Kejadian pandemi kerap memunculkan kebencian rasialis. Alih-alih mengevaluasi respons terhadap pandemi, negara-negara Barat cenderung mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain atas pandemi yang terjadi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
MARIO TAMA/GETTY IMAGES/AFP
Warga berunjuk rasa menentang rasisme anti-Asia, Sabtu (27/3/2021), di Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Berawal dari kluster kecil pneumonia di kota Wuhan, China, akhir 2019, Covid-19 kini telah menjadi pandemi paling mematikan di dunia sejak pandemi flu 1918. Selain membawa kesakitan dan kematian, gelombang infeksi Covid-19 juga melahirkan tsunami kebencian rasial terhadap orang Asia atau keturunan Asia di sejumlah negara.
Di American Journal of Tropical Medicine and Hygiene edisi April 2020, Edmond Eng dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris, bercerita, di sekolah dasar di mana anaknya yang berusia sembilan tahun bersekolah, anak-anak menyebarkan rumor bahwa anak ras campuran yang berasal dari China telah menyebarkan virus korona.
Kolega Eng di kampus juga menjadi korban pelecehan. Orang asing meneriaki suami koleganya yang datang dari China daratan itu dengan ”kamu adalah virus” sebelum kemudian mendorong keluarga itu, termasuk dua anaknya, saat menuruni tangga di stasiun kereta bawah tanah London. Kolega Eng tersebut mengalami trauma dan memutuskan untuk kembali ke China bersama keluarganya.
Lalu di Atlanta, Amerika Serikat, pertengahan Maret 2021, terjadi kasus penembakan yang menewaskan delapan orang yang enam orang di antaranya adalah perempuan keturunan Asia. Meski pelaku tidak menyebutkan kebencian rasialis sebagai motif tindakannya, peristiwa tragis itu membuka wacana yang lebih dalam soal rasisme dan kekerasan yang menyasar orang Asia di tengah pandemi Covid-19.
Khusus AS, residu ”Trumpisme” masih mengendap kuat sehingga kian memperburuk situasi. Ketika masih menjabat, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memprovokasi publik dengan menyalahkan China atas terjadinya pandemi dan menyebut SARS-CoV-2 sebagai ”virus China” atau ”virus Wuhan”.
Narasi itu terus dipaksakan meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret 2020 menyatakan bahwa bahasa seperti itu akan mendorong sikap rasis dan stigma terhadap orang Asia.
Trump masih saja memakai bahasa yang memberi stigma setelah penembakan di Atlanta terjadi. Ia tetap menyebut istilah ”virus China” selama wawancara dengan Fox News, 16 Maret 2021.
AFP/ALEX EDELMAN
Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memakai masker saat berada di Walter Reed National Military Medical Center di Bethesda, Maryland, 11 Juni 2020.
Laporan para peneliti di University of California San Francisco (UCSF) yang dirilis Maret 2021 mengaitkan secara langsung cuitan Trump tentang ”virus China” dengan peningkatan signifikan tagar anti-Asia.
Berdasarkan laporan terpisah dari Center for the Study of Hate and Extremism, kejahatan anti-Asia di 16 kota di AS meningkat 149 persen tahun 2020, dari 49 menjadi 122 kasus.
”Di masa lalu, penyakit sering kali dibumbui rasisme sebagai bentuk pengambinghitaman,” ujar Yulin Hswen, asisten profesor epidemiologi dan biostatistik di UCSF. Di AS, hal ini muncul di tengah masyarakat untuk menutupi kegagalan AS merespons pandemi Covid-19.
Narasi bahwa ”orang lain”, sering kali dari tempat jauh, yang harus disalahkan adalah contoh tradisi dari kebencian yang panjang. Di Eropa pada abad ke-14, komunitas Yahudi secara keliru dituduh meracuni sumur-sumur untuk menyebarkan wabah Black Death. Pada tahun 1900, warga China difitnah atas wabah di pecinan San Francisco. Lalu pada tahun 1980-an, orang Haiti disalahkan karena telah membawa HIV/ AIDS ke AS, sebuah teori yang menurut banyak pakar kesehatan global sangat tidak berdasar.
AFP/Getty Images/Justin Sullivan
Seorang pejalan kaki melintasi Grant Avenue di pecinan San Francisco, California, pada 17 Maret 2021. Polisi San Francisco telah meningkatkan patroli di lingkungan Asia setelah serangkaian penembakan di spa di Atlanta yang menewaskan delapan orang, termasuk enam perempuan Asia. Tersangka utama, Robert Aaron Long (21), telah ditahan.
