Menyikapi Ketidakpastian Ujung Perang Rusia-Ukraina
Alih-alih perang surut, kekhawatiran soal ancaman penggunaan senjata nuklir oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dalam menanggapi sanksi-sanksi ekonomi oleh Barat tidak bisa dikesampingkan.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi keras terhadap Rusia. Implikasinya sangat besar. Demikian ditulis The Economist dalam salah satu laporan utamanya, Sabtu (5/3/2022). Ujung dari perang Rusia-Ukraina hingga memasuki hari ke-11, Minggu (6/3/2022), belum terlihat. Alih-alih perang surut, kekhawatiran soal ancaman penggunaan senjata nuklir oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dalam menanggapi sanksi-sanksi ekonomi oleh Barat tidak bisa dikesampingkan.
Seperti diwartakan harian ini, banyak perusahaan asing dan internasional langsung menarik bisnis mereka dari Rusia. Apple, misalnya, mengumumkan akan berhenti menjual iPhone dan produk populer lainnya di Rusia. Boeing dan Airbus menghentikan suplai suku cadang pesawat dan layanan bagi maskapai penerbangan Rusia.
Barat juga mengambil tindakan terhadap bank sentral Rusia, mengakibatkan bank tersebut tidak dapat memperoleh akses ke sebagian besar cadangan devisanya senilai 630 miliar dollar AS. Keyakinan pasar pun menguap. Warga mengantre hingga di luar bank-bank untuk menarik dananya. Perusahaan multinasional siap-siap cabut. Nilai mata uang rubel telah jatuh sebesar 28 persen tahun ini akibat modal yang ditarik dan dialihkan keluar negara itu. Indeks saham Rusia rontok 90 persen di pasar luar negeri. Kekacauan membayangi perekonomian Rusia yang nilainya mencapai 1,6 triliun dollar AS.
Putin bisa melancarkan balasan setiap saat, mulai dari menghentikan aliran gas negaranya ke Eropa hingga yang paling ekstrem menggunakan senjata nuklir. Merespons tindakan Moskwa, Barat juga menyiapkan tindak balasan berikutnya. Semangat kedua pihak adalah saling merespons dengan tindakan yang bisa jadi lebih merusak dan tidak rasional.
Implikasi jangka panjang dari situasi ini akan menakutkan. Semakin banyak aksi balas itu berlanjut, bakal semakin banyak pula negara akan berusaha menghindari ketergantungan pada keuangan Barat. Hal ini akan membuat ancaman pengucilan, seperti yang dilakukan terhadap Rusia saat ini, menjadi kurang kuat. Selain itu, situasi tersebut akan mengarah pada fragmentasi ekonomi dunia yang berbahaya.
Beban ekonomi Asia
Tim riset Morgan Stanley dalam laporan yang dikeluarkan sehari sebelum Rusia menyerang Ukraina menyatakan, risiko bagi ekonomi Asia akan muncul jika harga minyak terus naik karena ketegangan geopolitik secara tajam dan berkelanjutan. Ada tiga saluran utama penanda ketegangan geopolitik akan membebani prospek ekonomi makro Asia, yaitu melalui berlanjutnya kenaikan harga minyak dan komoditas lain, kondisi keuangan dan kepercayaan perusahaan, serta aktivitas perdagangan.
Dalam konteks dinamika hal-hal itu, pembuat kebijakan di negara-negara akan lebih fokus pada risiko penurunan pertumbuhan. Mereka juga akan menggunakan kebijakan fiskal terlebih dahulu untuk mengatasi masalah-masalah terkait hal itu.
Ketegangan geopolitik yang berlanjut akan menghasilkan dorongan stagflasi bagi ekonomi Asia, di mana permintaan akan melemah, tetapi harga-harga lebih tinggi. Harga minyak yang lebih tinggi seolah akan ”bertindak” sebagai pajak atas pendapatan rumah tangga sehingga menghambat pertumbuhan konsumsi. Korporasi akan menghadapi permintaan yang lebih lemah, kondisi keuangan yang lebih ketat dengan biaya pendanaan lebih tinggi, dan erosi margin keuntungan perusahaan.
Diproyeksikan, jika harga minyak naik sebesar 20 dollar AS per barel selama 12 bulan ke depan plus kondisi geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina tidak stabil, disertai dengan pengetatan lebih lanjut di pasar keuangan global, pertumbuhan ekonomi Asia bisa tertekan hingga 25-50 basis poin.
Sejumlah negara berancang-ancang mengantisipasi situasi tersebut. China pada Sabtu (6/3/2022) memasang target pertumbuhan ekonominya tahun ini sekitar 5,5 persen setelah mampu tumbuh hingga 8,1 persen sepanjang tahun lalu. Mengantisipasi prospek pertumbuhan ekonomi yang melemah, bank sentral di negeri itu memangkas suku bunga. Langkah lain yang disiapkan Beijing untuk menjaga momentum pertumbuhan adalah mempercepat pengeluaran infrastruktur di daerah dan menjanjikan lebih banyak pemotongan tarif pajak.
Di Washington, Gubernur The Federal Reserved Jerome Powell tengah pekan lalu menyatakan, dampak konflik di Ukraina pada ekonomi AS sangat tidak pasti. Dalam kondisi seperti ini, ia menyatakan, The Fed perlu bergerak dengan hati-hati untuk menahan kenaikan inflasi dan memastikan pemulihan berlanjut. Hal utama terkait upaya kehati-hatian itu adalah langkah menaikkan suku bunga yang dijadwalkan dilakukan mulai Maret ini.
”Efek jangka pendek pada ekonomi AS dari invasi ke Ukraina, perang yang sedang berlangsung, sanksi, dan peristiwa yang akan datang, tetap sangat tidak pasti,” kata Powell dalam keterangan setengah tahunan di depan Kongres, seperti dikutip Reuters. ”Kami akan memantau situasi dengan cermat.”
Beberapa pejabat The Fed telah menyerukan langkah yang lebih agresif dalam pertemuan untuk menetapkan kebijakan, 15-16 Maret mendatang. Muncul usulan agar suku bunga dinaikkan sebesar setengah poin persentase. Namun, dalam pernyataan langsung yang tidak biasa, Powell mengatakan kepada anggota parlemen, ”Saya cenderung mengusulkan dan mendukung kenaikan suku bunga 25 basis poin untuk langkah pertama dalam serangkaian kenaikan.”