Tiga Senjata Putin Menyerbu Ukraina
Putin berani mengerahkan pasukan Rusia ke Lugansk dan Donetsk. Setidaknya ada tiga faktor yang melandasinya, yakni nuklir, ekonomi-keuangan, dan veto.
Pemerintah Ukraina barangkali menyesal telah menandatangani Memorandum Budapest. Keputusan pada Desember 1994 itu membuat Kiev kehilangan status sebagai pemilik cadangan hulu ledak nuklir terbanyak ketiga setelah Amerika Serikat dan Rusia. Padahal kalau status itu masih disandang hari ini barangkali bisa membuat Presiden Vladimir Putin berpikir seribu kali sebelum mengerahkan pasukan Rusia ke Donetsk dan Lugansk di Ukraina Timur, Selasa (22/2/2022).
Faktanya, Ukraina bukan lagi pemilik senjata nuklir. Dan Putin telah memerintahkan pasukan Rusia masuk ke Donetsk dan Lugansk. Putin berdalih, tentara Rusia akan menjadi pasukan penjaga perdamaian di Republik Rakyat Donetsk (RRD) dan Republik Rakyat Lugansk (RRL) yang kedaulatannya diakuo oleh Rusia pada Senin (21/2/2022) malam.
Baca juga Putin Perintahkan Pasukan ke Donetsk dan Lugansk
Donetsk dan Lugansk diakui komunitas internasional sebagai wilayah Ukraina. Mayoritas penduduknya beretnis Rusia. Wilayah itu mulai bergolak setelah Presiden Ukraina Viktor Yanukovych, yang lahir dan besar di Donetsk serta beretnis Rusia, terguling selepas unjuk rasa 2013-2014.
Orang-orang penutur bahasa Rusia di Donetsk dan Lugansk semakin marah kala Kiev menghapus status bahasa Rusia sebagai salah satu bahasa resmi negara. Mereka membentuk milisi dan berperang dengan Kiev sejak 2014.
Pada 2015 dan 2019, Rusia-Ukraina dengan fasilitasi Jerman-Perancis menandatangani Kesepakatan Minks. Para pihak antara lain sepakat menghentikan kekerasan di Ukraina Timur dan memberlakukan otonomi luas di sana. Sampai sekarang, kesepakatan itu tidak pernah dijalankan.
Sejak Kamis (17/2/2022), baku tembak meningkat di dua daerah tersebut. Atas nama alasan melindungi nyawa warga, Putin memerintahkan tentara Rusia masuk ke daerah itu untuk menjadi pasukan penjaga perdamaian.
AS, Inggris, dan Perancis, yang berkali-kali menyerbu negara lain tanpa persetujuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa, mengecam keputusan Rusia itu.
AS, Inggris, dan Perancis, yang berkali-kali menyerbu negara lain tanpa persetujuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa, mengecam keputusan Rusia itu. Mereka dan sejumlah negara sekutu AS lainnya mengancam menjatuhkan sanksi tambahan kepada Rusia.
Sejak 2014, AS dan sekutunya memang sudah menjatuhkan aneka sanksi kepada Rusia. Rangkaian sanksi itu tetap tidak mampu mencegah Putin memerintahkan tentara Rusia masuk Ukraina.
Setidaknya ada tiga alasan yang membuat Putin akhirnya mantap memutuskan serbuan itu. Alasan pertama, nuklir. Guru Besar Politik Internasional pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tulus Warsito, menulis bahwa nuklir membuat perang sama sekali berbeda.
Dalam perang tanpa nuklir, mereka yang memiliki senjata lebih banyak berpeluang lebih besar memenangi pertempuran. Sementara dalam perang nuklir, semua pemiliknya, walaupun cuma satu unit terpasang di rudal, sama peluangnya dengan yang memiliki lebih banyak. Perang nuklir adalah Neo Zero Sum Game yang semua pihak, terutama para pemilik senjata nuklir, sangat mempercayai "konsensus" tak tertulis itu.
Perilaku Korea Utara amat menjelaskan pendapat Tulus. Secara kuantitatif, terutama bila menghitung kondisi perekonomian dan kepemilikan senjata konvensional, relatif kalah dibandingkan Korea Selatan, Jepang, apalagi Amerika Serikat (AS). Namun Pyongyang berani berulah karena punya hulu ledak nuklir yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti.
Baca juga KBRI Kiev Tetap Berjalan Normal
Rusia, yang menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) punya 6.375 hulu ledak nuklir, tentu bisa jauh lebih berani dibandingkan Korea Utara. Tidak hanya punya cadangan, Rusia juga memiliki 1.625 bom nuklir terpasang di rudal yang siap diluncurkan sewaktu-waktu.