Menurut Abraar Karan, dokter di Brigham and Women’s Hospital/Sekolah Kedokteran Harvard, AS, dalam kesehatan global ada anggapan bahwa ”Barat adalah yang terbaik (the West is the best)”. Ini memunculkan asumsi sejak awal pandemi bahwa Covid-19 menyebar ke seluruh dunia karena China tidak mampu mengendalikannya.
”Dengan kata lain, andaikan pandemi dimulai dari tempat lain, seperti di AS, Inggris, atau Eropa, entah bagaimana akan lebih terkendali dan pandemi tidak akan terjadi,” kata Karan seperti dikutip KERA News, media komunitas di utara Texas, AS, 28 Maret 2021.
Respons China terhadap wabah Covid-19 tak luput dari kesalahan. Keputusan pemerintah untuk membungkam tenaga kesehatan dan tidak memperingatkan publik akan kemungkinan terjadinya pandemi selama enam hari pada pertengahan Januari 2020 menyebabkan lebih dari 3.000 orang tertular dalam seminggu.
Bahkan, langkah China menutup rapat kota Wuhan di Provinsi Hubei dan memerintahkan warganya tetap berada di rumah untuk memutus rantai penyebaran digambarkan sebagai ”kejam atau keras” dan melanggar hak-hak sipil.
Namun, setelah itu bahkan sampai sekarang, langkah tersebut terbukti efektif. Asumsi superioritas sistem kesehatan Barat gugur ketika China dan sejumlah negara Asia lainnya lebih efektif dan cepat melandaikan kurva epidemiologi dibandingkan negara-negara Barat.
Marion Koopmans, salah seorang anggota tim ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), berbicara saat jumpa pers membahas hasil penyelidikan WHO soal asal-usul Covid-19 di China, 9 Februari 2021.
Karan memandang persoalan kebencian rasial dalam kesehatan ini jauh lebih bermula dari sistem kesehatan global dalam sejarah kolonial. Lembaga dan budaya pendidikan kesehatan yang melahirkan para pakar juga secara inheren xenofobia dan rasis.
Sriram Shamasunder, associate professor kedokteran di UCSF, mencontohkan, Barat biasanya dipandang sebagai pusat kepakaran dan pengetahuan. Ada anggapan di antara tenaga kesehatan Barat bahwa epidemi muncul dari konteks kemiskinan ketika orang-orangnya berperilaku primitif dan tidak peduli akan kesehatan.
Pada awal-awal pandemi Covid-19, beberapa pejabat kesehatan Barat skeptis bahwa penggunaan masker oleh orang-orang Asia bisa efektif mencegah penyebaran virus. Ini turut menghambat respons pandemi pada masa-masa awal.
Menurut Karan, kita harus mengubah pendekatan kita dalam melihat epidemi. Dalam konteks Covid-19 dan wabah lain, negara-negara Barat sering kali menganggap itu sebagai ancaman keamanan nasional. Pada akhirnya, mereka menutup perbatasan dan menyalahkan negara yang pertama melaporkan kasus tersebut. Pendekatan ini menumbuhsuburkan stigma.
Kita harus membingkai ulang diskusi pandemi dengan fokus pada solidaritas global yang mempromosikan gagasan bahwa kita semua senasib dan sepenanggungan. Satu bentuk solidaritas negara-negara kaya untuk saat ini adalah mendukung kesetaraan akses atas vaksin Covid-19.
Yulin Hswen, asisten profesor epidemiologi dan biostatistik di UCSF, berpendapat, lebih jauh dari itu, komunitas kesehatan global dan penduduk di negara kaya harus membuang jauh-jauh pola pikir kolonial dan kebiasaan mengambinghitamkan pihak lain.
Para pemimpin negara Barat pun sebaiknya tidak menjadikan orang Asia sebagai penyebar Covid-19, tetapi mulai mengevaluasi sistem kesehatannya sendiri, apakah sudah mampu mengatasi pandemi.
Covid-19 bisa merenggut nyawa bukan semata karena menular dan berbahaya, tetapi juga karena mampu menyebarkan ketakutan dan kebencian. Kita harus menolak stigma dan rasisme serta menggantinya dengan kesatuan seluruh komunitas, empati, dan kasih sayang. Ini bisa menjadi bekal perang bersama melawan pandemi Covid-19.
Seperti halnya virus yang tidak memandang ras, agama, jender, atau orientasi seksual, begitu pun kita. Kita harus melawan virus korona, bukan memusuhi sesama.