Tawaran Resolusi Konflik Ukraina
Krisis Ukraina dapat ditelusuri pada dua kegagalan diplomatik, yakni terkait struktur keamanan dan eksistensi Ukraina itu sendiri. Resolusi konflik bisa dirancang untuk menghasilkan kesepakatan damai yang permanen.
Krisis Ukraina terus memburuk sejak invasi Rusia ke negara itu pada 24 Februari lalu. Kota Kherson di tepi Laut Hitam jatuh. Ibu kota Kiev dibombardir dan kota-kota strategis lainnya diblokade. Sebagian besar infrastruktur vital, termasuk reaktor nuklir Zaporizhzhia, hancur atau rusak dihantam rudal jelajah, roket, dan meriam tembak cepat.
Korban berjatuhan dan pengungsi terus meningkat sejak awal invasi. Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB menyebutkan, lebih dari 330 warga sipil tewas dan hampir 700 orang terluka. PBB, Minggu (6/3/2022), mencatat, 1,5 juta orang mengungsi ke negara tetangga, tidak termasuk yang mengungsi di dalam negeri.
Presiden Rusia Vladimir Putin melancarkan invasi—atau dalam bahasanya dikatakan ”operasi militer khusus”—ke Ukraina pada 24 Februari setelah berminggu-minggu menempatkan lebih dari 100.000 personel militer negaranya di dekat perbatasan Ukraina. Tindakannya telah dikecam oleh hampir seluruh dunia. Moskwa mengatakan, tujuan operasi militer khusus itu adalah untuk demiliterisasi Ukraina, melawan agresi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan menangkap para pemimpin Ukraina yang disebutnya neo-Nazi.
Baca juga : Semakin Kuat Barat Menekan, Rusia Semakin Nekat
Sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyamakan serangan rezim Putin itu dengan invasi Nazi Jerman saat Perang Dunia II. Di mata presiden berusia 44 tahun tersebut, rezim Putin adalah Nazi sesungguhnya. Zelenskyy sendiri adalah seorang Yahudi, warga etnis yang dulu menjadi korban Nazi. Dia mengatakan, serangan brutal Rusia bertujuan menghancurkan Ukraina dan menghapus identitas bangsanya.
Meski Barat terus menghujani Rusia dengan paket sanksi yang semakin keras, semakin detail dan diperluas, Putin masih bergeming. Kepada Presiden Perancis Emmanuel Macron, menurut kantor kepresidenan Perancis, Putin ingin melanjutkan serangan ”sampai akhir”; menuntut demiliterisasi dan netralitas Ukraina.
Chester Crocker, profesor emeritus kajian strategis di Universitas Georgetown, menulis di Foreign Policy bahwa akar langsung dari krisis Ukraina dapat ditelusuri pada dua kegagalan diplomatik. Pertama, terkait struktur keamanan. Kedua, terkait Ukraina itu sendiri.
Pertama, runtuhnya Uni Soviet tahun 1991 menciptakan kekosongan keamanan di sebagian besar Eropa Timur. Tak ada struktur keamanan baru yang dinegosiasikan untuk menggantikannya. Sebaliknya, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berkembang jauh agresif ke Eropa Timur, merangkul sebagian besar negara pecahan Uni Soviet.
Pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan negeri-negeri lain di sebelah barat Rusia tidak pernah terselesaikan. Meminjam kata-kata sejarawan Serhii Plokhii, tidak pernah ada ”penyelesaian politik mengenai ruang pasca-Soviet”. Hal ini menyebabkan jatuhnya sejumlah negara, di antaranya Ukraina, ke dalam area perebutan pengaruh antara Rusia dan NATO.
Baca juga : Alasan Ukraina Hindari Rusia dan Pilih Bersandar ke Barat
Kegagalan kedua terjadi atas pertanyaan spesifik tentang Ukraina. Keutuhan negara penyangga ini terpangkas pada 2014 ketika Rusia merebut Crimea dan mengobarkan perang proksi di wilayah Donbas, meliputi Donetsk dan Luhansk, yang dikuasai kelompok separatis dukungan Rusia. Kini identitas fisik Ukraina dihancurkan Rusia oleh invasi militer. Di mata Kiev, Rusia melanggar Memorandum Budapest 1994 serta Kesepakatan Minsk 2014 dan 2015.
Namun, tidak ada hal efektif yang dilakukan ketika Rusia gagal memenuhi komitmennya. Moskwa malah selalu berusaha untuk memperluas ke Ukraina, wilayah terbesar dari bekas kekaisaran Rusia. Memorandum Budapest 1994 tentang Jaminan Keamanan tidak dipertahankan atau diadaptasi dan tidak juga ditegakkan. Itu ibarat luka bernanah yang dibiarkan terbuka.
