Mencari Celah Pendekatan Kemanusiaan untuk Konflik Rusia-Ukraina
Penyelesaian konflik Rusia-Ukraina terus dicari. Gerakan masyarakat sipil hendaknya juga dilibatkan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi sipil hendaknya dilibatkan secara lebih aktif dalam menangani krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Gerakan masyarakat sipil global yang melintasi batas geografis negara sejatinya kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan kekuatan politik dan militer. Hanya saja untuk saat ini perlu dicari celah tempat mereka bisa terlibat dalam penyelesaian konflik.
”Kita tidak bisa memandang krisis Rusia-Ukraina hanya dari segi realis dan geografis, yaitu kekuatan dibalas dengan kekuatan. Perlu intervensi dari masyarakat sipil yang terorganisasi,” kata Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Mohtar Mas’oed dalam seminar daring yang digelar HI UGM bertema krisis Rusia-Ukraina pada Minggu (6/3/2022) malam.
Ia menjelaskan, sejarah modern menunjukkan, perubahan terbesar dalam suatu bangsa terjadi bukan karena kekuatan militer, melainkan karena kekuatan rakyat. Sebagai contoh Reformasi 1998 di Indonesia, kejatuhan Shah Iran, dan bubarnya Uni Soviet. Meskipun begitu, kekuatan sipil ini juga harus mencari tempat mereka bisa masuk dan melibatkan diri dalam penyelesaian konflik.
Saat ini belum ada titik terang penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Kedua belah pihak saling melempar tuduhan tidak kooperatif. Rusia sejatinya telah memiliki keinginan yang jelas terkait situasi ini. Sejak tahun 2008, Presiden Rusia Vladimir Putin meminta agar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tidak melebarkan sayap ke Eropa Timur, apalagi jika anggotanya sampai berbatasan langsung dengan Rusia.
Dosen HI UGM, Muhadi Sugiono, menjelaskan bahwa sejak awal, misalnya abad ke-19 kala kekuasaan Napoleon Bonaparte di Perancis, Eropa Barat selalu berusaha menginvasi Rusia. Oleh sebab itu, Rusia selalu membutuhkan zona netral yang menjadi pagar antara mereka dan Eropa Barat. Ukraina sejatinya bisa menjadi negara seperti itu, sama seperti Swedia dan Finlandia. Akan tetapi, keputusan diplomasi yang buruk serta fakta bahwa NATO dan Amerika Serikat tidak mengacuhkan permintaan Putin ini telah membuat nasi menjadi bubur.
”Ada krisis kepercayaan antara Rusia-Ukraina dan negara-negara Barat. Meskipun permintaan Rusia sudah jelas, berbagai pihak menyangsikan AS dan NATO mau mempertimbangkannya. Ini yang membuat penyelesaian konflik kian berlarut-larut,” tutur Muhadi.
Pada saat yang sama, negara-negara besar terus mengawasi. China dan India, misalnya, mereka terus melihat perkembangan keputusan oleh AS dan sekutunya. Ini akan memengaruhi cara mereka menjalankan politik luar negeri di masa mendatang. Apalagi, China dalam konteksnya sendiri juga berhadapan dengan risiko pecahnya konflik di Laut China Selatan dan Taiwan.
Terbelah
Dosen HI UGM, Luqman-nul Hakim, menjabarkan, krisis Rusia dengan Ukraina ini juga membelah masyarakat Ukraina dari segi etnis. Ukraina sejatinya adalah bangsa yang majemuk, tetapi pada tahun 2019 pemerintahnya mengeluarkan aturan hanya memperbolehkan penggunaan bahasa Ukraina di ruang publik. Ini menjadi salah satu alasan komunitas yang lebih dekat dengan budaya Rusia merasa tersisihkan.
Selain itu, perkembangan penanganan krisis kemanusiaan akibat konflik ini juga tidak terlepas dari rasialisme sistemik. Media-media Barat menarasikan bahwa para pengungsi Ukraina harus ditolong karena mereka merupakan ras Eropa kulit putih. Berbeda dengan pengungsi dari Timur Tengah dan benua Afrika yang dilanda krisis kemanusiaan yang sama parahnya.
Pada saat yang sama, perlakuan otoritas Ukraina dan negara-negara tetangganya terhadap gelombang pengungsi nonkulit putih juga menuai cibiran global. Mahasiswa asing dari India dan benua Afrika, bahkan warga Eropa nonkulit putih, menerima perlakuan diskriminatif di tengah situasi yang membahayakan nyawa.
”Ini berbahaya karena membuat negara-negara di Asia dan Afrika yang sesungguhnya potensial untuk membantu menyelesaikan konflik justru tidak simpatik, baik kepada Ukraina maupun Eropa,” tutur Luqman.
Hal itu akan mempersulit situasi Ukraina. Apalagi, mereka awalnya berharap kepada NATO. Akan tetapi, sekarang mereka justru dianggap sebagai beban. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy meminta agar NATO memberlakukan zona larangan terbang sehingga pesawat-pesawat militer Rusia tidak melintas.
Permintaan ini ditolak NATO dengan alasan tidak mau berkonflik lebih lanjut dengan Rusia. Kepala NATO Jens Stoltenberg juga menegaskan bahwa prioritas NATO ialah agar perang tidak melimpah dari perbatasan negara Ukraina ke negara-negara anggota NATO.
Dari segi gerakan masyarakat sipil, mereka juga menghadapi tantangan dari pemerintahan otoriter. Di Rusia, lembaga hak asasi manusia OVD-Info mengungkapkan bahwa Pemerintah Rusia telah menangkap 13.000 warga negaranya yang berunjuk rasa menentang penyerangan ke Ukraina.