Pernikahan anak di Afghanistan meningkat seiring dengan banyaknya keluarga yang miskin dan tak mempunyai uang untuk sekadar makan. Anak-anak perempuan dijual sejak usia dini, lalu akan dinikahkan jika sudah cukup umur.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Fahima tak kuasa menghentikan tangis setiap kali teringat pada dua anak perempuannya yang terpaksa dijual suaminya untuk dinikahkan di kemudian hari. Ini terpaksa dilakukan demi mendapatkan uang agar bisa tetap bertahan menghadapi kesulitan hidup akibat kekeringan yang melanda Afghanistan Barat. Tanpa tahu apa yang sedang terjadi, Faristeh (6) dan Shokriya (18 bulan) duduk di samping Fahima di tempat penampungan untuk pengungsi yang terbuat dari bata lumpur dan terpal.
”Suami saya bilang, kalau tidak merelakan anak-anak perempuan kami, kami semua akan mati karena tidak ada makanan sama sekali. Saya merasa jadi ibu yang buruk karena melepas anak-anak saya demi uang,” kata Fahima.
Kedua anak Fahima masih kecil sehingga proses transaksinya akan berlangsung lama. Anak yang tertua diberi harga 3.350 dollar AS (sekitar Rp 47 juta) dan anak balitanya 2.800 dollar AS (Rp 39 juta). Proses pembayarannya dicicil selama bertahun-tahun sampai tiba saatnya mereka siap untuk dinikahkan lalu pindah ke keluarga yang baru. Calon suami yang akan menikah dengan mereka pun masih di bawah umur.
Apa yang dialami Fahima juga dialami ribuan keluarga Afghanistan. Pernikahan anak seperti ini pun praktik lazim di Afghanistan selama berabad-abad. Namun, perang dan kemiskinan akibat perubahan iklim membuat semakin banyak keluarga memutuskan menjual anak-anak perempuannya lebih dini. Orangtua dari pihak laki-laki masih boleh menawar harga yang dipatok orangtua si anak perempuan. Demi mendapatkan harga yang lebih murah, orangtua laki-laki kerap kali memilih membeli anak perempuan yang lebih muda.
Program Pangan Dunia (WFP), Senin lalu, memperingatkan bahwa sekitar 22,8 juta jiwa penduduk Afghanistan akan mengalami kerawanan pangan akut pada November mendatang. Di Qala-i-Naw, ibu kota Provinsi Badghis, salah satu daerah yang paling parah terdampak kekeringan, dipastikan akan mengalami hal itu. Jumlah anak perempuan yang sudah bertunangan meningkat selama bencana kelaparan terjadi tahun 2018. Tahun ini, jumlahnya terus meningkat karena musim kering berkepanjangan.
Banyak petani yang kehilangan tanah dan rumahnya mengaku terpaksa menjual anak-anak perempuan mereka untuk dinikahkan. Tetangga Fahima di kamp pengungsian, Sabehreh (25), terpaksa berutang terus ke toko bahan pokok supaya keluarganya bisa tetap makan. Pemilik toko sering memperingatkan Sabehreh dan keluarganya bisa masuk penjara jika mereka tidak membayar utang.
Untuk melunasi utang-utangnya, Sabehreh dan suaminya sepakat merelakan anak perempuan mereka, Zakereh, yang baru berusia 3 tahun. Zakereh akan dijodohkan dengan putra si pemilik toko itu, Zabiuallah, yang baru berusia 4 tahun. Para anak balita itu tentu saja tidak sadar bahwa hidup mereka sudah ditentukan oleh orangtuanya dan mereka tak mempunyai pilihan lain. Si pemilik toko memilih menunggu sampai kedua anak balita itu sudah cukup umur untuk menikah. ”Saya tidak mau melakukannya, tetapi tidak ada pilihan. Kami tidak mempunyai makanan dan minuman,” kata Sabehreh.
Ada lagi tetangga Sabehreh, Gul Bibi, yang juga menjual anak perempuannya, Asho, saat masih berusia 8 atau 9 tahun. Ia dijodohkan dengan seorang laki-laki berusia 23 tahun yang meminjami uang Gul Bibi. Anak muda itu tinggal jauh di daerah dekat perbatasan dengan Iran dan Gul Bibi khawatir anak muda itu akan pulang sewaktu-waktu mengambil anaknya. ”Kami tahu itu tidak boleh dilakukan, tetapi banyak yang tidak mempunyai pilihan,” kata Hayatullah, yang ikut mendengarkan cerita Gul Bibi.
