Afghanistan dinobatkan sebagai negara paling tidak bahagia di dunia. Bahkan, rakyat mulai putus asa melihat situasi yang tidak kunjung membaik.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Masoudi Ahmadi memilih meninggalkan Afghanistan, tempat kelahirannya, pada tahun 2001 lalu, untuk menyelamatkan diri dari konflik yang terus berkecamuk. Tahun 2001 adalah tahun yang sama ketika serangan bom bunuh diri Al Qaeda meruntuhkan menara kembar WTC di New York, Amerika Serikat, yang kemudian memicu kebijakan perang melawan teror Negeri Paman Sam itu ke seluruh dunia. Ahmadi memilih Pakistan sebagai tempat tinggal barunya.
Setelah AS dan pasukan sekutu memutuskan untuk hengkang dari Afghanistan, Ahmadi memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Dia berpikir, Afghanistan akan menjadi tempat yang sangat cerah untuk masa depan dirinya dan keluarganya.
Ahmadi yang memiliki keahlian sebagai tukang kayu, bermimpi untuk membuka toko furnitur kecil. Dia bermimpi mempekerjakan setidaknya 10 orang warga sekitar, membantu perekonomian mereka.
Namun, setelah beberapa bulan kembali ke Afghanistan, harapannya mulai sirna. Bengkel kerja furnitur berukuran sekitar 1,8x3 meter miliknya lebih banyak tutup dibandingkan buka. Debu yang menempel di peralatan kerjanya semakin menebal. Dia hanya buka dua hari dalam sepekan karena tidak ada pesanan yang bisa dikerjakan.
Dalam pandangannya, pemerintahan Taliban yang kini berkuasa, tidak cukup melakukan kerja untuk membantu rakyat. Mereka hanya membantu orang-orang yang terdekat saja, meninggalkan rakyat yang berjuang untuk hidup.
“Ketika dana mengalir masuk, pemimpin negara ini mengambil uang itu dan menghitungnya sebagai uang kekayaan pribadi mereka. Rakyat tidak dibantu untuk mengubah hidup mereka menjadi lebih baik,” ujarnya.
Tidak Bahagia
Apa yang dirasakan Ahmadi saat ini tergambar dari hasil survei sebuah lembaga penelitian, Gallup, di Afghanistan. Hasil survei yang disebut sebagai laporan kebahagiaan dunia (World Happiness Report) jelang hari Kebahagiaan Internasional menempatkan Afghanistan di posisi buncit negara terbahagia di dunia dengan skor 2,5 saja.
Tidak jauh dari posisi yang ditempati Afghanistan, ditempati oleh Lebanon, yang didapuk sebagai negara paling menyedihkan di dunia ke dua setelah tanah tempat kelahiran Ahmadi. Tiga negara lainnya, yaitu Botswana, Rwanda dan Zimbabwe, melengkapi daftar lima negara terbawah “negara paling tidak bahagia di dunia” versi Gallup.
Sebaliknya, Finlandia, bagian dari Eropa, dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia dengan skor 7,8. Ini adalah posisi yang ditempati Finlandia selama empat tahun berturut-turut. Empat negara di Benua Biru lainnya, yaitu Denmark, Swiss, Eslandia dan Belanda, melengkapi daftar teratas sebagai negara paling bahagia di dunia.
Para peneliti memberi peringkat negara-negara tersebut setelah menganalisis data selama tiga tahun. Mereka melihat beberapa kategori, termasuk produk domestik bruto per kapita, jaring pengaman sosial, harapan hidup, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, kemurahan hati penduduk, dan persepsi tingkat korupsi internal dan eksternal.
Di semua kategori, Afghanistan adalah yang terburuk. Hasil ini tentu saja membingungkan para analis karena sebelum kedatangan Taliban, Afghanistan berada di bawah kendali AS selama dua dekade terakhir. Dana sebesar setidaknya 145 miliar dolar telah mengalir ke negara itu sejak 2002 untuk pembangunan, menurut laporan inspektur jenderal khusus AS untuk Afghanistan.
Gallup melakukan polling pada tahun 2018 dan menemukan bahwa warga Afghanistan yang mereka survei memiliki banyak harapan untuk masa depan. Tapi, kini, mayoritas mengatakan mereka tidak punya harapan untuk masa depan.
Menurut analis Nasrullah Haqpal, korupsi yang berlangsung selama bertahun-tahun, meningkatnya kemiskinan, kurangnya pekerjaan, jumlah warga miskin yang terus meningkat dan pembangunan yang tidak menentu semuanya digabungkan menjadi malaise yang menghancurkan. Sebagian besar warga Afghanistan memiliki harapan, mimpi besar, agar mereka bisa hidup aman dan sejahtera, pascatahun 2001. Saat itu, Taliban digulingkan oleh pasukan sekutu pimpinan AS.
Akan tetapi, mimpi itu kandas. “Sayangnya satu-satunya fokus adalah pada perang, panglima perang dan politisi korup. Rakyat miskin menjadi semakin miskin, mereka juga semakin kecewa dan semakin tidak bahagia. Itulah mengapa 20 tahun investasi di Afghanistan runtuh hanya dalam 11 hari," Haqpal, mengacu pada situasi di Agustus lalu saat Taliban kembali berkuasa dalam waktu yang sangat singkat.
Laporan Gallup itu memperkuat laporan yang dikeluarkan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP) yang menyebut 95 persen dari 38 juta rakyat Afghanistan tidak memiliki cukup bahan pangan. Mereka juga tidak memiliki uang untuk membeli makanan.
Juru bicara WFP, Shelly Thakral, mengatakan bahwa harga bahan makanan di Afghanistan naik hingga 40 persen selama delapan bulan terakhir. Dan situasi ini tidak akan kunjung membaik seiring meningkatnya harga makanan dan bahan bakar dunia akibat konflik. “Hal ini sangat mengkhawatirkan,” katanya.
Pernyataan Thakral memperkuat pernyataan Kepala Badan Pengungsi PBB (UNHCR) Filippo Grandi pada Selasa pekan lalu. Dia mengatakan, krisis di Ukraina bisa membuat bantuan krisis kemanusiaan di kawasan yang telah mengalami krisis sejak lama, dialihkan ke Ukraina. Selain itu, melonjaknya harga bahan makanan juga dikhawatirkan akan melumpuhkan upaya lembaga donor internasioal mengatasi krisis kemanusiaan.
Hanya mengantungi 1,9 dolar AS per hari atau sekitar Rp 28.600 per hari, menurut Thakral, warga tidak bisa memperoleh bahan makanan yang cukup untuk satu keluarga. Data yang dipegang Thakral juga menyebut bahwa 80 persen warga Afghanistan berutang.
Sebuah laporan Human Rights Watch yang dirilis Kamis pekan lalu juga menyebut, sejak Januari, sekitar 13.000 bayi baru lahir meninggal karena kekurangan gizi dan penyakit terkait kelaparan di Afghanistan. Sebanyak 3,5 juta anak membutuhkan dukungan nutrisi.
Semua laporan tadi mendukung survei Gallup bahwa saat ini, Afghanistan adalah negara paling menyedihkan di dunia. Dan, laporan-laporan tadi juga mendukung laporan Gallup yang menyatakan bahwa jika situasi tidak membaik, situasi akan lebih buruk pada tahun-tahun mendatang. (AP)