Ketegangan Rusia dan Blok Barat meruncing dengan buntunya upaya diplomasi. Deeskalasi di wilayah Ukraina menjadi opsi untuk meredakan ketegangan hingga perjanjian di antara pihak yang berseteru disepakati.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Alih-alih mereda, ketegangan antara Rusia dan Blok Barat justru meruncing dengan buntunya upaya diplomasi. Dengan lebih dari 130.000 personel pasukan yang mengelilingi perbatasan Ukraina, Rusia bisa melancarkan invasi dalam waktu dekat. Tak ayal, pertemuan Amerika Serikat dan Rusia nanti akan menjadi penentu arah angin eskalasi konflik Rusia-Ukraina ke depan.
Isu situasi di perbatasan yang makin genting muncul ke permukaan setelah Presiden AS Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin berkomunikasi via telepon pada Sabtu lalu. Dalam perbincangan selama satu jam tersebut, Biden menegaskan bahwa invasi Rusia di Ukraina akan berbalas retaliasi dari AS dan sekutunya di Eropa.
Tak lama berselang, Biden pun segera menghubungi sekutunya di Eropa. Dalam pertemuan di Gedung Putih tersebut, Biden menyatakan adanya kemungkinan invasi Rusia di Ukraina dalam waktu dekat. Bahkan, bukan tidak mungkin jika Putin mulai memobilisasi pasukannya menuju Kiev minggu depan.
Informasi ini ditanggapi serius oleh AS dan sekutu. Bahkan, sebelum komunikasi antara Biden dan Putin gagal menurunkan tensi, AS mulai mengimbau warganya yang berada di Ukraina untuk segera meninggalkan negara tersebut.
Selaras, Australia turut memberikan imbauan yang sama serta mulai merelokasi staf Kedutaan Besar Australia di Kiev ke kota Liviv di Ukraina barat. Langkah evakuasi juga dilakukan oleh beberapa negara lain, seperti Arab Saudi dan Israel.
Situasi mencekam ini diperparah dengan gelagat Rusia yang terus memperkeruh suasana. Salah satu contohnya, rencana Rusia untuk melakukan latihan militer di sekitar Laut Hitam seminggu ke depan.
Aksi ini kemungkinan akan memblokade kapal yang akan berlabuh ke Ukraina, praktis mengganggu jalur perdagangan negara tersebut.
Meski berat, usaha diplomasi terus dilakukan untuk mencegah ketegangan tereskalasi menjadi konflik terbuka. Selama proses diplomasi antarpihak berlangsung, upaya di forum organisasi internasional terbukti kurang ampuh. Buktinya, pertemuan di Dewan Keamanan PBB pada 31 Januari silam justru berujung pada meningkatnya ketegangan antara Rusia dan AS.
Kanal diplomasi bilateral dan multilateral pun menjadi opsi yang tengah diupayakan. Diplomasi satelit salah satunya sedang diupayakan oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Dalam safari diplomasinya pada awal minggu kedua Februari, Macron telah berkunjung ke Moskwa untuk bertemu Putin dan Kiev untuk menyambangi Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Awalnya, Macron menyampaikan kabar baik bahwa Putin telah berkomitmen untuk menurunkan ketegangan di perbatasan Ukraina. Namun, tak lama kabar itu justru dibantah oleh Juru Bicara Kremlin Dmitri S Peskov yang menyatakan pertemuan antara Macron dan Putin belum membuahkan kesepakatan apa pun.
Upaya serupa telah dicoba dijajaki Inggris. Pada 10 Februari lalu, Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss berkunjung ke Moskwa untuk bertemu Menlu Rusia Sergei Lavrov.
Sayang, pertemuan tingkat tinggi ini berujung nihil. Bahkan, Lavrov yang geram pun langsung meninggalkan Truss seraya berujar ke media bahwa pertemuan kali ini bak ”orang bisu berbicara dengan orang tuli”.
Jalan diplomasi untuk meredam agresi Rusia kali ini makin sulit setelah mantan Kanselir Jerman Angela Merkel mundur dari dunia politik. Sebelumnya, Merkel menjadi tokoh penting dalam negosiasi antara negara Barat dan Rusia dalam insiden aneksasi Krimea pada 2014. Pensiunnya Merkel pun meninggalkan kekosongan besar dalam arsenal diplomasi Blok Barat.
