Perhitungan Putin Diduga Meleset, Terkesan Tanpa Strategi Keluar
Invasi militer Rusia ke Ukraina, yang telah berubah menjadi perang yang mematikan dan mungkin akan berlangsung lama, diduga di luar skenario Moskwa.
Harian Kompas edisi Selasa (8/3/2022) melaporkan tentang perkembangan terbaru yang mengejutkan terkait serangan Rusia atas Ukraina. Diberitakan, Ukraina kemungkinan besar akan menjadi ”surga baru” bagi milisi bayaran dari mancanegara, seperti Suriah dan Libya.
Para pialang perang Suriah dikabarkan mulai aktif beroperasi di Damaskus dan wilayah lain Suriah. Mereka merekrut para pemuda Suriah untuk membantu Rusia dalam perang di Ukraina dengan sandi “Pangkalan Khmeimim" – pangkalan militer Suriah barat, yang dikendalikan Rusia sejak 2015.
Milisi bayaran itu, sekitar 23.000 orang, telah menanda-tangani kontrak dengan gaji sekitar 7.000 dollar AS atau sekitar Rp 100 juta untuk masa tujuh bulan operasi di Ukraina. Tugas utama mereka di Ukraina adalah menjaga tempat-tempat strategis di sejumlah kota yang telah direbut pasukan Rusia.
Baca juga: Tawaran Resolusi Konflik Ukraina
Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri dalam pidatonya, Kamis (24/2/2022), saat dia memutuskan untuk memulainya “operasi militer khusus” di Ukraina, telah menegaskan bahwa ”Rencana kami tidak termasuk pendudukan Ukraina. Kami tidak bermaksud memaksakan apa pun pada siapa pun dengan paksa.”
Namun, apa yang terjadi jika pada akhirnya Rusia terpaksa mengerahkan milisi bayaran dari Suriah untuk menghadapi resisteni yang kuat dari Ukraina? Hampir pasti pula perang akan semakin dalam dan lama. Rencana pelibatan milisi Suriah selama tujuh bulan – mungkin saja diperpanjang – bisa membuat situasi di Ukraina menjadi semakin buruk dan tidak terkendali.
Dari beberapa komunikasi sebelumnya, memang agak sulit melihat kesesuaian antara pernyataan atau penegasan verbal Moskwa dengan fakta yang terjadi setelahnya. Ada banyak buktinya. Ketika terjadi penumpukan pasukan Rusia di dekat perbatasan, Moskwa bolak-balik mengeluar bantahan tentang adanya rencana menyerang Ukraina.
Latihan perang antara Rusia dan Belarus, serta latihan solo Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam juga dikhawatirkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sebagai gladi bersih atau persiapan akhir untuk serangan ke Ukraina. Namun, Moskwa menyangkalnya dengan mengatakan “tak ada niat semacam itu”.
Tetapi apa yang terjadi pada Kamis, 24 Februari 2022, Rusia menyerang Ukraina dengan cepat di sejumlah kota sehingga kini memicu perang yang mematikan dan menghancurkan. Apakah pernyataan “Rencana kami tidak termasuk pendudukan Ukraina” akan terbukti ataukah sebaliknya, perjalanan waktu akan membuktikan.
Nah, mungkin saja Rusia takkan menduduki Ukraina atau malahan terjadi sebaliknya, tentu saja jika menang, mendirikan pemerintahan militer melawan apa yang disebut Putin sebagai “geng pecandu narkoba dan neo-Nazi” di Kiev. Ini memang tidak mudah karena Kiev dipastikan terus melawan, termasuk akan didukung 20.000 relawan perang dari 52 negara, seperti dilaporkan Kyiv Independent, Minggu (6/3/2022).
Sejak Putin berkuasa pada tahun 2000, para pemimpin Barat telah mencoba bekerja sama, mengakomodasi, atau bernegosiasi dengannya. Namun ketika Putin menyerang Ukraina, yang disebutnya sebagai "bangsa bersaudara" atau "satu Rusia", sebagian dunia melihat dia apa adanya, yakni sebagai panglima perang yang semakin tidak berkompromi.
Beberapa analis mengatakan, “operasi militer khusus” Putin di Ukraina kemungkinan besar telah berjalan tidak sesuai skenario awal. Reportase dari lapangan atau medan perang, meja diplomasi, kedukaan keluarga korban tewas, dan para pengungsi yang terjadi bergelombang tampak membuat konflik Rusia-Ukraina kian tak berujung.
