Diskriminasi Rasial ibarat "Duri dalam Daging" Amerika Serikat
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden didesak untuk segera menangani kejahatan rasial di negarasnya, terutama yang menarget warga Asia-Amerika.
Rasisme yang sistematis dan supremasi kulit putih sudah menjadi racun di AS sejak lama. Memperkuat solidaritas antar-ras bisa menjadi solusi.
Memakai rompi berwarna terang dan membawa walkie-talky, delapan sukarelawan laki-laki dan perempuan dari berbagai profesi bertugas ronda keliling daerah permukiman komunitas China di Flushing, Queens, New York, Amerika Serikat.
Ronda setiap malam ini untuk mengantisipasi kekerasan terhadap warga Asia-Amerika setelah penembakan di sebuah spa di Atlanta yang menewaskan delapan orang, enam orang di antaranya perempuan Asia.
”Kami berjaga-jaga saja selama tiga jam demi keamanan semua warga Asia-Amerika,” kata pemimpin tim ronda, Patroli Keamanan Publik (PSP), Richard Lee.
Ronda seperti ini, yang juga dilakukan di San Francisco dan Oakland, sebenarnya sudah ada sejak awal pandemi Covid-19. Sentimen anti-Asia kembali muncul dan meluas sejak mantan Presiden AS Donald Trump berkali-kali menyebut Covid-19 sebagai ”virus China”. Gara-gara tudingan Trump tersebut, serangan dan kekerasan terhadap warga Asia-Amerika meningkat.
Laporan Pusat Studi Kebencian dan Ekstremisme AS menyebutkan, kejahatan rasial meningkat sampai tiga kali lipat dari 49 kasus menjadi 122 kasus pada tahun lalu di 16 kota besar di Amerika. Untuk mengantisipasi kejahatan rasial, PSP merekrut 240 sukarelawan melalui media sosial. Mereka yang direkrut itu termasuk pelayan, pegawai kantoran, dan pengacara.
Mayoritas sukarelawan itu tidak memiliki kemampuan bela diri. Mereka hanya mau membantu orang lain di waktu senggang. Saat berpatroli, para sukarelawan memberi tahu warga agar menelepon saluran darurat 911 jika melihat ada kejahatan. ”Kalau ada yang ronda, saya merasa lebih aman,” kata Mandy Yong (52), karyawan restoran.
Baca juga: Warga Asia-Amerika Tuntut Penghentian Diskriminasi Rasial
Tidak semua sukarelawan berdarah Asia. Ada juga German Perez (47), montir bengkel asal Meksiko. ”Kulit kita boleh berbeda warna, bahasa kita tidak sama, tetapi kita semua sama dan setara. Kita semua datang ke Amerika untuk alasan yang sama, mencari masa depan lebih baik,” ujarnya.
Hua Tong (42), pegawai spa kecantikan, ikut ronda karena ia ingin menghilangkan stereotip rasis yang menggambarkan perempuan Asia sebagai orang yang lemah lembut. ”Kita juga harus bisa melindungi diri sendiri. Kita harus berani berbicara dan bertindak,” ujarnya.
Stereotip termasuk ”model mitos minoritas” telah menggambarkan warga keturunan Asia Timur sebagai orang yang penurut dan tidak akan mengeluh. Namun, sejak kekerasan terhadap warga Asia-Amerika meningkat, berbagai kelompok gencar berkampanye secara daring, menggalang dana, mengorganisasi unjuk rasa, dan membentuk kelompok pendamping khusus bagi warga Asia berusia lanjut yang hendak keluar rumah.
Racun
Presiden AS Joe Biden mengakui rasisme yang sistematis dan supremasi kulit putih sudah menjadi ”racun” di AS sejak lama. Ia berjanji akan mengubah aturan hukum yang membiarkan sikap dan perlakuan diskriminasi. Sejak lama AS, seperti diakui Wakil Presiden AS Kamala Harris, menghadapi persoalan seperti rasisme, xenofobia, dan nativisme.
Guru Besar Program Studi Asia-Amerika di The University of California, Los Angeles (UCLA), Renee Tajima-Peña, mengingatkan, bibit penembakan di Atlanta itu sudah ada sejak Undang-Undang Pengecualian China pada 1875. Di situlah perempuan China betul-betul menjadi sasaran karena dianggap pelacur.
Lihat juga: Aksi Menolak Rasisme Asia-Amerika yang Dipicu Pandemi Covid-19
Memang ada sebagian yang datang ke AS dan berprofesi sebagai pelacur, tetapi yang terkena getahnya semua perempuan Asia. Imigran Asia juga dituduh membawa penyakit dan harus diperiksa sebelum masuk AS. Kalau tidak lolos, akan dikirim pulang.
”Sejarah itu yang masih diingat sampai sekarang,” ujarnya.
Kondisi tersebut diperparah oleh Trump yang menyalahkan China sebagai biang keladi Covid-19. Sikap Trump itu mengikuti sejarah panjang AS sejak abad ke-19 yang selalu menggunakan alasan penyakit untuk membenarkan sikap xenofobia anti-Asia. Sejak lama ada persepsi warga Asia-Amerika sebagai warga yang selamanya asing.
