Putin Bisa Jadi Target ICC Terkait Kejahatan Perang di Ukraina
Jaksa ICC sedang mengumpulkan bukti tentang kejahatan kekerasan di Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin berpotensi didakwa atas kejahatan perang dan terhadap kemanusiaan.
Salah satu poin pidato Presiden Rusia Vladimir Putin, 24 Februari 2022, saat memutuskan untuk menggelar operasi khusus ke Ukraina, menyebutkan, ”Rencana kami tidak termasuk pendudukan Ukraina.” Invasi Rusia itu kini telah memicu perang yang mematikan dan menghancurkan karena perlawanan sengit dari Ukraina.
Empat hari kemudian, 28 Februari, Kepala Jaksa Penyidik Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) Karim Khan mengumumkan niatnya untuk menyelidiki dugaan kejahatan kekejaman di Ukraina. Dia meminta komunitas internasional untuk memberikan bantuan keuangan, logistik, dan tenaga guna mempercepat penyelidikan atas kejahatan kekejaman berat di Ukraina.
Kejahatan kekejaman berat meliputi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi Geneva 1949, yang diratifikasi semua anggota PBB, termasuk Rusia, mengatakan, kejahatan perang meliputi pembunuhan disengaja, penyiksaan atau pelecehan, penghancuran dan perampasan properti, penyanderaan, deportasi, dan penahanan secara tidak sah.
Baca juga: Mencari Celah Pendekatan Kemanusiaan untuk Konflik Rusia-Ukraina
Dalam Statuta Roma 1998, kejahatan perang termasuk tindakan sengaja mengarahkan serangan terhadap populasi warga sipil atau individu yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran. Begitu juga serangan atau pengeboman terhadap kota, desa, tempat tinggal, atau bangunan-bangunan sipil yang dilakukan dengan sengaja.
Menurut statuta, jenis bangunan tertentu, seperti rumah sakit atau tempat ibadah dan pendidikan, tidak boleh diserang dengan sengaja. Statuta juga melarang penggunaan beberapa jenis senjata tertentu dan gas beracun di dalam pertempuran.
Sementara itu, ICC akan menyelidiki dugaan kekerasan kekejaman berat yang terjadi di Ukraina sejak 21 November 2013 saat dimulainya protes Euromaidan terhadap pemerintahan Presiden Ukraina saat itu, Viktor Yanukovych, yang pro-Rusia. Seruan akhirnya ialah menuntut Yanukovych mundur. Selain itu, penyelidikan juga terkait kekerasan di Crimea dan wilayah Donbas, serta perang Rusia-Ukraina saat ini.
Namun, bagaimana mungkin pengadilan internasional memiliki yurisdiksi atas Ukraina dan Rusia karena keduanya bukan negara anggota ICC? Kejahatan apa yang akan dipertimbangkan pengadilan? Mungkinkah Presiden Rusia Vladimir Putin dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas peran dalam krisis Ukraina?
ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998, yang telah diratifikasi oleh 123 negara, kecuali, antara lain, oleh Rusia dan Ukraina. Perjanjian itu menetapkan yurisdiksi pengadilan atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan agresi. Namun, bagaimana dengan Ukraina dan Rusia yang tidak meratifikasi statuta tersebut?
Lembaga ICC ditugaskan untuk meminta pertanggungjawaban individu yang terlibat tindak pidana atau kriminal, misalnya, tentara dan pemberontak atau milisi. Peran ICC sangat berbeda dengan, misalnya, Mahkamah Internasional (ICJ) yang menyelesaikan perselisihan antarnegara berdasarkan hukum internasional.
Baca juga: Rusia Perkuat Cengkeraman atas Ukraina
Kiev telah mengajukan petisi ke ICJ, meminta badan kehakiman utama PBB itu menetapkan bahwa tak ada alasan hukum Rusia menyerang Ukraina. Moskwa menuduh Kiev telah melakukan serangan genosida terhadap etnis Rusia sebagai alasan invasi. Kiev menuduh Moskwa telah merencanakan serangan genosida untuk menghancurkan Ukraina dan menghapus identitas bangsa itu.
ICJ bisa memerintahkan Rusia menghentikan semua aksi militer, membayar ganti rugi atas kerusakan kepada Ukraina, dan berjanji tidak akan menggunakan kekerasan atas Ukraina. Jika kasusnya selesai, tak akan ada yang masuk penjara, kecuali terjadi di pengadilan pidana seperti ICC.
Sementara Karim Khan, seperti dilansir BBC, mengatakan, ICC memulai investigasinya terhadap kejahatan perang di Ukraina setelah Rusia dituduh melancarkan serangan secara membabi-buta kepada warga sipil yang tidak berdosa. ICC kini sedang mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.