Selain tersebar di berbagai peluncur darat, sebagian rudal nuklir Rusia disiagakan di berbagai kapal selam yang tidak selalu diketahui keberadaannya. Pemasangan ke rudal di kapal dan kapal selam membuat rudal Rusia praktis bisa menjangkau ke semua penjuru Bumi. Apalagi, sebagian rudal Rusia bisa meluncur lebih dari 10.000 kilometer.
Sebagai gambaran, jarak Moskwa-London tidak sampai 3.000 kilometer (km) dan Moskwa-Washington DC tidak sampai 8.000 km. Bukan hanya bisa menjangkau jauh, sebagian rudal Rusia mampu melaju melebihi lima kali kecepatan suara. Saat ini, tidak ada sistem pertahanan udara bisa menangkal rudal-rudal hipersonik yang sudah dioperasikan Rusia dan juga China itu.
Pengajar Curtin University, Alexey D Muraviev, menyebut bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin mengingatkan dunia akan kemampuan nuklir Rusia lewat Operasi Grom. Operasi itu sebutan untuk latihan penggunaan nuklir oleh Rusia pada 2019, 2020, dan terakhir pada 19 Februari 2022. Sebelum Grom, Putin juga mengingatkan dunia lewat pengumumkan militer Rusia yang mulai mengoperasikan persenjataan hipersonik.
Kristian Åtland dari Norwegian Defence Research Establishment mengatakan, nuklir melengkapi berbagai kekuatan militer Rusia. Seperti pernah disebut mantan Panglima Komando Operasi AS di Eropa, Letnan Jenderal (Purn) Benjamin Hodges, sebagian senjata baru Rusia tidak pernah diketahui keberadaannya sampai Moskwa menggunakannya.
“Saya malu mengakui terkejut melihat rudal Kalibr diluncurkan dari Laut Kaspia ke Suriah. Bukan karena hanya kemampuannya, kami bahkan tidak tahu rudal itu ada,” ujar Hodges kepada New York Times pada akhir Januari 2022 tentang rudal laut Rusia itu.
Baca juga Rusia Operasikan Semua Rudal Hipersonik
Åtland dan Muraviev sepakat, Putin membangun militer Rusia dengan kecepatan penuh sejak berkuasa pada Desember 1999. Mewarisi militer yang kesulitan menjaga kapalnya tetap mengapung dan pesawatnya bisa terbang gara-gara kesulitan ekonomi selepas Uni Soviet runtuh, Putin pertama-tama fokus menyehatkan perekonomian Rusia. Kekuatan ekonomi menjadi penunjang kedua keputusan Putin menyerbu Ukraina.
Lonjakan harga aneka komoditas, termasuk minyak dan gas, menjadi modal utama Putin menyehatkan perekonomian Rusia. Lembaga layanan keuangan AS, Cowen&Co, mencatat Rusia sebagai pemasok 10 persen minyak global. Cowen&Co menaksir, Rusia mendapatkan setidaknya 600 juta dollar AS per hari dari penjualan minyak selama semester II-2021 saja.
Moskwa juga mendapat rata-rata 400 juta dollar AS per hari dari penjualan gas. Sebagian anggota Uni Eropa adalah pelanggan utama Rusia. Hingga 40 persen gas dan minyak Eropa dipasok oleh Rusia. Jerman menjadi pelanggan utama dengan 34 persen gas dan 37 persen minyak dipasok Rusia.
Ancaman AS pada 2014 untuk memutus akses Rusia pada sistem pengolahan transaksi keuangan internasional, SWIFT, mendorong Rusia berkreasi. Pada triwulan IV-2020, sekitar 10 persen dari ekspor minyak dan gas Rusia ke negara-negara di luar BRICS (Brasil, India, Cina, dan Afrika Selatan) ditagih dalam dollar AS, turun dari sekitar 95 persen pada 2013. Pembayaran menggunakan mata uang lain seperti euro hingga emas.
Meski punya cadangan emas, platinum, dan palladium dalam jumlah besar di perut bumi, Rusia juga menumpuk cadangan emas di bank sentralnya dari hasil berdagang. Dari 640 miliar dollar AS cadangan devisa Rusia pada akhir Januari 2022, 120 miliar dollar AS atau 18,75 persen berbentuk emas.
Ekonom Johns Hopkins University, Steve Hanke, menyebut bahwa Rusia punya banyak kemewahan yang tidak dimiliki Ukraina dan AS. Utang luar negeri Rusia hanya 30 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara itu. Sebaliknya, Ukraina dan AS mencatat utang luar negeri masing-masing 80 persen dan 102 persen dari PDB. Bahkan, Pemerintah AS berutang 1,05 triliun dollar AS ke China.