Di tengah krisis hari ini, pejabat Rusia dan Barat memilih sejarah yang paling sesuai dengan versi mereka. Versi Rusia: ekspansi NATO ke Eropa Timur adalah pengkhianatan terhadap komitmen Barat untuk tidak melakukannya—dibuat pada saat reunifikasi Jerman dan menjelang pembubaran Soviet.
Posisi Barat dengan tegas menolak argumen itu karena tidak didukung oleh teks hukum apa pun dari periode itu. Barat menolak klaim apa pun dari Rusia untuk memiliki hak atas lingkup pengaruh khusus di antara negara-negara merdeka di ruang pasca-Soviet.
Baca juga: Tiga Kecenderungan Perang Dingin Terulang di Ukraina
Namun, jika isu utama tuntutan Presiden Rusia Vladimir Putin, baik pada pidato 21 Februari yang mengakui kedaulatan Donetsk dan Luhansk maupun dari pidato 24 Februari yang memerintahkan ”operasi militer khusus” ke Ukraina, seharusnya tidak sulit untuk mengakhiri perang. Tinggal diatur pertemuan puncak untuk para pihak membuat kesepakatan baru yang mengakomodasi kepentingan mereka.
Isu keanggotaan NATO
Ukraina, misalnya, sebaiknya menentukan posisinya menjadi negara penyangga atau netral dan tidak bergabung dengan NATO. Di sisi Barat dan NATO, rencana keanggotaan Ukraina di aliansi militer itu dan blok Uni Eropa dibatalkan. NATO juga tak memperluas keanggotaan ke negara-negara bekas Soviet lainnya. Sebagai catatan, sejak 1999, NATO telah memperluas keanggotaannya hingga Ceko, Hongaria, Polandia, Bulgaria, Lituania, Romania, Slowakia, Slovenia, serta—dua negara yang berbatasan dengan Rusia—Estonia dan Latvia.
Sementara dari sisi Moskwa, dilakukan penarikan pasukan Rusia dari Ukraina dan tidak lagi menekan atau menginvasi negara-negara tetangganya. Menjadikan Ukraina negara penyangga yang netral antara kekuatan Barat dan Rusia di Timur bisa menurunkan ketegangan.
Namun, bagaimana dan siapa yang memulainya? Bisakah itu diwujudkan untuk meredam perang? Apakah langkah-langkahnya? Benarkah pintu negosiasi atau dialog sudah tertutup rapat? Meski terlambat, saatnya AS dan Barat berjiwa besar. Mengapa AS selaku pemimpin NATO cenderung menunggu sampai perang menghancurkan segalanya untuk memimpin perundingan?
Selama 10 hari latihan perang Rusia yang berakhir pada 20 Februari 2022, komunikasi diplomatik ke Moskwa hanya dilakukan Perancis, Jerman, dan Inggris. Sementara AS selaku pemimpin NATO tidak melakukannya.
Michael McFaul, dalam opininya di Foreign Affairs, menawarkan solusi untuk menghentikan atau mencegah perang. Pada era Perang Dingin, kesepakatan dengan Uni Soviet dapat dilakukan. Mengapa sekarang tidak? Dialog masih sangat terbuka untuk menghasilkan kesepakatan permanen dan hanya dengan membuat pakta kesepakatan yang komprehensif, eskalasi perang bisa dicegah dan pertempuran dapat dihentikan.
Baca juga : Sepak Terjang Militer Putin, dari Suriah ke Ukraina
Jika Putin mengisyaratkan komitmen untuk bernegosiasi, Biden dan mitra Eropanya seharusnya merespons. Perlu dibuat kesepakatan baru, misalnya Helsinki 2. Perjanjian ini bisa memperbarui Kesepakatan Helsinki yang diteken saat Perang Dingin. Kesepakatan terdahulu itu terbukti dapat menstabilkan Eropa meski persaingan AS-Soviet tumbuh di bagian lain dunia.
Model Finlandia
Upaya mengakhiri krisis Ukraina ini juga bisa dipetik dari pengalaman baik masa lalu. Situs berita Kompas.id mengulas tentang resolusi konflik untuk dunia yang lebih damai yang pernah dimainkan Finlandia di era awal Perang Dingin. Netralitas Finlandia yang diabadikan dalam Perjanjian Perdamaian Moskwa, 10 Februari 1947, itu ternyata terbukti bisa meredakan ketegangan antara Barat dan Timur.
