Semeja Dengan Barat, Taliban Minta Pencairan Aset Bank Sentral Afghanistan
Taliban bertemu dengan sejumlah diplomat dari beberapa negara Barat. Dalam pertemuan yang diselenggarakan Pemerintah Norwegia tersebut, Taliban antara lain meminta pencairan aset guna membiayai Afghanistan.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
OSLO, SENIN – Delegasi Taliban menggelar pertemuan penting pertama mereka dengan para di diplomat Barat di Oslo, Norwegia, Senin (24/1/2021), untuk membahas krisis kemanusiaan di Afghanistan. Komunitas internasional bersikeras bahwa Taliban harus menghormati hak asasi manusia dan membentuk pemerintahan yang inklusif sebelum bantuan diberikan.
Dalam kunjungan selama tiga harinya itu, Taliban bertemu dengan sejumlah kalangan. Delegasi Taliban tiba di Oslo pada Minggu (23/1) dini hari WIB dengan menggunakan pesawat yang dicarter oleh Pemerintah Norwegia, selaku tuan rumah yang mensponsori pertemuan. Delegasi Taliban dipimpin Menteri Luar Negeri Interim, Amir Khan Muttaqi.
Pertemuan Taliban dengan para diplomat utusan dari Amerika Serikat (AS), Perancis, Inggris, Jerman, Italia, dan Uni Eropa itu digelar secara tertutup di sebuah hotel di pegunungan yang tertutup salju di luar kota Oslo. Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, sebelum pertemuan, mengatakan, Taliban mengharapkan pertemuan itu membantu "mengubah suasana perang menjadi situasi damai".
Sebelum bertemu dengan Taliban, para diplomat Barat bertemu dengan anggota masyarakat sipil Afghanistan, termasuk aktivis perempuan dan wartawan, yang sehari sebelumnya, Minggu, mengadakan pembicaraan dengan Taliban tentang hak asasi manusia (HAM). Salah seorang aktivis hak-hak perempuan, Jamila Afghani, yang hadir mengatakan, "itu adalah pertemuan pemecah kebekuan yang positif" di mana Taliban "menunjukkan niat baik". Namun masih harus dilihat tentang tindak lanjut Taliban kemudian.
"Taliban mengakui kami dan mereka mendengar kami. Saya berharap ini adalah semacam upaya untuk saling memahami satu sama lain", kata aktivis perempuan lain, Mahbouba Seraj, kepada wartawan.
Sementara sejumlah perempuan di Afghanistan merasa telah dikhianati oleh Norwegia, negara Barat pertama yang menjadi tuan rumah bagi kelompok Taliban. Sejumlah aktivis perempuan yang selama ini mengalami intimidasi oleh Taliban melakukan protes. Mereka marah dengan upaya diplomatik ke Oslo itu.
"Saya minta maaf kepada negara seperti Norwegia, yang mengorganisasi pertemuan itu karena telah duduk dengan teroris dan membuat kesepakatan. Saya sangat sedih. Malu pada dunia karena menerima ini dan membuka pintu bagi Taliban," " kata Wahida Amiri, seorang aktivis yang telah melakukan protes secara reguler di Kabul sejak kembalinya Taliban.
Dalam pertemuan dengan para diplomat Barat, Senin kemarin, Taliban menuntut pencairan dana 9,5 milliar dollar AS atau sekitar Rp 136,4 triliun yang merupakan aset Da Afghan Bank atau Bank Sentral Afghanistan. Muttaqi memuji pertemuan yang ia sebut berlangsung baik itu. Namun dia tidak merinci bagaimana dengan permintaan pencairan aset Bank Sentral Afghanistan.
"Kesempatan yang diberikan Norwegia kepada kami ini merupakan pencapaian tersendiri karena kami berbagi panggung dengan dunia. Dari pertemuan-pertemuan ini kami yakin akan mendapatkan dukungan untuk sektor kemanusiaan, kesehatan, dan pendidikan Afghanistan," katanya kepada wartawan.
Aset Afghanistan tersebut telah dibekukan oleh AS dan juga oleh negara-negara Barat lainnya sejak Taliban mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang didukung Barat, 15 Agustus 2021. Sejak itu pula situasi kemanusiaan di Afghanistan memburuk secara drastis. Penghentian bantuan memperburuk keadaan jutaan orang yang sudah menderita kelaparan akibat kekeringan dan perang.
