Serangan Rasial, Ancaman Pembunuhan, dan Problem Kebangsaan di Piala Eropa 2020
Piala Eropa 2020 menyadarkan banyak pihak bahwa masalah kebangsaan masih menimpa Eropa. Segelintir orang masih menjadikan perbedaan ras dan etnis untuk mengutuk kegagalan tim kebanggaanya.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·6 menit baca
AFP/LINDSEY PARNABY
Warga menempelkan kertas berisi dukungan untuk pemain Inggris, Marcus Rashford yang menjadi korban rasialisme. Mural bergambar wajah Rashford di Manchester, Inggris, menjadi sasaran vandalisme, Selasa (13/7/2021), setelah kekalahan Inggris dalam final Piala Eropa 2020.
Dalam bukunya, Imagined Communities (1983), Benedict Anderson menyebutkan bahwa sebuah bangsa adalah hasil dari kontruksi sebuah komunitas yang telah dibayangkan oleh sekelompok orang yang menganggap dirinya bagian dari kelompok itu. Lebih lanjut, Anderson menyebut, komunitas yang membentuk suatu bangsa memiliki rasa persatuan mendalam atas semua warga negara terlepas dari kelas, warna kulit, dan ras.
Anderson adalah salah satu pakar yang menjabarkan secara rinci bagaimana bangsa terbentuk. Meskipun terlihat sederhana, kehadiran bangsa yang dibentuk berkat menyatukan perbedaan sosial justru berpotensi menghadirkan sebuah kerapuhan. Keragaman sebuah negara menghasilkan sebuah kekayaan kultural yang menjadi nilai khusus sebuah bangsa, tetapi di sisi lain perbedaan itu menghadirkan problem di era digital saat ini.
Membela negara sendiri di sebuah ajang olahraga disebut sebagai salah satu bentuk perjuangan baru di masa pasca-Perang Dunia. Dalam Piala Eropa 2020, terdapat 26 pemain terbaik dari 24 negara yang berjibaku membela nama negaranya untuk menjadi tim terbaik.
Menjadi juara di ajang turnamen antarnegara berharga melebihi sebuah prestasi olahraga. Italia, mencontohkan, bagaimana raihan Piala Eropa 2020 menjadi oase bagi negara yang dirundung gelombang pandemi Covid-19 yang sempat melumpuhkan negara itu pada tahun lalu.
Warga berlutut di dekat mural wajah pemain Inggris, Marcus Rashford yang menjadi korban rasialisme. Mural bergambar wajah Rashford di Manchester, Inggris, menjadi sasaran vandalisme, Selasa (13/7/2021), setelah kekalahan Inggris dalam final Piala Eropa 2020.
Italia mendapatkan sebuah momen notti magiche atau malam ajaib yang menyatukan jutaan warga negara Italia yang berada di seluruh dunia. Mereka bersukacita setelah melihat Giorgio Chiellini mengangkat trofi Henri Delaunay di Stadion Wembley, Inggris.
”Kemenangan Italia membuat saya merasakan kebanggaan menjadi warga Italia,” ucap legenda timnas Italia, Fabio Cannavaro.
Bukan hanya oleh Cannavaro—yang pernah mengantarkan Italia menjadi juara Piala Dunia 2006—kemenangan Italia di Piala Eropa 2020 pun disambut bahagia oleh masyarakat umum. ”Kejayaan ini sangat bagus bagi semangat nasional kami setelah menderita akibat Covid-19,” kata Daniela Righino, warga Italia yang bermukim di Uruguay.
Warga Italia di seluruh dunia tengah berpesta. Mereka bersatu dan tumpah ruah di jalanan sambil mengibarkan bendera untuk merayakan gelar Piala Eropa kedua. Tanpa ada sekat ikatan darah, seluruh warga Italia tidak segan saling berpelukan untuk merayakan momen menjadi ”raja” di Eropa.