Baca juga AS Dukung Penuh Ukraina
Dalam surat elektronik pada November 2011, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengirimkan artikel tentang utang AS kepada salah satu stafnya, Jake Sullivan. Surat elektronik yang dibocorkan Wikileaks itu mengungkap, artikel yang dikirimkan Hillary kepada Sullivan yang kini menjadi Penasihat Keamanan Nasional AS tersebut membahas kemungkinan penghentian dukungan AS terhadap Taiwan jika Beijing mau menghapus semua utang Washington.
Surat elektronik itulah yang menjadi salah satu alasan Taiwan mengikuti dengan cemas perkembangan keputusan AS terkait Ukraina. Presiden AS Joe Biden berkali-kali menyatakan tidak akan mengirim tentara ke Ukraina. Washington hanya mengucurkan bantuan pertahanan total 2,5 miliar dollar AS sejak 2014 kepada Kiev. Model serupa bisa saja diterapkan AS terhadap Taiwan saat ancaman dari China menjadi nyata.
Bantuan AS terhadap Rusia itu tidak cukup menjaga perekonomian Ukraina. Selama berbulan-bulan, AS dan sekutunya berkali-kali mengumumkan Rusia akan segera menyerbu Ukraina. Pengumuman itu membuat perekonomian Ukraina tertekan. Berbagai maskapai menghindari wilayah udara Ukraina.
Bukan hanya Ukraina, kondisi perekonomian AS dan Eropa juga tidak sedang baik. AS mencatatkan inflasi tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Aneka barang kebutuhan sehari-hari juga menghilang dari berbagai pasar di AS. Banyak pabrik belum beroperasi karena kekurangan bahan baku dan pekerja.
Sulit bagi warga AS mendukung perang melawan Rusia di Ukraina. Apalagi setelah Biden menarik pasukan AS dari Afghanistan, masyarakat AS yang mendapati bahwa perang tak memberi manfaat konkret kepada AS makin kritis terhadap kebijakan perang di luar negeri.
Sementara Eropa, yang 40 persen minyak dan gasnya dipasok Rusia, juga sedang berusaha pulih dari dampak pandemi Covid-19. Pemulihan jelas butuh energi dan karena itu pasokan dari Rusia amat vital.
Sejumlah pejabat AS mengaku Washington masih mengevaluasi secara mendalam untuk menyebut pengerahan pasukan Rusia ke Ukraina Timur. Biden pernah dikecam Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy gara-gara membedakan istilah serbuan (invade) dengan serangan (incursion).
Bagi Zelenskyy, apa pun bentuknya, pengerahan tentara Rusia ke Ukraina Timur adalah pelanggaran kedaulatan Ukraina. Zelenskyy dan sejumlah pejabat Ukraina menegaskan, kehadiran pasukan asing tanpa permintaan Kiev adalah penyerbuan.
Biden menyebut, sanksi akan dijatuhkan bila Rusia menyerbu Ukraina. Di sisi lain, seperti disampaikan sejumlah pejabat AS yang tidak mau diungkap identitasnya, Biden berhati-hati menyebut perintah pengerahan pasukan Rusia ke Ukraina sebagai serbuan atau serangan.
Baca juga Dunia Bersiap terhadap Invasi Rusia di Ukraina
Pada 2014, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev menyebut ancaman melarang Rusia mengakses SWIFT dapat dipandang sebagai pernyataan perang. Pernyataan Medvedev membuat AS dan sekutunya batal melarang Rusia dari SWIFT sampai sekarang. Sulit membayangkan pemilik senjata nuklir seperti Rusia dan AS terlibat dalam perang terbuka.
Sementara selepas Putin memerintahkan pasukan Rusia masuk ke Donetsk dan Lugansk, Presiden Perancis Emmanuel Macron meminta rapat darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas sanksi pada Rusia. Sejumlah pihak ragu pada efektivitas usulan Macron. Status sebagai anggota tetap DK PBB membuat Rusia punya hak veto yang bisa membatalkan apa pun keputusan PBB. Veto adalah senjata ketiga Putin setelah nuklir dan ekonomi.
Kombinasi tiga senjata itu merupakan penunjang Putin dalam memutuskan serbuan ke Donetsk dan Lugansk. Apa pun istilah yang dipakai Putin dan Biden, pengerahan pasukan Rusia ke Ukraina Timur tidak sesuai dengan Piagam PBB. (AFP/REUTERS/RAZ)