga ada rasa saling tidak percaya.
Ini yang membuat ada ingatan terkubur hingga zaman modern bahwa komunitas Asia, dan kemudian ditambah dengan kedatangan migran dari Pasifik, memang berstatus sebagai warga negara AS, tetapi bukan “orang AS”.
Contoh yang paling mudah ialah warga AS keturunan Jepang yang sudah lahir dan besar di bumi AS tetap dimasukkan ke kemah-kemah interniran selama Perang Dunia II. Pemerintah AS percaya bahwa warga AS keturunan Jepang ini berisiko tidak setia kepada tanah air.
Antipati yang terkubur ini muncul dan menjadi agresif selama pandemi Covid-19. Di kota New York, selama pandemi, ada empat orang keturunan Asia Pasifik tewas akibat serangan berbasis rasisme. Tiga dari korban adalah perempuan. Bahkan, di awal Maret 2022, seorang perempuan keturunan Filipina berusia 67 tahun dianiaya di depan gedung apartemennya sendiri oleh orang yang tidak dikenal. Ia dipukuli hingga 125 kali dan kini dalam status kritis di rumah sakit.
Korban kejahatan berbasis rasisme terhadap orang Asia Pasifik mayoritas mengincar perempuan. Mulai dari usia muda hingga lansia. Bahkan, bintang film Karen Fukuhara juga terkena imbasnya. Awal bulan ini, kepalanya dipukuloleh orang tak dikenal ketika Fukuhara sedang berjalan kaki di trotoar kota Austin, Negara Bagian Texas. Kejadian serupa juga dialami oleh seorang diplomat Korea Selatan di New York.
Kasus terparah terjadi di kota Atlanta, Negara Bagian Georgia pada Maret 2021. Seorang laki-laki melepas tembakan membabi buta di tiga salon kecantikan. Delapan orang tewas dan enam di antaranya adalah perempuan keturunan Asia Pasifik.
Gerakan Hentikan Kebencian terhadap Komunitas Asia dan Kepulauan Pasifik (Stop AAPI Hate) pada peringatan satu tahun tragedi Atlanta pekan lalu mengeluarkan hasil survey yang mereka lakukan dari Maret 2020-Desember 2021. Mereka mencatat ada 10.905 kejahatan berbasis rasisme berupa ujaran kebencian, pelecehan seksual, dan penganiayaan. Dari seluruh responden, 61,8 persen korban adalah perempuan. Sebanyak 54 persen perempaun yang menjadi responden mengaku tidak memercayai bahwa negara hadir untuk mereka.
“Survey ini membuka mata kita semua mengenai konteks kejahatan berbasis rasisme terhadap komunitas Asia Pasifik,” kata Direktur AAPI Data Janelle Wong kepada media Nextshark.
Sistem hukum dan peradilan AS memang memiliki banyak celah apabila berurusan dengan warga dari etnis minoritas. Polisi Atlanta ketika membekuk pelaku penembakan di salon itu dalam pernyataan pers mengatakan bahwa pelaku memiliki hidup yang berat. Hari penembakan merupakan hari ketika pelaku mengalami stres parah akibat kejadian buruk di rumah tangga dan tempat kerjanya.
“Pernyataan seperti itu sangat bermasalah karena menegasikan tragedi dengan alasan terjadi kepada warga dari kelompok minoritas dan kebetulan perempuan,” kata Chau Nguyen, pakar perlindungan perempuan dari Pusat Perlindungan Perempuan Houston di Texas kepada media ABC.
Ia menjelaskan, dari pengalaman kerjanya, konteks rasisme yang terjadi di setiap etnis minoritas berbeda-beda. Perempuan Asia Pasifik di mata masyarakat Barat secara umum dipandang sebagai kelompok yang lemah. Konsep ini berasal dari pemikiran stereotipe bahwa budaya Asia Pasifik mewajibkan perempuan agar patuh dan pasrah. Juga ada romantisisme seksual yang dibawa oleh para tentara AS yang bertugas di Korea, Jepang, dan Vietnam pada pertengahan abad ke-20.
“Pandangan ini membuat orang mengira perempuan Asia Pasifik adalah target kekerasan yang mudah. Selain itu, pelaku juga cenderung merasa aman karena korban kecil kemungkinan untuk melapor kepada yang berwajib. Apabila melapor pun, aparat belum tentu mau menindak,” tutur Nguyen.
Sejumlah kepala daerah dan legislator berpendapat, kurikulum mengenai sejarah warga Asia Pasifik di AS harus diajar di sekolah-sekolah. Kontennya terintegrasi dengan sejarah AS secara umum sehingga siswa tidak seolah-olah belajar mengenai sejarah dua masyarakat yang berbeda.
Dalam rubrik opini di CNN, Gubernur Illinois JB Pritzker dan Gubernur New Jersey Phil Murphy menulis bahwa dua negara bagian itu menjadi pelopor dalam pengenalan konten Asia Pasifik di dalam kurikulum SD-SMA. Pengintegrasian kurikulum ini melibatkan pakar pendidikan dan berbagai organisasi masyarakat Asia Pasifik.Konteks sejarah membahas komunitas Asia Pasifik di AS secara nasional dan komunitas dalam tingkat negara bagian maupun kota.
“Menghentikan kebencian paling efektif dengan melalui pendidikan. Kita harus memulai di tingkat paling dini. Mengingat sistem pemerintahan federal, ini semua tergantung kepada inisiatif gubernur maupun wali kota. Melanggengkan kebencian akan merugikan semua pemerintahan,” tulis Pritzker dan Murphy.