KBRI Kiev Tetap Berjalan Normal
Tak seperti negara Barat dan mitranya, Indonesia tidak mengevakuasi WNI atau menutup KBRI di Kiev. Jakarta percaya dengan keamanan di Ukraina. Negara itu mengapresiasinya.
JAKARTA, KOMPAS — Ukraina mengapresiasi keputusan Indonesia mempertahankan para diplomat di Kiev dan tidak memerintahkan evakuasi warga Indonesia dari Ukraina di tengah konflik di negara itu. Indonesia juga terus mendorong resolusi damai atas krisis Rusia-Ukraina.
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri RI I Gede Ngurah Swajaya menyebutkan, banyak negara sudah memerintahkan warga dan pegawai mereka keluar dari Ukraina. Sebagian sudah memindahkan kedutaan besar ke luar Kiev hingga luar Ukraina.
”KBRI di Kiev masih beroperasi normal. Mereka (Pemerintah Ukraina) menghargai keputusan Indonesia. Sebab, hal itu dianggap bentuk kepercayaan pada keamanan di Kiev,” ujarnya, Senin (21/2/2022).
Kedutaan Besar Ukraina untuk Indonesia dalam lamannya mengungkapkan, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba pekan lalu berbicara lewat telepon dengan Menlu RI Retno LP Marsudi. Kuleba menjelaskan situasi keamanan di dekat perbatasan negara.
Ketegangan di dekat perbatasan Ukraina meningkat dalam empat bulan terakhir setelah Rusia mengerahkan lebih dari 100.000 personel pasukan di perbatasan. AS dan Barat menuding Rusia menyiapkan invasi ke Ukraina. Moskwa membantah hal itu.
KBRI di Kiev mencatat, ada 138 WNI di Kiev dan Odessa. Mayoritas bekerja di bisnis perhotelan. Kepada KBRI di Kiev, semua WNI mengaku tetap tenang bekerja dan merasa aman. Maka, hingga kini Indonesia tak memerintahkan evakuasi WNI dari Ukraina.
Baca juga : Rencana Pertemuan Biden-Putin Tiupkan ”Angin Surga” di Pasar Keuangan
Indonesia membuat keputusan berbeda dengan sejumlah negara yang telah memerintahkan warga mereka meninggalkan Ukraina. Sejumlah negara bahkan sudah menutup kedutaannya di Kiev. Langkah negara-negara itu diprotes Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan sejumlah pejabat Ukraina. Perintah evakuasi itu sama dengan menyatakan Ukraina tidak aman.
Dalam sejumlah konflik sebelum ini, Indonesia tidak pernah tergesa-gesa memerintahkan evakuasi warga. Evakuasi dari Suriah, Afghanistan, dan Libya dilakukan kala baku tembak benar-benar sudah mendekati atau mencapai ibu kota.
Cegah perang
Meski baku serang meningkat di Ukraina timur, perang diupayakan dicegah. Upaya terbaru dilakukan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Ia menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin, Minggu (20/2/2022) dan Senin. Macron juga menelepon Zelenskyy, Presiden AS Joe Biden, dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Dalam pernyataan Kantor Kepresidenan Perancis, Putin dan Biden sepakat bertemu dalam waktu dekat guna membahas isu Ukraina. Sebaliknya, Juru Bicara Kepresidenan Rusia Dmitry Peskov menyatakan, terlalu dini membahas pertemuan langsung Biden-Putin. ”Belum ada rencana pasti untuk itu. Pertemuan itu mungkin saja jika para pemimpin menganggapnya perlu,” kata Peskov.
Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan, pada prinsipnya Biden setuju kembali berbicara dengan Putin soal Ukraina. Walakin, seperti diminta Macron, pertemuan hanya akan terjadi jika Rusia tak menyerbu Ukraina. Adapun Johnson menekankan pentingnya mendengar suara Ukraina dalam penyelesaian krisis.
Baca juga : Putin-Biden Segera Berkomunikasi Terkait Krisis Rusia-NATO
Johnson juga menekankan pentingnya mematuhi Kesepakatan Minsk. Kesepakatan itu disetujui Rusia-Ukraina dengan fasilitas Jerman-Perancis pada 2015 dan 2019. Kesepakatan itu, antara lain, mencakup penghentian segala bentuk kekerasan di Ukraina timur dan pemberian otonomi luas di Ukraina timur.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell juga gembira dengan telepon Macron. ”Pertemuan, pada aras apa pun dan bagaimanapun bentuknya, sangat diperlukan untuk mencegah perang,” katanya.
Borrell juga kembali memperingatkan peluang sanksi kepada Rusia jika berkeras menyerbu Ukraina. UE dinyatakan sudah menyiapkan serangkaian sanksi jika serbuan dilancarkan. Meski demikian, ia tidak menampik bahwa sanksi itu tidak akan dijatuhkan sampai ada serbuan nyata. Brussels terus mendukung upaya diplomatik dalam krisis Rusia-Ukraina.
Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan, Rusia akan kehilangan pasar UE dan akses kepada sistem keuangan internasional jika sampai menyerbu Ukraina. Kehilangan itu akan sangat memukul Moskwa dan tidak bisa dicari penggantinya. ”Penerapan sanksi amat besar dampaknya. Karena itu, kami selalu memberi kesempatan pada Rusia untuk berunding dan menempuh jalur diplomasi. Masih ada kesempatan,” ujarnya.
