Indonesia Minta AS Adili Penyerang Dua Remaja WNI di Philadelphia
Penyerangan terhadap warga Asia, termasuk terhadap dua WNI di Philadelphia, di Amerika Serikat, sangat disayangkan. Indonesia meminta AS melindung WNI dan mengadili penyerang.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Amerika Serikat diminta mengadili pelaku penyerangan terhadap dua warga negara Indonesia di Philadelphia dan melindungi WNI yang lain di AS. Permintaan itu disampaikan di tengah gelombang kebencian terhadap orang Asia di AS, di mana dua WNI telah menjadi korban dalam penyerangan di Philadelphia, Negara Bagian Pennsylvania.
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa pada Kementerian Luar Negeri I Gede Ngurah Swajaya, Sabtu (27/3/2021), di Jakarta, menyampaikan permintaan tersebut kepada Asisten Menteri Luar AS untuk Asia Timur dan Pasifik Sung Kim.
Swajaya menghubungi mantan Duta Besar AS untuk Indonesia itu selepas dua remaja komunitas Indonesia Philadelphia diserang dan dipukul di Stasiun Septa di City Hall oleh lima remaja, Minggu lalu.
Serangan terjadi pada Minggu malam, 21 Maret 2021, kala dua remaja putri Indonesia sedang menanti kereta. Kepada Swajaya, Kim berjanji aparat keamanan AS akan menangani kasus tersebut secara adil.
”Mereka mendapat serangan fisik dan verbal,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) di Kemenlu RI Judha Nugraha, kemarin, di Jakarta.
Informasi yang diperoleh Kemenlu RI, serangan tersebut dilakukan sejumlah remaja dari kelompok Afrika-Amerika. Dalam insiden itu, para remaja Indonesia dilaporkan tidak terluka. Walakin, mereka sangat terkejut dan mengalami trauma. ”Sudah melapor kepada yang berwajib,” kata Judha.
Kasus perisakan
Konsulat Jenderal RI di New York telah berkoordinasi dengan pemerintah kota tersebut dan kepolisian Philadelphia. KJRI New York meminta Pemerintah Kota Philadelphia untuk terus mengabarkan perkembangan kasus itu. Kepolisian Philadelphia pun memproses insiden itu sebagai kasus perisakan.
”Sedang penyelidikan untuk menentukan apakah kasus ini bermotif rasial atau tidak,” ujar Judha.
Penyerangan terhadap dua remaja Indonesia tersebut menambah daftar panjang korban serangan terhadap orang Asia di AS atau warga Asia-Amerika. Penyerangan terhadap keturunan Asia dilakukan baik oleh orang kulit putih, kulit hitam, ataupun keturunan Latin.
Namun, Stop AAPI Hate menemukan kecenderungan pelaku dari kelompok kulit hitam dan Latin tidak diproses dengan dakwaan rasisme atau kebencian rasial. Mereka kerap hanya diproses dengan dakwaan penyerangan sehingga hukumannya lebih rendah daripada jika dijerat dengan dakwaan kebencian terhadap ras tertentu.
”Ada rasa frustrasi di komunitas Asia terhadap penolakan penyidik untuk mengenakan dakwaan ujaran kebencian,” kata Chris Kwok, pengacara yang juga pengurus Stop AAPI Hate.
Stop AAPI Hate merupakan koalisi untuk mengatasi kebencian terhadap warga AS keturunan Asia dan Pasifik Selatan. Orang-orang dari kedua wilayah itu cenderung mirip dan karena itu kerap dijadikan sasaran empuk kebencian terhadap keturunan Asia.
Keresahan Kwok, antara lain, dibuktikan pada kasus Salman Muflihi yang menusuk seorang pria keturunan Asia di New York pada Februari lalu. Aparat kepolisian setempat hanya mengenakan dakwaan percobaan pembunuhan dan bukan dengan dakwaan melakukan ujaran kebencian.
Masih di New York pada 2020, tujuh pria Latin ditangkap karena mengeroyok seorang pria kelahiran Hong Kong. Dalam insiden di Queens itu, hanya satu orang ditangkap. Sementara dalam serangan di Bronx terhadap seorang perempuan berusia 51 tahun oleh 11 remaja kulit hitam juga tidak dikenai dakwaan ujaran kebencian. Sembari mencaci korban, para pelaku memukuli kepala perempuan keturunan Asia itu dengan payung.
Sementara dalam kasus di Manhattan, New York City, dengan pelaku orang kulit putih, polisi mengenakan dakwaan penyerangan dan ujaran kebencian. Perempuan kulit putih meninju dan mencaci seorang perempuan keturunan Asia pada Maret 2020.
Faktor Trump
Di sepanjang tahun 2020, sebagaimana laporan Center for the Study of Hate and Extremism, ada 20 serangan terhadap warga keturunan Asia di New York. Lembaga tersebut juga telah mencatat 12 pelaku kulit hitam, 6 Hispanik, dan sisanya kulit putih.
Diskriminasi, ujaran kebencian, dan kekerasan rasial memang telah meracuni warga AS dan semakin kuat di bawah pemerintahan Presiden ke-45 AS Donald Trump.
Sosiolog pada Columbia University, Jennifer Lee, menyebut Trump amat berperan dalam peningkatan insiden kekerasan dan diskriminasi rasial itu.
”Kalau ada mantan presiden yang menggelorakan nasionalisme kulit putih dengan menggunakan hinaan etnis, Anda menghasut kebencian pada kelompok minoritas, dalam kasus ini keturunan China dan Asia umumnya,” kata Lee.(AFP/REUTERS/RAZ)