Moskwa membantah telah menyasar warga sipil meski reportase dari lapangan menyajikan bukti-bukti tentang jatuhnya korban sipil, termasuk anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia, akibat serangan militer Rusia. ICC akan menyelidiki krisis Ukraina itu atas permintaan dari 39 negara. Namun, sekali lagi ada tantangan, yakni Ukraina dan Rusia bukan anggota ICC.
Biasanya, itu berarti ICC tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan apa pun yang dilakukan di kedua negara. Namun, berdasarkan Pasal 12 Statuta Roma, negara bukan anggota dapat menerima yurisdiksi pengadilan ICC atas lingkup yang telah ditentukan dan disepakati.
Ukraina telah dua kali menerima yurisdiksi ICC. Pertama kali terjadi pada April 2014 untuk menangani tuduhan pelanggaran berat terkait dengan protes Euromaidan tahun 2013 dan 2014. Yurisdiksi ICC itu terjadi pada masa Presiden Ukraina saat itu, Oleksandr Turchynov.
Baca juga: Tawaran Resolusi Konflik Ukraina
Serangan Pemerintah Ukraina terhadap pengunjuk rasa saat itu, yang didokumentasikan oleh kelompok hak asasi manusia, melibatkan penculikan, penahanan sewenang-wenang, pemukulan, penyiksaan, dan pembunuhan. Secara individu dan kolektif, pelanggaran itu, jika dibuktikan di pengadilan, sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Salah satu konsekuensi dari protes dan kekerasan negara berikutnya adalah penggulingan Yanukovych pada Februari 2014 oleh aksi unjuk rasa massa pro-Uni Eropa. Hal ini memicu perlawanan di Crimea dan wilayah Donbas yang meliputi Donetsk dan Luhansk, basis komunitas berbahasa Rusia. Mereka loyalis Yanukovych karena sikapnya yang pro-Rusia.
Putin mengambil ini sebagai kesempatan untuk memasukkan tentaranya ke dalam milisi lokal dan melanjutkan menyerang dan menganeksasi Crimea. Sejak itu, Rusia telah menguasai wilayah Crimea dan mendukung pemberontak di Donetsk dan Luhansk. Putin mendeklarasikan pengakuannya atas kedaulatan dua wilayah itu dalam pidato pada 21 Februari 2022.
Dugaan pelanggaran oleh pasukan Kiev, separatis, dan pasukan Rusia di Crimea mencakup penghilangan paksa, penahanan tidak sah, dan penyiksaan. Dugaan pelanggaran oleh pasukan Kiev dan separatis, termasuk Rusia, di Donbas termasuk pembunuhan dan perlakuan buruk dalam tahanan. Jika terbukti, tindakan itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Kantor jaksa ICC menemukan banyak bukti tentang dugaan kejahatan terkait penahanan oleh kelompok separatis. ”Tindakan mereka lebih parah dan dalam skala yang jauh lebih besar daripada (yang dilakukan oleh) anggota pasukan Pemerintah Ukraina,” kata jaksa ICC.
Perkembangan di Crimea dan Donbas mendorong Ukraina menerima yurisdiksi ICC untuk kedua kalinya pada September 2015. Saat itu Ukraina dipimpin Presiden Petro Poroshenko. Ukraina memberikan otoritas pengadilan atas dugaan kekejaman, mulai 2014 dan seterusnya, tanpa batas akhir.
Baca juga: Putin Perintahkan Pasukan ke Donetsk dan Lugansk
Berhubung ICC menjalankan yurisdiksi atas wilayah, jaksa ICC memiliki yurisdiksi atas siapa pun yang dicurigai melakukan pelanggaran di dalam wilayah itu, terlepas dari kebangsaan mereka. Di Ukraina, itu termasuk orang Rusia dan bahkan Putin. Tidak mengherankan jika Kremlin dengan tegas menolak yurisdiksi ICC atas warga negara Rusia mana pun.
Namun, tahun 2014, Fatou Bensouda, Kepala Jaksa ICC pada saat itu, dengan cepat memulai pemeriksaan pendahuluan yang dia simpulkan pada tahun 2020. Dia menemukan bukti bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan di Ukraina. Namun, dia tidak pernah memulai penyelidikan penuh. Tidak jelas mengapa terjadi demikian.
Khan, yang mulai menjabat sebagai Kepala Jaksa ICC pada Juni 2021, kini telah mengambil tongkat estafet dari Bensouda. Ia akan menilai kejahatan dari pemeriksaan pendahuluan dan kekejaman baru yang dilakukan di Ukraina. Pada dasarnya, Khan melipatgandakan perang skala penuh saat ini ke dalam penyelidikan yang ada.