Media Jerman, Handelsblatt, melaporkan bahwa sampai sekarang Jerman keberatan memutus akses Rusia pada sistem pemroses transaksi internasional (SWIFT). Sebab, Jerman memandang sanksi itu malah akan mengacaukan sistem keuangan dan pasar global. Hal itu terutama apabila mengingat porsi dan kontribusi Rusia pada perekonomian global.
Selain itu, keputusan tersebut malah akan membuat Rusia tidak terkontrol. Sebab, Rusia memakai sistem transaksi yang tidak bisa diawasi Barat.
Jerman paling dirugikan jika Rusia dilarang menggunakan SWIFT. Sebab, Berlin akan kesulitan membayar minyak dan gas Moskwa. Hampir separuh minyak dan gas Jerman dipasok atau dikelola Rusia. Bukan hanya Jerman, sebagian Eropa juga tergantung pada pasokan minyak dan gas Rusia. Karena itu, Berlin masih keberatan pada peluang sanksi kepada Moskwa.
Fakta tersebut membuat Pemerintah Jerman dikritik dari dalam dan luar negeri. Di antara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), hanya Jerman yang menolak memberi senjata mematikan untuk Ukraina.
Baca juga : Letupan Terus Berlangsung, Rakyat Ukraina Masih Hidup Normal
Meski berterima kasih atas kucuran senjata dari anggota NATO, Zelenskyy mengecam beberapa anggota NATO yang konsisten mengumumkan tanggal serbuan Rusia ke Ukraina. Ia merujuk pada berkali-kali taksiran AS dan sejumlah anggota NATO soal tanggal serbuan Moskwa ke Kiev. Berkali-kali pula taksiran itu terbukti tidak terwujud.
”Kalau benar-benar mau menolong Ukraina, sama sekali tidak penting untuk membahas kemungkinan tanggal serbuan. Kami akan mempertahankan tanah air kami pada 16 Februari, 1 Maret, atau 31 Desember,” kata Zelenskyy.
Terkepung
Zelenskyy meminta NATO bersikap tegas soal permintaan Kiev untuk menjadi anggota aliansi militer itu. ”Mereka bilang pintu terbuka, ternyata hanya bagi yang memiliki akses. Jika sebagian atau seluruh anggota aliansi mau atau tidak mau melihat kami (menjadi anggota NATO), jujur saja. Kami perlu jawaban, bukan dibiarkan bertanya bertahun-tahun,” ucapnya.
Presiden AS George W Bush pertama kali mengumumkan soal peluang Ukraina menjadi anggota NATO pada 2008. Sampai sekarang, Kiev tetap bukan anggota NATO. Sementara Estonia, Latvia, Lituania, dan Polandia tidak perlu menunggu tanpa kepastian selama 13 tahun seperti Ukraina.
Pada 2002, NATO mengumumkan bahwa Estonia, Latvia, Lituania, dan Romania akan menjadi anggota baru. Mereka menyusul Bulgaria dan Polandia yang lebih dulu bergabung dengan NATO dan mendekatkan perbatasan NATO dengan Rusia.
Kini, negara-negara tersebut menampung total puluhan ribu tentara AS dan sejumlah anggota NATO lainnya. Tentara itu dilengkapi aneka persenjataan hingga jet tempur. Meski demikian, kuartet Polandia hingga Estonia yang disebut sebagai ”Sayap Timur NATO” sedang cemas. Dengan 30.000 tentara di Belarus dan sedikitnya 20 kapal perang di Laut Baltik serta aneka rudal di sepanjang perbatasan timurnya, Rusia praktis mengepung empat anggota NATO dari darat dan laut.
Kapal-kapal perang dan kapal pendukung milik Rusia berada di Laut Baltik sejak Desember 2021 dengan alasan latihan. Alasan serupa dikemukakan Rusia yang menempatkan 30.000 tentara dan aneka persenjataan di Belarus.
NATO sebenarnya menyatakan alasan serupa untuk menempatkan puluhan ribu tentara di Estonia. Pada akhir Januari 2022, NATO menggelar latihan gabungan di Estonia yang perbatasan timurnya berjarak tidak sampai 200 kilometer dari St Petersburg, salah satu kota utama di Rusia, dan tidak sampai 700 kilometer dari ibu kota Moskwa itu.
Baca juga : Ukraina Timur Memanas, Putin Pimpin Uji Rudal-rudal Andalan Rusia
Selepas latihan, sebagian tentara NATO ditarik dari Estonia. Sebaliknya, Belarus mengumumkan, semua tentara Rusia akan terus melanjutkan latihan. Seluruh persenjataan Rusia di Belarus juga akan dipertahankan.
Rusia juga mempertahankan semua tentaranya di perbatasan Ukraina serta Laut Azov dan Laut Hitam. Di Laut Hitam, Moskwa menempatkan sejumlah kapal perang. Di laut itu, Rusia berhadapan dengan Turki, Bulgaria, dan Romania yang merupakan anggota NATO. Sepanjang Januari 2022, Turki berkali-kali membiarkan armada Rusia bolak-balik Laut Hitam-Laut Tengah melalui Selat Bosphorus. (AFP/REUTERS)