Afghanistan kian terlilit krisis ekonomi hingga mengarah ke bencana kemanusiaan. Rakyat Afghanistan tak mampu bertahan hidup lagi dan mengharapkan bantuan dari pemerintah dan lembaga bantuan internasional lain.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Sulit bagi Javid untuk membangun kembali rumahnya di daerah Arzo yang hancur akibat konflik bersenjata selama bertahun-tahun. Apalagi dengan krisis ekonomi yang melanda Afghanistan. Selama bertahun-tahun, kampung halaman Javid itu tak pernah dibenahi karena letaknya yang strategis menuju pusat medan pertempuran ke kota Ghazni.
Kelompok Taliban berperang dengan pasukan keamanan Afghanistan di lima pos militer yang berada di dalam dan di sekitar kampung Javid. Bahkan, rumah-rumah penduduk desa sering dipakai sebagai pos jaga dan perlindungan. ”Setiap saat, pagi, siang, sore, malam, kedua pihak berbalas tembakan dan rumah kami persis di tengah-tengah medan peperangan,” kata Javid (31), Jumat (3/12/2021).
Javid menunjukkan terowongan yang digali anggota Taliban di dalam rumahnya yang hancur dan tinggal puing-puing. Rumahnya digunakan sebagai tempat untuk menyerang pos jaga tentara. Sampai sekarang Javid dan keluarganya masih mengungsi di rumah saudara di kampung sebelah hingga ia bisa mengumpulkan uang untuk membangun rumahnya kembali. Javid sudah tak punya apa-apa lagi. Bahkan, ia harus meminjam 1.680 dollar AS (sekitar Rp 24 juta) demi memulai usaha membuka toko kecil-kecilan. ”Kami butuh bantuan dari LSM dan pemerintah. Kalau tidak, kami tak bisa kembali ke rumah,” ujarnya.
Setelah konflik bersenjata berlangsung selama satu tahun lebih di kampung itu, warga Arzo yang terakhir mengungsi pada Juni lalu. Dua bulan kemudian, Afghanistan jatuh lagi ke tangan kelompok Taliban. Krisis ekonomi kian parah karena komunitas internasional membekukan dana bantuan untuk Afghanistan. Penderitaan rakyat Afghanistan tak cukup sampai di situ. Musim kering memperparah ancaman kekurangan pangan dan bencana kemanusiaan.
Daerah-daerah perdesaan seperti Arzo menjadi saksi sekaligus korban konflik selama 20 tahun antara kelompok Taliban, Amerika Serikat, pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan pasukan Afghanistan. Setelah konflik bersenjata berakhir, warga perlahan mulai kembali ke Arzo dan mencoba membangun rumah mereka.
Salah satu warga Arzo, Lailuma (55), kehilangan putrinya saat terjadi baku tembak antara Taliban dan pasukan pemerintah. Suaminya nyaris tewas karena tertembak di bagian kepala. Kini suaminya sudah sembuh, tetapi tidak mampu bekerja lagi. Rumah Lailuma pernah hancur saat konflik dan sudah dibangun lagi. Sekarang hancur lagi. Lailuma sudah tak memiliki uang untuk membangun rumahnya kembali. Ia dan banyak warga desa lainnya seakan kembali lagi ke titik nol.
Rafiullah (65), seorang guru, juga kehilangan putrinya yang tewas terkena peluru nyasar. Putrinya tewas dua pekan menjelang hari pernikahannya. Rafiullah sudah kembali mengajar karena sekolah sudah buka kembali, tetapi ia masih susah mengajar karena teringat akan putrinya. Sekolah juga terpaksa dibuka dengan kondisi bangunan apa adanya. Di dinding sekolah banyak lubang peluru dan bekas tembakan artileri, serta kaca jendela pecah semua.
Sejak pertengahan tahun 2020, sekitar 40 warga sipil di desa itu tewas. Untuk mencegah lebih banyak korban yang tewas, warga desa mengumpulkan ranjau-ranjau yang belum meledak atau gagal meledak dan menyembunyikannya di ruang kosong. ”Ini untuk melindungi anak-anak. Ada 100 dari 890 keluarga yang tinggal di Arzo yang belum kembali,” kata tokoh desa itu, Abdul Bari Arzoi.
Banyak warga desa yang masih ragu untuk pulang ke Arzo karena mereka khawatir masih banyak ranjau yang belum dibersihkan oleh Taliban. Dulu ranjau-ranjau itu berjasa karena menjadi pelindung bagi warga desa. Sekarang ranjau-ranjau itu malah mengkhawatirkan. Karena kondisi ini, Arzo masih sepi.
Warga yang tadinya menggarap ladang kini pergi mencari pekerjaan di tempat lain. Ternak-ternak pun kini tak ada. ”Kami tidak bisa bercocok tanam lagi atau beternak karena semua sudah tidak ada. Tak ada yang tersisa. Kami tak mampu merawat ternak. Tidak ada orang lain juga yang bisa merawat ternak. Ditambah lagi, tidak ada air bersih,” kata Naqib Ahmad.
Tanpa ada stok simpanan untuk menghadapi musim dingin, banyak warga desa yang mencoba mencari pekerjaan harian sebagai buruh bangunan di Ghazni bahkan di Pakistan dan Iran. Banyak warga yang mengharapkan bantuan dari pemerintah dan lembaga bantuan internasional. ”Kami sudah tidak tahu bagaimana cara bertahan hidup. Banyak keluarga yang terbelit utang dan tidak bisa membayar cicilan,” kata Ahmad. (AFP)