Baca juga: Menyikapi Ketidakpastian Ujung Perang Rusia-Ukraina
Di lapangan, pasukan Rusia menghadapi perlawanan sengit dari militer Ukraina yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Tentara Rusia harus berulang kali melakukan regrouping; mereka tampaknya telah kehilangan momentum untuk mewujudkan skenarionya dengan cepat, dikutip dari Reuters, Sabtu lalu.
Sejak awal para analis memperkirakan beberapa skenario yang akan dilakukan Putin dalam menyerang Ukraina, yakni didahului penyerangan masif serempak di seluruh kota. Kemudian Kiev diserbu dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Volodymyr Zelenskyy, yang dicap sebagai “rezim neo-Nazi” dan pro-Barat. Lalu, Moskwa menggantikannya dengan rezim boneka yang pro-Rusia.
Kemungkinan itu tidak mustahil, tetapi untuk mewujudkannya bakal tergantung pada beberapa faktor. Misalnya, pasukan Rusia harus menguasai kawasan-kawasan kunci dan kota strategis, pengerahan banyak personel, seta semangat tempur pasukan Ukraina memudar.
Jika skenario itu bisa terwujud, entah bagaimana dengan nasib Zelenskyy dan negara Ukraina. Entahkan Zelenskyy ditangkap, dibunuh, atau melarikan diri dengan membentuk pemerintahan di pengasingan. Ukraina akan menjadi negara yang tunduk kepada Rusia, bukan Barat lagi. Namun, skenario itu belum terwujud.
Perlawanan Ukraina semakin kuat dan mampu memperlambat pergerakan tentara Rusia meski sudah berehasil merebut kota Kherson. Dukungan persenjataan Barat yang terus mengalir ke Ukraina, serta akan datangnya puluhan ribu relawan asing dalam waktu dekat ke Ukraina, diperkirakan akan menyulitkan Rusia dan itu luar perhitungan Rusia.
Menurut Thomas L Friedman, kolumnis The New York Times dan pemenang tiga Pulitzer, Putin tidak memiliki kemampuan memasang rezim-boneka di Kiev tanpa dukungan militer yang kuat dan dengan jumlah militer yang telah dilipatgandakan. "Rezim pro-Rusia itu bakal menghadapi pemberontakan permanen dari Ukraina," kata Friedman dalam ulasannya di harian itu, 1 Maret 2022.
Baca juga: Semakin Kuat Barat Menekan, Rusia Semakin Nekat
Untuk menghadapinya, Rusia mau tidak mau harus memperbanyak jumlah tentara profesionalnya di Ukraina. Friedman belum menghitung kemungkinan masuknya milisi bayaran dari Suriah atau wilayah Timur Tengah lainnya. Memang jumlah tentara Rusia jauh lebih besar dibandingkan dengan Ukraina, tetapi akan tetap sulit menghadapi Ukraina.
Besar kemungkinan Putin tidak memiliki strategi keluar dari keputusannya memerangi Ukraina. “Sungguh mengerikan betapa sedikit yang dipikirkan Putin tentang bagaimana perangnya berakhir. Semoga Putin hanya termotivasi oleh keinginan untuk menjauhkan Ukraina dari NATO,” kata Friedman merujuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Pandangan tentang ketiadaan strategi keluar dari keputusan invasi Putin itu juga diungkap oleh Muhadi Sugiono, Dosen Kajian Eropa di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Perlawanan rakyat Ukraina dan dukungan internasional terhadap Ukraina nampaknya tidak diperhitungkan oleh Putin.
“Putin sepertinya tidak memiliki exit strategy. Jadi dengan terus dilakukannya serangan terhadap Rusia lebih menunjukkan ketiadaan exit strategy dalam rencana Putin daripada adanya tujuan spesifik,” kata Muhadi.
Ketiadaan strategi keluar ini secara sederhana dapat dikatakan: kepalang tanggung, sudah basah ya basah sekalian. Menurut para analis, militer Rusia yang tidak menduga akan mendapat perlawanan sengit, terpaksa harus didukung oleh kehadiran milisi asing bayaran dari Suriah atau Timur Tengah. Perang Putin di Ukraina akan memakan biaya sangat besar.
Apa yang terjadi kemudian? Perang berkelanjutan yang semula diduga tidak diantisipasi dari awal, bakal menjadi skenario paling buruk yang bisa memukul Rusia. Tentara Rusia akan sulit menemukan jalan pulang dalam waktu cepat.