Finlandia sejak itu dijamin tidak akan menghadapi invasi militer Uni Soviet. Setelah NATO dibentuk pada 1949, Finlandia pun memilih untuk tetap berada di luar NATO. Kini Rusia mengisyaratkan ingin membahas status netral Ukraina.
Baca juga : Wacana ”Finlandisasi” Ukraina dan Fakta yang Membuat Putin Kesal
Piagam Paris untuk Eropa Baru pada 1990 yang begitu ambisius telah diadopsi oleh sebagian besar negara Barat, ditambah Kanada, AS, dan Uni Soviet. Semua sepakat untuk ”membangun, mengonsolidasikan, dan memperkuat demokrasi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan negara kita”. Bahkan, mereka menegaskan, ”era konfrontasi dan perpecahan Eropa telah berakhir”.
Begitu juga Memorandum Budapest 1994 tentang Jaminan Keamanan bagi Ukraina, yang diteken Moskwa, London, dan Washington, bahwa mereka menghormati integritas teritorial dan kemerdekaan Ukraina. Undang-Undang Pendiri NATO-Rusia 1997 menetapkan mekanisme bagi kedua pihak untuk berkolaborasi dan ini menandai titik tertinggi dalam kerja sama Timur dan Barat.
Jika tercapai kesepakatan Helsinki 2, hal itu dapat memungkinkan inspektur Rusia untuk mengunjungi situs pertahanan rudal AS di Polandia dan Romania. Juga memungkinkan pemantau NATO dapat memiliki akses serupa ke rudal Iskander Rusia di Kaliningrad. Moskwa dan Washington dapat lebih meningkatkan transparansi dengan mengaktifkan pakta Kekuatan Konvensional Eropa (CFE).
Untuk menghindari kesalahan perhitungan yang berbahaya, kedua kekuatan juga harus bekerja untuk menghidupkan kembali Dokumen Vienna. Itu berarti Rusia dan setiap negara NATO harus menawarkan pemberitahuan khusus tentang pelatihan dan memberlakukan batasan baru pada skala dan lokasi latihan karena latihan tampak mirip dengan perencanaan serangan yang sebenarnya.
Kesalahan AS/Barat
Muhadi Sugiono, dosen Kajian Eropa di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, mengatakan, NATO sebaiknya memberikan jaminan bahwa Ukraina tidak akan menjadi anggota NATO. Invasi besar-besaran terjadi karena Barat menolak tuntutan Moskwa yang bertujuan menaklukkan Ukraina dan menggantikan rezim Kiev yang pro-Rusia atau menghancurkan Ukraina.
Sebuah resolusi konflik bisa dirancang. Namun, perundingan bisa berhasil jika kedua belah pihak berangkat dari kepentingan yang bisa dinegosiasikan, sementara hal prinsip sering kali tidak. Oleh karena itu, menurut Muhadi, kesalahan AS dan sekutu Baratnya dengan mengabaikan tuntutan Putin, telah menjadi batu sandungan bagi upaya untuk melakukan resolusi konflik.
Baca juga : Latihan Perang Berakhir, Putin Pilih Invasi Ukraina atau Tidak
Menurut Muhadi, ketika akhirnya konflik bersenjata pecah, jalan menuju resolusi konflik menjadi lebih terjal. Namun, perundingan bisa berhasil jika kedua belah pihak berangkat dari kepentingan yang bisa dinegosiasikan, yang mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak, seperti tecermin dengan jelas di seluruh perundingan perdamaian yang pernah dilakukan di masa lalu.
Salah satunya, misalnya, adalah perjanjian Camp David 1978. Israel menuntut jaminan keamanan, sementara Mesir menuntut kembalinya wilayah Tepi Barat, Sungai Jordan, dan Jalur Gaza. Perjanjian Camp David memperhatikan dan memenuhi tuntutan kedua belah pihak. ”Sayang sekali, ruang ke arah ini sudah tertutup sejak awal, saat Rusia belum melancarkan aksinya,” kata Muhadi.
Kini, 11 hari perang terbuka antara Rusia dan Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Dua putaran pertemuan delegasi kedua negara itu di Belarus belum juga menghentikan perang.
Muncul harapan agar ASEAN sebagai kekuatan pengaruh di mana salah satu anggotanya, yakni Indonesia, menjadi ketua G-20 dengan sejumlah portofolio internasional, saatnya memberi pengaruh. ASEAN didirikan dengan semangat merayakan kemerdekaan dan ciri khas setiap anggotanya. Itu berbeda dengan Uni Eropa yang pembentukannya bertujuan menekan kekuasaan berlebihan suatu bangsa. (AFP/AP/REUTERS)