AP PHOTO/JON SUPER
Seorang anak memasang kertas berisi pesan dukungan untuk pemain Inggris, Marcus Rashford yang menjadi korban rasialisme. Mural bergambar wajah Rashford di Manchester, Inggris, menjadi sasaran vandalisme, Selasa (13/7/2021), setelah kekalahan Inggris dalam final Piala Eropa 2020.
Masalah yang tertinggal
Kondisi yang berbeda terjadi di Inggris. Kekalahan dari Italia di partai puncak justru membuka masalah kebangsaan di ”Negeri Ratu Elizabeth”. Inggris yang selama ini dikenal plural dan terbuka dengan berbagai perbedaan memperlihatkan noda dalam kehidupan bernegara setelah gagal meraih Piala Eropa perdana.
Tiga pemain Inggris berkulit berwarna yang gagal mengeksekusi penalti di laga final menjadi sasaran serangan rasial yang terjadi di media sosial dan ruang publik luring. Ketiganya ialah Marcus Rashford (23), Jadon Sancho (21), dan Bukayo Saka (19).
Mereka mendapat serangan verbal yang menyinggung warna kulit mereka, bahkan ada pula serangan verbal yang meminta mereka meninggalkan sepak bola karena membuat malu bangsa Inggris. Rashford bahkan mendapat serangan rasial tidak hanya melalui daring.
Sebuah graffiti wajahnya di kota Manchester jadi sasaran tindakan vandalisme dengan tulisan bernuansa ejekan rasial. Kejadian itu pun langsung dibalas dengan gerakan sukarelawan puluhan hingga ratusan warga yang menutup tulisan itu, kemudian menggantinya dengan ucapan dukungan kepada bintang Manchester United itu.
AFP/LINDSEY PARNABY
Pengunjuk rasa antirasialisme berdemonstrasi di dekat mural bergambar wajah pemain Inggris, Marcus Rashford di Manchester, Inggris. Mural tersebut menjadi sasaran vandalisme, Selasa (13/7/2021) setelah kekalahan Inggris dalam final Piala Eropa 2020.
Saya bisa menerima kritik atas performa saya. Tetapi, saya tidak akan pernah meminta maaf atas identitas diri saya dan dari mana saya berasal.
”Saya bisa menerima kritik atas performa saya. Tetapi, saya tidak akan pernah meminta maaf atas identitas diri saya dan dari mana saya berasal,” tulis Rashford dalam pernyataan resmi yang diunggah di akun media sosialnya.
Serangan rasial yang diterima para pemain ”Tiga Singa” seakan membuktikan masalah rasisme masih menjadi problem kebangsaan di Inggris. Keputusan pemain Inggris untuk berlutut sebelum memulai laga di setiap pertandingan Piala Eropa juga tidak sepenuhnya menyadarkan segelintir orang yang masih berpikiran sempit.
”Tim Inggris ini pantas disebuh sebagai pahlawan, bukan menerima serangan rasial di media sosial,” kata Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Barney Ronay, kepala penulis olahraga The Guardian, menilai, bangsa Inggris seharusnya mengambil contoh Pelatih Inggris Gareth Southgate yang membentuk tim amat plural dan menyatukan seluruh perbedaan ras dan etnis untuk menjadi sebuah tim terbaik ”Tiga Singa” dalam 50 tahun terakhir. Serangan rasial dan kekerasan verbal, tambahnya, adalah masalah mendasar yang tidak bisa diselesaikan oleh sepak bola melalui sejumlah kampanye.
”Masalah rasisme, kekerasan, dan pelecehan itu tidak bisa semata diselesaikan melalui olahraga, tetapi perlu ada kekuatan politik dan sosial yang lebih besar untuk menyelesaikan persoalan itu,” tulis Ronay.
AFP/LINDSEY PARNABY
Warga menempelkan kertas berisi dukungan untuk pemain Inggris, Marcus Rashford yang menjadi korban rasialisme. Mural bergambar wajah Rashford di Manchester, Inggris, menjadi sasaran vandalisme, Selasa (13/7/2021), setelah kekalahan Inggris dalam final Piala Eropa 2020.
