Jurus Judo dalam Catur Putin
Tujuan Putin menggelar pasukan besar-besaran di perbatasan dengan Ukraina memang untuk memaksa AS dan NATO mau berunding. Sejauh ini, Putin berhasil.
Presiden Rusia Vladimir Putin berkali-kali secara terbuka menunjukkan kelihaiannya dalam judo. Ia juga lama menjadi mata-mata. Semua keterampilan dan pengalaman panjangnya antara lain dipakai dalam krisis Rusia-Ukraina yang sudah memasuki tahun kedelapan. Putin mulai memetik hasilnya dalam beberapa pekan terakhir.
Misalnya, Presiden Perancis Emanuel Macron menemui Putin di Moskwa, Senin (7/2/2022) malam waktu setempat atau Selasa dini hari WIB. Di hari yang sama, Kanselir Jerman Olaf Scholz menemui Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington DC. Sementara Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock kembali melawat ke Ukraina. Adapun Inggris mengaku siap memberi jaminan keamanan bagi Rusia.
Baca juga: Perancis-Jerman Meredam Bara Rusia
Bahkan, pada pekan terakhir Januari 2022, Menlu AS Antony Blinken akhirnya memberi jawaban tertulis atas sejumlah permintaan Rusia. Blinken terus menekankan bahwa upaya diplomasi akan terus dilanjutkan untuk mencari solusi krisis Rusia-Ukraina.
Bagi Presiden Council on Foreign Relations dan mantan Direktur Perencanaan Kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Richard Haass, Putin kini benar-benar memanfaatkan kuzushi. Kata dalam bahasa Jepang yang menjadi dasar judo itu bermakna memanfaatkan kelemahan lawan untuk mengganggu keseimbangan mental dan fisik lawan. Dengan demikian, lawan bisa dikalahkan dengan kelemahannya.
Haass antara lain melihat waktu pengerahan pasukan Rusia di sekitar Ukraina. Pada ketegangan yang naik turun itu, sebagaimana ditulis Haass di Project Syndicate, Putin memilih musim dingin 2021 untuk kembali memulai krisis.
Pilihan itu bukan tanpa dasar. Sebagian Eropa bergantung pada pasokan minyak dan gas bumi Rusia. Dari rata-rata 400 miliar kaki kubik kebutuhan gas Eropa, 150 miliar kaki kubik atau 37,5 persen dipasok Rusia. Di musim dingin, konsumsi energi semakin melonjak.
Sebagian Eropa bergantung pada pasokan minyak dan gas bumi Rusia.
Kondisi itu membuat Eropa kebingungan antara memusuhi atau diam saja pada manuver Moskwa. Jika melawan secara frontal, Rusia bisa mengeskalasi manuver menjadi konflik terbuka. Jika ini sampai terjadi, Eropa ikut dirugikan. Sebab, perang bisa mengganggu pasokan minyak dan gas bumi Rusia ke Eropa. Padahal, Eropa sedang sangat membutuhkannya di tengah musim dingin.
Rusia bisa jadi rugi karena tidak bisa menjual minyak dan gas bumi. Namun, Rusia cukup aman karena cadangan devisanya mencapai 630 miliar dollar AS pada Desember 2021. Kenaikan harga minyak masih akan terus menambah pundi-pundi Moskwa.
Bagi Haass, manuver Putin bisa pula dilihat sebagai permainan catur. Dalam catur, para pemainnya sudah memikirkan langkah dan dampak langkah jauh sebelum bidak-bidak digerakkan.
Maxim Samorukov dari Carnegie Moscow Center dan Fiona Hill dari Brookings Institution berpendapat, Putin menilai AS sedang lemah. Oleh karena itu, kesempatan tersebut harus dimanfaatkan. Bagi Samorukov, Putin menilai AS di Ukraina dalam kondisi seperti Afghanistan pada pertengahan 2021. ”Penarikan pasukan AS dari Afghanistan menunjukkan AS mau menurunkan komitmen pada pihak lain demi beradaptasi pada kenyataan baru,” katanya.
Menurut dia, Putin memaksa Presiden AS Joe Biden dalam kondisi dilematis. Washington bisa melibatkan diri dalam konflik di Ukraina dan berpeluang kembali malu seperti di Afghanistan. Pilihan lain, Washington berkompromi dengan Moskwa soal Kiev. ”Kremlin sadar konsekuensi pilihan pertama amat berat bagi Rusia. Di sisi lain, Kremlin meyakinkan Washington bahwa Moskwa siap menanggung dampak itu karena Ukraina amat penting bagi keamanan Rusia,” katanya.
