Di tengah upaya negosiasi yang masih berlangsung, militer Ukraina terus bersiap atas kemungkinan terburuk, pecahnya konflik terbuka. Puluhan ribu warga sipil juga telah ikut pelatihan tempur.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·6 menit baca
KIEV, SELASA – Presiden Rusia Vladimir Putin saat bertemu Presiden Perancis Emmanuel Macron berjanji tidak akan melakukan pergerakan apa pun yang bisa meningkatkan peluang pecahnya konflik terbuka di perbatasan Rusia-Ukraina. Putin pun membuka ruang negosiasi dengan Eropa dan Amerika Serikat. Akan tetapi, latihan militer Rusia di Belarus, dekat perbatasan utara Ukraina, membuat Ukraina menanggapinya dengan melakukan latihan militer.
Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov kepada sebuah stasiun televisi lokal, Senin (7/2/2022) malam waktu setempat atau Selasa (8/2) WIB, mengatakan, selama 10 hari ke depan, militer Ukraina akan terus mengadakan latihan yang berbeda. Di antaranya termasuk melatih kemampuan personel menggunakan pesawat nirawak (UAV) Mayraktar serta rudal antitank Javelin dan NLAW yang dikirimkan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Sejak awal Desember tahun lalu, Moskwa telah mengirimkan lebih dari 100.000 tentaranya ke perbatasan Ukraina-Rusia di timur laut Kiev. Namun, sejak pertengahan Januari, Rusia juga menggerakkan pasukannya ke perbatasan Ukraina-Belarus yang terletak di utara Kiev dengan alasan latihan militer bersama. Menurut rencana latihan militer dimulai pada bulan ini.
Situasi tersebut membuat ketegangan memuncak di dalam diri banyak warga Ukraina dan masyarakat internasional. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken, saat berkunjung ke Kiev beberapa waktu lalu, memberi lampu hijau bagi staf Kedutaan Besar AS untuk meninggalkan negara itu karena kekhawatiran pecahnya konflik terbuka.
Di lapangan, ketegangan juga terasa. ”Terlalu sepi. Ini Meresahkan. Seperti ketenangan sebelum badai,” kata Botsman (49), seorang anggota militer Ukraina yang bertugas di Donetsk.
Informasi yang bertebaran di media massa dan media sosial tentang peluang konflik terbuka membuat banyak orang, termasuk Botsman, gugup. ”Dari segi moral, itu sulit. Telepon dari rumah sangat mengganggu,” ujarnya.
Sych (39), anggota militer Ukraina lainnya, saat ini siap tempur. Untuk menjaga kebugaran fisik, dia dan beberapa rekannya membangun pusat kebugaran darurat di sebuah gudang tua yang pernah menjadi sasaran bom saat pecah perang di Crimea tahun 2014.
Sych meyakini potensi serangan besar-besaran adalah bagian dari perang urat saraf yang dilakukan Rusia. Namun, dia menginginkan, jika konflik terbuka benar-benar terjadi, mereka harus mengakhiri perang ini dengan cara apa pun. ”Kami perlu mengakhiri perang ini, dengan bantuan sekutu atau dengan kekuatan sendiri. Dengan cara apa pun yang tersedia,” katanya. Dia menegaskan, militer Ukraina telah siap untuk berperang.
Dikutip dari laman The Guardian, aktivitas militer Rusia di Kursk dan Voronezh, yang masing-masing terletak sekitar 100 kilometer sebelah timur perbatasan Ukraina-Rusia, tidak bisa disembunyikan. Saat latihan militer berlangsung pekan lalu, penduduk di Shilovo, Distrik Voronezh, tercengang melihat sistem rudal pertahanan udara Pantsir muncul di lapangan yang terletak di samping gedung sekolah dasar setempat.
Di pinggiran kota Maslovka, pembongkaran tank, artileri, dan peralatan lainnya di stasiun kereta api yang berlangsung beberapa bulan terakhir membuat penduduk setempat gelisah. ”Istri saya berteriak tentang tank, tank, dan tank sekembalinya dari bekerja,” kata Oleg Romanenko, mekanik dan pekerja toko logam di Maslovka. Melihat semua peralatan tempur ada di hadapan mereka membuatnya sulit mengalihkan pikiran dan mengatakan perang tidak akan terjadi. Diakuinya, semua orang berpikir perang ada di depan mata.
Bukan hanya militer yang telah bersiaga menghadapi kemungkinan pecahnya perang, melainkan juga warga sipil Ukraina. Sejak beberapa bulan terakhir, ribuan warga sipil telah ikut berlatih simulasi tempur di banyak wilayah di Ukraina.