Tidak hanya Inggris, timnas Spanyol juga merasakan serangan verbal di media sosial. Sasaran serangan itu ialah penyerang Spanyol, Alvaro Morata. Meskipun mencetak tiga gol selama Piala Eropa, penampilan Morata dianggap jauh dari harapan publik Spanyol.
Kegagalannya memanfaatkan peluang emas ketika menghadapi Swedia, tendangan penalti yang gagal berbuah gol saat menghadapi Slovenia, serta eksekusi penalti yang dihalau dalam adu penalti melawan Italia di babak semifinal menjadi alasan sejumlah pihak menyerang Morata.
Morata tidak hanya mendapat pelecehan secara verbal, ia juga menerima ancaman pembunuhan dari sejumlah orang. Ancaman pembunuhan itu juga dialamatkan kepada ketiga anaknya.
Sebagai pemain Spanyol yang membela bangsa, Morata seharusnya tidak pantas menerima perlakuan negatif itu. Penyerang Juventus itu menyatakan, serangan verbal itu memengaruhinya, tetapi hal itu tidak akan mengurangi rasa bangganya bermain untuk Spanyol.
AP/Lapresse/Roberto Monaldo
Pelatih Italia Roberto Mancini (berjas) memegang tropi Piala Eropa 2020 bersama Kapten Timnas Italia Giorgio Chiellini, saat pawai di jalanan Kota Roma untuk merayakan kemenangan, Selasa (13/7/2021).
Dalam sejarah Spanyol yang dibentuk dari sejumlah etnis membuat serangan verbal itu bukanlah sesuatu yang baru muncul. Etnis Catalan, misalnya, sangat membenci orang-orang Madrid yang dianggap bagian dari Kerajaan Spanyol. Ada pula etnis Basque yang juga memiliki akar sejarah sendiri. Alhasil, dalam pertandingan Liga Spanyol, kehadiran ketiga kutub etnis itu meruncingkan rivalitas antarklub yang mewakili setiap etnis itu.
Menurut Pelatih Spanyol Luis Enrique, disintegrasi seharusnya bukan lagi masalah bagi bangsa Spanyol modern. Atas dasar itu, Enrique amat mendukung hukuman tegas kepada para pelaku serangan verbal kepada Morata.
”Saya telah melaporkan kepada pihak yang berwajib untuk menghukum para pihak yang terlibat dalam serangan kepada Morata. Hal seperti itu tidak boleh dialami lagi oleh pemain yang telah berjuang demi negara,” kata Enrique dilansir AS.
Sergio Ramos, pemilik jumlah penampilan terbanyak timnas Spanyol, menilai, warga Spanyol kurang menghargai jerih payah para pemain timnas. Ia pun pernah mengalami serangan verbal dari sejumlah pihak atas penampilan buruknya bersama timnas dan Real Madrid. Menurut dia, pemain timnas seharusnya mendapat rasa hormat dari seluruh warga Spanyol.
AFP/Vincenzo PINTO
Warga Italia dengan mengenakan masker menyambut gembira pawai pemain Timnas Italia setelah menjuarai Piala Eropa 2020, Rabu (13/7/2021) di Roma, Italia. Pawai berlangsung di bawah bayang-bayang ancaman pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
”Kami memiliki masalah sebagai sebuah bangsa. Pujian dan apresiasi justru lebih besar kami dapatkan dari orang-orang di luar negeri, kami amat kurang mendapat pengakuan atas kerja keras di timnas dari masyarakat Spanyol. Hal ini menyedihkan, tetapi itulah kenyataannya,” kata Ramos, yang baru bergabung dengan Paris Saint-Germain, kepada Marca.
Piala Eropa 2020 memang telah usai, tetapi problem kebangsaan yang menimpa Inggris dan Spanyol masih perlu bertahun-tahun diselesaikan…. (AP/REUTERS)