Baca juga: Dari Konflik di Ukraina, Asia Menebak Langkah AS
Sementara Hill menarik lebih jauh ke belakang, hingga ke masa pemerintahan George W Bush. Pada April 2008, Bush-Putin bertemu di Romania. Putin mengungkapkan kemarahan pada Bush karena Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengumumkan niat Georgia dan Ukraina bergabung dengan NATO. Kedua negara merupakan bekas bagian Uni Soviet dan sama-sama berbatasan dengan Rusia.
Kala itu, Hill menjadi salah satu pejabat intelijen AS bidang Rusia dan Eurasia. Komunitas intelijen AS merekomendasikan Bush menanggapi serius kemarahan Putin. Sayangnya, Bush mengabaikan itu. Kekhawatiran Hill dan kawan-kawannya terbukti kala Rusia menyerbu Georgia pada Agustus 2008. Selepas serbuan itu sampai sekarang, Georgia dan Ukraina tidak kunjung menjadi anggota NATO.
Kala Kiev menjajaki pendekatan dengan Uni Eropa, Moskwa menduduki Semenanjung Crimea. Pemerintahan Barack Obama awalnya mengancam menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Bahkan, Washington mengancam melarang Moskwa menggunakan SWIFT atau sistem pengelolaan transaksi keuangan internasional. Sanksi yang bisa membuat perekonomian Rusia terputus dari perekonomian global.
Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev menyebut ancaman itu sebagai pernyataan perang jika sampai diwujudkan. Sampai sekarang, Rusia masih bisa menggunakan SWIFT. Sejak Moskwa menyerbu Georgia dan Crimea, tidak ada balasan militer dari AS dan sekutunya. Tidak ada pula sanksi ekonomi yang benar-benar memukul Moskwa.
Baca juga: Turki-Israel Rebut Pasar Gas Eropa
Hill juga menyebut, Rusia kini menganggap AS sedang lemah di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, AS tidak hanya sibuk oleh dampak Covid-19. AS juga sibuk oleh perpecahan di antara Demokrat-Republikan dan moderat-progresif Demokrat. AS juga berselisih dengan anggota NATO soal biaya operasi bersama. Puncaknya, seperti disinggung Samorukov, AS menarik pasukan dari Afghanistan.
”Jika menekan cukup keras, Putin berharap bisa mencapai kesepakatan keamanan baru dengan NATO dan Eropa untuk menghindari konflik terbuka. Selanjutnya, AS akan pergi bersama tentara dan rudalnya. Ukraina target sekaligus alat tawar Rusia terhadap AS,” tulis Hill.
Bagi kolega Haass di CFR, Thomas Graham, Putin memang tidak pernah menjadikan perang sebagian tujuan utama. Meski demikian, menurut mantan Direktur Rusia pada Dewan Keamanan Nasional AS itu, Rusia memang bersiap pada konflik bersenjata.
Pendapat senada disampaikan peneliti Saltzman Institute of War and Peace Studies pada Columbia University, Raja Menon. Tujuan Putin menggelar pasukan besar-besaran di sekitar Ukraina memang untuk memaksakan perundingan. Sejauh ini, Putin berhasil. ”Kesepakatan politik menjadi tujuan Putin meski ada kesan menekan AS,” ujarnya.
Seusai menjamu Macron di Moskwa, Putin mengatakan bahwa masalah di Ukraina diharapkan bisa diselesaikan secara damai. ”Rusia akan melakukan apa pun untuk berkompromi dengan Barat,” katanya sebagaimana dikutip TASS, kantor berita Rusia. Macron malah lebih jauh lagi. Ia mengatakan, negara-negara Eropa bertanggung jawab pada keamanan benua itu. ”Rusia adalah negara Eropa. Penting bekerja sama dengan Rusia untuk membangun masa depan Eropa,” katanya.
Baca juga: Menyelami Batin Putin
Bagi Hill, Menon, dan Graham, permintaan Rusia soal pembentukan ulang arsitektur keamanan Eropa dapat dipahami. Arsitektur saat ini terbentuk selepas Uni Soviet bubar pada 1991. ”Setelah 30 tahun, mungkin sudah waktunya meninjau ulang,” kata Hill.
Graham dan Menon sama-sama mengusulkan penundaan keanggotaan Ukraina di NATO. Kalaupun nanti menjadi anggota, NATO harus berjanji tidak menempatkan tentara dan persenjataannya di Ukraina. Janji itu harus tertulis dan mengikat. Bagi Rusia, janji tertulis dan mengikat amat penting. Sebab, Menlu AS James Baker, Kanselir Jerman Helmut Kohl, Sekretaris Jenderal NATO Manfred Worner pernah mengucapkan NATO tidak akan memperluas keanggotaan ke Eropa Timur. Faktanya, hampir seluruh bekas Uni Soviet sudah menjadi anggota NATO. (AFP/REUTERS)