Salah satu pendiri Stop AAPI Hate dan Guru Besar Studi Asia-Amerika di San Francisco State University, Russell Jeung, menilai ada korelasi antara komentar Trump tentang ”virus China” dan ujaran kebencian yang disebarkan di media sosial serta kejahatan rasial terhadap warga Asia-Amerika.
”Itu seperti memberi izin orang untuk menyerang warga Asia-Amerika,” ujarnya kepada majalah Time.
Namun, kebencian terhadap warga Asia-Amerika itu sesungguhnya lebih mendasar, yakni pada masalah kecemburuan ekonomi dan adanya stereotip tentang warga Asia-Amerika.
”Ada stereotip dan asumsi bahwa warga Asia-Amerika mendapat keistimewaan, memiliki status sosial ekonomi tinggi, dan pendidikan sehingga dianggap tidak ada diskriminasi,” kata Bianca Mabute-Louie, pendidik keadilan rasial.
Mitos model minoritas merupakan faktor penyebab kejahatan rasial. Ada ide keliru yang terbentuk sejak era gerakan keadilan rasial, Hak Sipil, yakni warga Asia-Amerika dianggap lebih sukses ketimbang masyarakat etnis minoritas lain karena kerja keras, pendidikan, dan patuh pada hukum.
Baca juga: Sejarah Panjang Diskriminasi pada Warga Asia Amerika
Gara-gara mitos model minoritas itu pula, ada pandangan keliru bahwa warga Asia-Amerika tak mengalami diskriminasi rasial atau tak perlu berjuang keras untuk hidup. Padahal, pada kenyataannya, dalam studi Pusat Penelitian Pew pada 2018 disebutkan bahwa warga Asia-Amerika justru mengalami kesenjangan pendapatan terbesar di AS.
Setidaknya, gambaran soal kesenjangan tersebut terlibat dalam laporan Kantor Operasional Wali Kota New York pada 2016. Laporan tersebut menyebutkan, tingkat kemiskinan imigran Asia paling tinggi di New York City. Dengan kata lain, warga Asia-Amerika dalam kenyataannya sangat miskin dibandingkan dengan warga lokal.
Putus rantai kekerasan
Untuk mengatasi persoalan sentimen anti-Asia, solusinya ada pada masyarakat dan perubahan narasi tentang satu sama lain supaya tercipta solidaritas antar-ras. Jeung menyarankan upaya masyarakat dan upaya membangun rasa solidaritas merupakan satu-satunya cara mencegah serangan rasial.
”Ini isu yang memengaruhi semua masyarakat dan kita harus memutus rantai kekerasan ini,” kata Jeung.
Jeung menilai bukan hanya langkah hukum yang harus dipertegas, melainkan juga model keadilan restoratif yang memutus siklus kekerasan, studi etnis untuk mengajar masyarakat tentang solidaritas rasial, upaya mediasi komunitas untuk tidak hanya meminta pertanggungjawaban orang, tetapi juga untuk bekerja sama menyelesaikan masalah.
Pemerintahan Biden didesak untuk segera menangani kejahatan rasial ini. Di saat bersamaan, Biden berbicara ke mana-mana mengajak seluruh dunia menentang diskriminasi rasial, seperti yang dialami komunitas minoritas Rohingya di Myanmar dan komunitas Uighur di China.
Ada baiknya pemerintahan Biden menangani isu kejahatan rasial di dalam negerinya sendiri dulu sebelum mengurus isu rasial di negara lain.
Baca juga: Akui Rasisme Nyata di AS, Biden-Harris Kecam Keras Kebencian Anti-Asia
Associate Professor di Studi Asia Amerika UC Berkeley, Lok Siu, menjelaskan, kejahatan rasial yang kerap didorong oleh xenofobia anti-Asia sudah menjadi praktik struktural AS di masa-masa krisis. Rasisme anti-Asia dari waktu ke waktu bentuknya berubah, tetapi tetap ada karena warga Asia-Amerika selalu dianggap ”orang luar” sehingga bukan bagian dari AS.
”Sentimen anti-AS dan kejahatan rasial selalu terjadi di saat krisis sosial terjadi,” ujarnya.
Struktur ekonomi dan sistem kapitalisme AS bisa menyebabkan kejahatan rasial. Kasus kejahatan rasial bukan persoalan yang tiba-tiba muncul, tetapi sudah mendarah daging di AS sejak akhir 1800-an.
Pada waktu itu, banyak orang China datang ke AS untuk bekerja di pembangunan rel kereta. Antara tahun 1870-an dan 1880-an, sedikitnya 150 kerusuhan anti-China terjadi di sejumlah daerah di AS.
Ratusan orang tewas dibunuh dan hampir semua permukiman warga China dibakar karena kemarahan warga AS yang menuding warga China telah merampas pekerjaan warga kulit putih dan juga membawa penyakit.
Hal yang sama terjadi sekarang. Di saat rakyat AS tengah frustrasi dengan pandemi Covid-19 dan dampaknya pada pekerjaan dan perekonomian, warga AS menumpahkan kekesalannya kepada warga Asia-Amerika yang dijadikan kambing hitam atas segala kesulitan yang dialami AS. Kejahatan rasial dimotivasi oleh prasangka buruk dan bias terhadap korban. (REUTERS/AFP/AP)