Terlebih lagi, permintaan Rusia ke Ukraina, AS, dan NATO sangatlah berat. Seperti diketahui, Rusia telah menyerahkan draf tuntutan Rusia ke AS dan sekutunya di Eropa semenjak akhir tahun lalu.
Draf tersebut berisikan delapan tuntutan yang meliputi permintaan Rusia untuk AS dan NATO untuk tidak meningkatkan kapasitas pertahanan di Eropa, melarang Ukraina untuk bergabung dengan NATO, menuntut NATO untuk menarik ”ekspansinya” di Eropa Timur.
Selain itu, Rusia juga melarang adanya penempatan rudal jarak pendek dan menengah di Eropa Timur serta melarang NATO dan AS untuk melakukan aktivitas militer di Eropa Timur, Asia Tengah, dan Kaukasus Selatan.
Namun, bukan berarti harapan perdamaian sudah hilang sepenuhnya. Pasalnya, Rusia hingga saat ini masih membuka ruang untuk berdialog. Pasukan Kremlin pun belum menyentuhkan sepatunya di wilayah kedaulatan Ukraina.
Maka, pertemuan antara Biden dan Putin yang dijadwalkan minggu depan di Geneva, Swiss, nanti menjadi kesempatan bagi semua pihak untuk menunjukkan keseriusannya dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan. Harapan ini pun diperkuat dengan komitmen Putin untuk terus berkomunikasi dengan Macron setelah pertemuan tersebut diadakan.
Meskipun intelijen AS telah mendengar kabar bahwa invasi akan dilakukan dalam waktu dekat, Moskwa masih belum memutuskan langkah apa pun. Bagi Rusia, serangan invasi bukanlah keputusan yang mudah diambil.
Jelas bagi Putin, aksi agresi Rusia di Ukraina akan dibalas dengan pukulan mundur dari AS dan aliansinya di Eropa Barat. Tak hanya itu, Rusia pun akan diganjar dengan segudang sanksi oleh komunitas internasional.
Belajar dari pengalaman aneksasi Rusia di Krimea lalu, sanksi yang diberikan oleh Barack Obama dianggap terlalu halus dan kurang efektif untuk menciptakan efek kejut bagi Putin. Kini, Biden pun bertekad untuk mengganjar agresi Rusia dengan balasan yang lebih menggigit.
Sanksi yang ”dijanjikan” oleh Biden jika invasi terjadi tidak main-main. Pertama, Biden mempertimbangkan opsi untuk memutus Rusia dari sistem SWIFT yang menjadi tulang punggung perbankan di seluruh dunia. Dengan terputusnya Rusia dari sistem tersebut, hampir dapat dipastikan perekonomian negara ini akan lumpuh.
Sanksi kedua yang akan diberikan oleh AS ke Rusia jika menginvasi Ukraina ialah embargo. Di satu sisi, AS dan sekutunya akan memboikot produk-produk teknologi Rusia yang sangat menguntungkan, seperti produk persenjataan, industri luar angkasa, kecerdasan buatan, dan komputasi kuantum.
Di sisi lain, AS juga akan mengajak sekutunya untuk menghentikan ekspor barang konsumsi ke Rusia, termasuk bahan makanan hingga ponsel.
Sanksi-sanksi tersebut pun tentu akan dilengkapi dengan sanksi ”standar” lainnya, seperti pembekuan aset negara Rusia dan pejabatnya di berbagai penjuru dunia serta kemungkinan serangan militer balasan dari AS dan NATO.
Selanjutnya, AS dan NATO juga berjanji untuk menempatkan lebih banyak pasukan dan persenjataan di perbatasan Ukraina jika pasukan Rusia merangsek ke wilayah Ukraina. Tak hanya itu, konflik terbuka juga diperkirakan akan mengorbankan puluhan ribu warga sipil di kedua belah pihak.
Segudang konsekuensi tersebut pun akan membuat perang menjadi opsi yang sangat mahal bagi Rusia. Dengan pertimbangan ini, diharapkan Kremlin bisa menerima inisiatif Blok Barat untuk segera melakukan deeskalasi di wilayah perbatasan Ukraina. Namun, hingga perjanjian di antara pihak yang berseteru telah disepakati, konflik bisa saja sewaktu-waktu terjadi. (LITBANG KOMPAS)