Di kamp lain di Qala-i-Naw, Mohammad Assan menghapus air matanya saat menunjukkan foto-foto kedua anak perempuannya, Siana (9) dan Edi Gul (6), yang kini sudah tinggal bersama suaminya. ”Kami belum ketemu lagi sejak mereka diambil. Sebenarnya, kami tak mau melakukannya, tetapi kami harus memberi makan anak-anak kami lainnya,” ujarnya.
Seperti yang lainnya, Assan dan keluarganya tinggal di kamp penampungan sementara karena pertikaian sengit selama beberapa tahun terakhir antara kelompok Taliban dan pasukan Pemerintah Afghanistan yang didukung Amerika Serikat. ”Anak-anak saya lebih baik tinggal di tempat lain. Yang penting mereka bisa makan,” kata Assan.
Istri Assan sakit dan banyak obat yang harus ditebus. Ada juga biaya dokter yang belum dibayar. Karena tak mempunyai uang, ia mulai mencarikan jodoh lagi untuk anak perempuannya yang bungsu yang baru berusia 4 tahun. ”Kadang-kadang, saya sampai gila rasanya. Tiba-tiba keluar tenda dan tidak tahu mau ke mana,” kata Dad Gul, istri Assan, yang masih sedih karena harus melepaskan anak-anaknya.
Rabia (43) juga berusaha keras melupakan hari yang paling menyakitkan saat harus merelakan anaknya, Habibeh (12), pergi. Habibeh seharusnya sudah pindah dan tinggal bersama keluarga calon suaminya empat bulan lalu. Namun, Rabia memohon kepada keluarga calon suami Habibeh agar Habibeh masih diperbolehkan tinggal bersamanya selama satu tahun. Rabia rela mengembalikan uang sebesar 550 dollar AS (Rp 7,7 juta), harga Habibeh, jika saja ia memiliki uang untuk menghidupi keluarganya.
Anak laki-laki Rabia yang baru berusia 11 tahun hanya bisa mendapatkan upah 50 sen setiap hari dengan bekerja pada tukang roti. Ada juga anak laki-lakinya yang berusia 9 tahun ikut membantu mencari uang dengan menjadi pemulung sampah dan mendapat upah 30 sen. ”Sebagai ibu, tentu saja saya sedih, tetapi saya harus menyelamatkan anak-anak laki-laki saya,” kata Rabia.
Sesepuh di kamp penampungan sementara, Abdul Rahim Akbar, berusaha semaksimal mungkin membantu menyelamatkan tetangga-tetangganya agar tidak perlu mengambil pilihan yang menyakitkan itu. Ia kerap membagikan sedikit roti kepada keluarga-keluarga yang paling miskin. Ia sering melihat bapak menjual anak perempuannya, termasuk adik laki-lakinya sendiri. Ia juga pernah meminta pertolongan kepada kelompok Taliban, tetapi tak kunjung datang.
Gubernur Provinsi Badghis dalam pemerintahan sementara Taliban, Maulvi Abdul Sattar, mengatakan, pernikahan anak ini karena persoalan ekonomi dan bukan karena aturan dari emirat Islam atau hukum syariah.
Bahkan, di kamp-kamp di luar wilayah Badghis, pernikahan anak juga banyak. Di luar Herat, kota terbesar ketiga di Afghanistan, banyak orangtua yang frustrasi dan menyesal karena menjual anak-anaknya. ”Saya menjual anak perempuan saya yang baru berumur 10 tahun. Saya tidak akan mungkin melakukannya jika ada pilihan lain,” kata buruh tani, Allahudin, yang juga berencana menjual anaknya yang berusia 5 tahun.
Jika saja ada pilihan lain untuk bisa bertahan hidup, anak-anak perempuan tidak akan dijual orangtuanya dan tidak akan dipaksa menikah dini. Baz Muhammad mengaku merasa sudah gagal menjadi orangtua dan kepala keluarga karena tidak mampu menghidupi keluarganya. ”Saya sadar ini, tetapi tak ada yang bisa dilakukan. Daripada kami semua mati,” ujarnya. (AFP)