Tentara Rusia akan terjebak dalam masa berperang yang tidak menentu, bisa berlangsung untuk waktu yang lama. Kecuali jalur diplomasi tingkat tinggi dapat berjalan dengan melewati jalan yang terjal. Diplomasi bukanlah durian runtuh, tapi harus diperjuangkan. Sementara di Rusia, rakyat menjerit dalam diam karena tekanan sanksi internasional. Hampir pasti mereka akan ditangkap jika membuka suara atau menggelar aksi protes terhadap Putin.
Selama berbulan-bulan, banyak analis, komentator, dan warga Rusia yakin Putin tidak akan terlibat dalam tindakan agresi seperti di Ukraina saat ini. Kini, berita perang dan konsekuensi ekonomi yang mengikutinya di dalam negeri Rusia telah membuat masyarakat Rusia melihat Putin secara berbeda. Muncul elite politik dan bisnis sekutu Putin yang menentang invasi.
Andrea Kendall-Taylor, Direktur Program Keamanan Transatlantik di Center for a New American Security dan Erica Frantz, Associate Professor Ilmu Politik di Michigan State University, mengatakan, Putin akan mampu bertahan dari reaksi domestik apa pun.
Menurut mereka, dalam rezim otoriter personalis, di mana kekuasaan terkonsentrasi di tangan seorang individu – ketimbang di tangan parpol, junta militer, atau keluarga kerajaan – seorang pemimpin akan jarang digulingkan dari jabatannya karena perang, sekalipun mereka kalah perang. Itu karena elite tidak cukup kuat meminta pertanggungjawaban sang diktator dan publik lokal memiliki sedikit peluang menghukum para pemimpin atas tindakan mereka.
“Putin telah mengambil risiko besar ketika menyerang Ukraina. Ada kemungkinan yang bisa membahayakan kepemimpinannya,” kata Kendall-Taylor dan Frantz, dalam tulisan mereka di Foreign Affairs, 2 Maret 2022. Kendall-Taylor juga mantan pejabat intelijen nasional untuk Rusia dan Eurasia di National Intelligence Council AS (2015-2018).
Memprediksi kejatuhan seorang pemimpin otoriter karena perang mungkin sebuah kesalahan besar. Otokrat yang lemah dan diperangi sekalipun masih dapat bertahan lebih lama dari yang diperkirakan para analis. Mantan Presiden Zimbabwe Robert Mugabe selamat dari hiperinflasi dan kekalahan pemilu, tetap berkuasa sampai dua tahun sebelum kematiannya.
Presiden Venezuela Nicolás Maduro tetap menjabat, meskipun ekonomi Venezuela benar-benar hancur. Demikian pula, pemimpin yang tampak kuat bisa tiba-tiba digulingkan, seperti yang terjadi pada mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak pada 2011 dan Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali pada tahun yang sama.
Menurut Fiona Hill, salah satu pakar kawakan Rusia di Amerika Serikat, Ukraina kini menjadi garis terdepan dalam perjuangan, tidak hanya antara demokrasi dan otokrasi. Tetapi dalam perjuangan mempertahankan sistem berbasis aturan di mana hal-hal yang diinginkan oleh suatu negara tidak diambil dengan paksa oleh negara lain.
“Setiap negara di dunia harus memperhatikan hal ini,” kata Hill dalam dalam sebuah wawancaranya dengan media Politico, 28 Februari 2022.
Baca juga: Alasan Ukraina Hindari Rusia dan Pilih Bersandar ke Barat
Seperti apa akhirnya perang Rusia-Ukraina, belum dapat dipastikan. Penandatanganan gencatan senjata untuk pertama kalinya pada Selasa (8/2/2022) antara Ukraina-Rusia, selama sehari diharapkan membuka kemungkinan untuk negosiasi damai yang permanen untuk ke depannya.
Putin mengatakan, dikutip TASS, Selasa, operasi militer akan diteruskan tanpa melibatkan wajib militer dan pasukan cadangan. "Misi hanya dilakukan oleh pasukan profesional." Putin menyatakan keyakinannya bahwa "mereka akan teguh dalam memberikan keamanan dan perdamaian bagi rakyat Rusia."
Putin berbicara kepada ibu, istri, saudara perempuan, pengantin dan pacar tentara dan perwira Rusia "yang sekarang berperang membela Rusia selama operasi militer khusus." "Anda bisa bangga pada mereka sama seperti seluruh negara bangga pada mereka dan bersama-sama Anda mengkhawatirkan mereka."