“Kami meminta mereka (Barat) mencairkan aset Afghanistan dan tidak menghukum rakyat biasa Afghanistan hanya karena wacana politik. Karena kelaparan di tengah musim dingin yang mematikan, saya pikir sudah saatnya bagi komunitas internasional mendukung warga Afghanistan, bukan menghukum mereka karena masalah politik,” kata anggota delegasi Taliban, Shafiullah Azam, Minggu (23/1) malam usai menggelar pertemuan dengan warga Afghanistan yang berada di Norwegia.
Thomas West, Perwakilan Khusus AS untuk Afghanistan, mencuit di Twitter, "Ketika kami berusaha untuk mengatasi krisis kemanusiaan bersama dengan sekutu, mitra, dan organisasi bantuan, kami akan melanjutkan diplomasi secara jernih dengan Taliban mengenai keprihatinan kami dan perhatian kami yang tetap pada Afghanistan yang stabil, menghormati hak, dan inklusif."
Sampai saat ini, belum ada negara yang mengakui pemerintahan Taliban. Norwegia yang menjadi tuan rumah pertemuan tersebut menjadi sasaran kritik tajam dari para pengamat dan komunitas diaspora Afghanistan. Namun, Oslo mengatakan, pertemuan itu tidak untuk melegitimasi pemerintahan Taliban.
Pertemuan ini tidak sama dengan legitimasi atau pengakuan terhadap Taliban.
”Pertemuan ini tidak sama dengan legitimasi atau pengakuan terhadap Taliban. Namun, kita perlu berbicara dengan otoritas de facto (Taliban) di negara ini (Afghanistan). Kita tidak bisa membiarkan situasi politik mengarah pada bencana kemanusiaan yang lebih buruk lagi,” kata Menteri Luar Negeri Norwegia Anniken Huitfeldt, Jumat (21/1/2022).
Di Afghanistan, jumlah pengangguran menggelembung. Gaji pegawai negeri belum dibayar selama berbulan-bulan. Situasi ini diperburuk oleh perang dan bencana kemarau panjang. Belakangan situasi semakin memprihatinkan karena ancaman bencana musim dingin.
PBB mengatakan, bencana kelaparan mengancam 23 juta warga atau 55 persen dari total populasi Afghanistan. PBB mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan yang mendesak bagi warga Afghanistan mencapai 4,4 miliar dollar untuk mengatasi krisis kemanusiaan.
Di hari terakhir, Selasa ini, delegasi Taliban menggelar pertemuan bilateral dengan pejabat Pemerintah Norwegia. Komunitas internasional saat ini sedang menunggu untuk melihat bagaimana cara Taliban berniat untuk memerintah setelah dituduh menginjak-injak hak asasi manusia selama masa kekuasaan pertama mereka antara tahun 1996 dan 2001. Komunitas internasional mengharapkan Taliban segera membentuk pemerintah yang inklusif, yang tidak saja merangkum kelompok etnis minoritas suku dan agama, tetapi juga kaum perempuan.
Namun, Taliban belum sepenuhnya mengakomodasi perwakilan perempuan. Bahkan, sejak kembali berkuasa, Taliban memberlakukan pembatasan luas kepada masyarakat, yang umumnya ditujukan kepada perempuan. Sementara itu, pekan lalu, dua aktivis hak-hak perempuan, yakni Tamana Zaryab Paryani dan Parawana Ibrahimkhel, diculik Kabul. ”Kami mendesak Taliban untuk memberikan informasi tentang keberadaan mereka dan melindungi hak-hak semua warga Afghanistan,” cuit Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) Twitter, Sabtu.
Taliban telah membantah terlibat dalam penghilangan mereka. Namun, seorang saksi mata mengatakan bahwa setidaknya sepuluh orang bersenjata yang mengaku sebagai anggota intelijen Taliban masuk ke sebuah apartemen di Kabul, Rabu lalu. Mereka menangkap Tamana Zaryab Paryani dan tiga saudara perempuannya. Aktivis hak-hak perempuan mengunggah video di media sosial sesaat sebelum mereka dibawa pergi. Dikatakan, Taliban menggedor pintunya. Paryani termasuk di antara sekitar 25 wanita yang ambil bagian dalam protes anti-Taliban akhir pekan lalu.(AFP/AP/REUTERS)