Dikutip dari The New York Times, akhir Desember 2021, puluhan ribu warga sipil Ukraina telah mendaftar untuk ikut latihan tempur yang dibuat dan dijalankan oleh pemerintah dan kelompok paramiliter swasta. Program itu bagian dari rencana pertahanan strategis negara jika terjadi invasi dan mendorong perlawanan sipil terus berlanjut ketika militer Ukraina kewalahan.
Marta Yuzkiv, seorang dokter yang ikut dalam pelatihan, mengatakan, Ukraina memiliki militer yang kuat. Akan tetapi, menghadapi Rusia yang memiliki kekuatan militer beberapa kali lipat, militer Ukraina tidak akan cukup kuat.
”Jika negara kami diduduki, dan saya berharap itu tidak terjadi, kami akan menjadi perlawanan nasional,” ujarnya.
Jenderal Anatoliy Barhylevych, Wakil Komandan Pasukan Darat Ukraina, mengatakan akan mengirimkan sekitar 100.000 sukarelawan jika terjadi konflik. Namun, juru bicara Angkatan Pertahanan Ukraina mengatakan, tidak bisa mengungkapkan berapa banyak orang yang secara resmi terdaftar dalam program pelatihan.
Negosiasi
Upaya untuk meredakan ketegangan di perbatasan terus berlangsung. Presiden Macron yang baru saja bertemu Putin di Moskwa akan terbang ke Kiev untuk bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Sementara Kanselir Jerman Olaf Scholz dijadwalkan akan terbang ke Washington untuk bertemu Presiden AS Joe Biden dan beberapa tokoh dari Partai Demokrat dan Partai Republik.
Sejumlah analis menilai, diplomasi yang dijalankan oleh Macron dan Scholz akan menjadi sangat penting setelah pernyataan Putin yang menyebut bahwa Eropa akan terseret ke dalam konflik bila AS dan NATO berkeras soal keanggotaan Ukraina dalam aliansi militer tersebut. Pernyataan tambahan Putin bahwa tidak akan ada pemenang bila konflik terjadi menyiratkan ancaman mantan perwira badan intelijen Rusia tersebut.
Sebaliknya, Biden mengancam akan melakukan tindakan pada jaringan pipa Nord-Stream 2 yang mengalirkan gas alam Rusia ke beberapa negara Eropa, termasuk Jerman. ”Jika Rusia menyerang, berarti tank atau pasukan melintasi perbatasan Ukraina lagi. Maka, tidak akan ada lagi Nord Stream 2. Kami akan mengakhirinya. Saya berjanji, kami akan melakukannya,” kata Biden seusai bertemu Scholz.
Walau begitu, Biden menyatakan, Scholz dan dirinya masih berharap jalan diplomasi tetap terbuka sebagai solusi konflik Ukraina. Saat ditanya apakah masih ada jalan keluar dari krisis ini, Biden menjawab ya, meski tidak secara detail menjelaskan langkah yang akan diambilnya.
Posisi Jerman dan beberapa negara Eropa terjepit dalam krisis ini, terutama karena ketergantungan mereka atas pasokan gas alam dari Rusia. Dari sekitar 400 miliar kaki kubik kebutuhan gas Eropa, 150 miliar kaki kubik atau 37,5 persen dipasok Rusia. (Kompas.id, 8 Februari 2022)
Upaya Biden meminta bantuan negara-negara penghasil gas alam untuk memasok kebutuhan Jerman dan Eropa pun sejauh ini belum menemui hasil yang memuaskan. Permintaan AS ke sekutu mereka di Timur Tengah, yakni Qatar, untuk mengisi celah yang mungkin ada ketika Nord Stream 2 berhenti mengalirkan gas ke Eropa belum ada hasilnya.
Menteri Energi Qatar yang juga Kepala Qatar Energy Saad al-Kaabi mengatakan, mereka tidak mampu mengisi celah yang ditinggalkan Rusia sendirian.
Pekan lalu, sebuah sumber mengatakan, Qatar membutuhkan bantuan AS untuk membujuk pembeli produk gas alam mereka, terutama yang berasal dari Asia, agar bisa mengalihkannya sementara waktu ke Eropa. Kemampuan Qatar untuk mengisi ”celah” yang mungkin ditinggalkan Rusia hanya berkisar 8-10 persen dari pasokan yang tersedia untuk bisa dialihkan ke Eropa. Selain masalah kekurangan pasokan, pengiriman membutuhkan waktu yang lebih lama.
”Tidak ada yang dapat memasok Eropa sendiri, bukan kami sendiri. Anda membutuhkan lebih banyak pemasok untuk mengisi celah tersebut,” kata Kaabi. (AP/AFP/Reuters)