Ancaman terhadap warga keturunan Asia-Amerika meningkat tajam. Sentimen anti Asia-Amerika ini meningkat cepat tahun lalu akibat provokasi mantan Presiden Donald Trump yang menyebut Covid-19 sebagai ”virus China”.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ancaman rasisme sebagai racun kemanusiaan dan ”nation-state” kembali membayangi Amerika Serikat, dengan sasaran utama keturunan Asia.
Sejauh ini, sentimen rasisme dilakukan golongan kulit putih kepada kelompok kulit hitam dan berwarna, kelompok hispanik dari Amerika Latin. Namun, belakangan, keturunan Asia, terutama China dan tak terkecuali Indonesia, menjadi sasaran ujaran kebencian dan kekerasan rasialis di AS.
Perilaku rasisme di AS bertambah merisaukan karena tidak hanya dilakukan golongan kulit putih, tetapi mulai diikuti kelompok keturunan Afro-Amerika, seperti dialami dua remaja Indonesia, pekan lalu, di Philadelphia. Lebih menggemparkan lagi, serangan terhadap spa milik keturunan Asia pada pekan lalu di Atlanta yang menewaskan delapan orang, termasuk enam orang keturunan Asia.
Kekhawatiran atas gelombang kekerasan rasialis itu terlihat jelas pula pada patroli warga di berbagai kota di AS untuk mengantisipasi kemungkinan meningkatnya serangan terhadap keturunan Asia. Ancaman terhadap warga keturunan Asia-Amerika meningkat tajam, bahkan sampai tiga kali lipat, yakni dari 49 kasus menjadi 122 kasus di 16 kota tahun lalu.
Sentimen anti Asia-Amerika meningkat cepat tahun lalu akibat provokasi mantan Presiden Donald Trump yang menyebut Covid-19 sebagai ”virus China” sebab penderita pertama, patient zero, terdapat di Wuhan, China. Hasutan Trump sebagai bagian dari strategi anti-China dalam perang dagang dengan China. Pendekatan Trump yang berbau rasis itu juga sebagai strategi kampanye politik untuk mendapatkan dukungan dalam perebutan kekuasaan di Gedung Putih.
Sadar atau tidak, perpolitikan Trump yang mengeksploitasi sentimen rasial justru membangkitkan kembali rasisme, yang memiliki akar panjang dalam sejarah AS. Terbayang tantangan yang dihadapi pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris, yang dikenal menentang rasisme. Biden sengaja memilih Kamala sebagai wakilnya atas pertimbangan jender dan ras.
Biden menilai rasisme adalah racun di AS sejak lama, yang mengancam persatuan bangsa. Kamala mengaku AS mengalami persoalan rasisme dan xenophobia, anti asing. Tidak gampang memutus mata rantai kekerasan yang berasal dari sentimen rasialis. Sejauh ini, AS berupaya mengatasi persoalan rasialis ini secara struktural melalui regulasi, hukum.
Berbagai produk hukum dikeluarkan sejak lama untuk menjamin dan menjaga kesetaraan, hak asasi dan hak sipil. Namun, secara kultural, masih bermasalah. Perilaku rasis masih menjadi budaya di kalangan kelompok tertentu, ibarat api dalam sekam, yang setiap saat bisa meletup.
Jika budaya rasisme tidak dikendalikan secara struktural oleh kepemimpinan nasional dan hukum yang kuat, kekacauan, keretakan, dan perpecahan akan cepat terjadi. Jelas, upaya mengatasi rasisme tidak hanya dilakukan secara struktural melalui produk hukum, tetapi juga secara kultural, yang mendorong budaya saling menghargai dan menghormati sebagai sesama manusia dan sesama warga negara-bangsa.