Dia bisa melakukan ini karena Ukraina tidak menetapkan tanggal akhir ketika menerima yurisdiksi ICC yang kedua pada September 2015. Ketika Khan mengumumkan niatnya untuk menyelidiki kejahatan perang dan kemanusiaan di Ukraina, Menteri Kehakiman Lituania Evelina Dobrovolska secara resmi meminta ICC menyelidiki kejahatan oleh angkatan bersenjata Rusia di Ukraina.
Dobrovolska juga meminta ICC untuk menyelidiki Belarus karena membantu Rusia. Belarus, seperti Rusia, tidak meratifikasi Statuta Roma dan kemungkinan juga akan menentang yurisdiksi pengadilan.
Pasal 15 Statuta Roma membatasi yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi menjadi dua skenario. Dalam skenario pertama, Dewan Keamanan PBB meminta penyelidikan oleh ICC. Ini dikenal sebagai ”rujukan”. Namun, Rusia adalah anggota tetap Dewan Keamanan yang memiliki hak veto dan pasti akan menggunakan hak vetonya untuk menghentikan hal ini terjadi.
Baca juga: Menyikapi Ketidakpastian Ujung Perang Rusia-Ukraina
Dalam skenario kedua, baik negara pelaku maupun negara korban, adalah anggota ICC. Akan tetapi, karena Ukraina dan Rusia bukanlah anggota ICC, tidak mungkin pengadilan dapat menyelidiki Rusia atas kejahatan agresi. Sederhananya, pengadilan tidak memiliki yurisdiksi. Meski demikian, banyak pelanggaran lain yang dapat dan akan diselidiki oleh ICC.
ICC berpotensi mendakwa Putin atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi kemungkinan besar dia tidak akan diadili. Beberapa kepala negara telah berhasil menghindari akuntabilitas di ICC selama bertahun-tahun.
Misalnya, Omar al-Bashir dari Sudan yang didakwa pada tahun 2009 dengan lima tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, dua tuduhan kejahatan perang, dan tiga tuduhan genosida untuk kekerasan di Darfur antara tahun 2003 dan 2008. Namun, dia menghindari pengadilan dan tetap berkuasa selama satu dekade lagi.
Kembali ke Putin dan Rusia, seperti yang dibahas, Kremlin menolak yurisdiksi ICC atas warga negara Rusia. Argumen utamanya, Rusia bukan pihak dalam Statuta Roma. Ini argumen yang sama yang dibuat AS, yang juga bukan merupakan pihak dalam ICC, sehubungan dengan tuduhan penyiksaan dan pelanggaran lainnya oleh militer AS dan CIA selama perang di Afghanistan.
Amerika Serikat juga telah membuat argumen ini atas nama sekutunya Israel, juga bukan anggota, yang dituduh membangun permukiman ilegal di wilayah Palestina, di antara kejahatan lainnya. Jadi, upaya untuk meminta pertanggungjawaban personel Rusia secara kriminal di ICC pasti akan menjadi perjuangan yang berat.
AS telah berjanji untuk meminta pertanggungjawaban Rusia, terutama Putin. Namun, jika mencoba melakukannya melalui ICC, Rusia akan menertawakan AS yang sebelumnya pernah menolak untuk diselidiki terkait perang Afghanistan. Jika pada akhirnya ada orang Rusia yang diadili di ICC atas pelanggaran di Ukraina, kemungkinan itu adalah tentara Rusia, bukan pemimpin mereka.
Baca juga: Sanksi Internasional Kian Menyulitkan Warga Rusia
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam sistem peradilan internasional, seperti halnya dalam sistem peradilan domestik di seluruh dunia, di mana yang berkuasa terlalu sering lolos dari tangan keadilan. Namun, kali ini bisa berbeda. Pada 2 Maret, Khan mengeluarkan pernyataan bahwa dia telah menerima referensi dari 39 negara atau hampir sepertiga dari anggota ICC.
Tanpa rujukan negara, Khan akan membutuhkan persetujuan dari hakim kamar prasidang ICC untuk membuka penyelidikan formal. Di masa lalu, hakim-hakim ini telah menolak untuk mengizinkan investigasi yang sangat kontroversial. Jadi langkah oleh koalisi besar negara-negara anggota ICC ini signifikan.
Tantangan utama bagi keberhasilan ICC hingga saat ini adalah kerja sama para anggota dalam membantu pengadilan menjalankan tugasnya. Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh rujukan masa bersejarah dari minggu ini, anggota ICC melangkah untuk membantu.
Di masa depan, mungkin dukungan mereka dapat mencakup penangkapan dan pemindahan buronan ICC yang mengunjungi negara mereka. Jadi, anggota angkatan bersenjata Rusia, dan bahkan Putin, mungkin masih memiliki hari mereka di pengadilan. (AFP/AP)