Selain ketegasan agar Myanmar patuh pada lima butir kesepakatan ASEAN, pelibatan unsur lain diperlukan. Kamboja perlu didukung.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Minimnya komitmen Myanmar untuk mengimplementasikan lima butir konsensus ASEAN membuat asosiasi itu kembali mengambil langkah tegas. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Kamboja Chum Sounry, Kamis (3/2/2022), mengatakan, ASEAN melarang ”menteri luar negeri” Myanmar hadir dalam pertemuan menlu-menlu negara anggota ASEAN yang bakal digelar.
”Kami telah meminta Myanmar untuk mengirim perwakilan nonpolitik sebagai gantinya,” kata Chum Sounry.
Sebelumnya ia mengatakan, negara-negara anggota ASEAN tak mencapai kesepakatan terkait undangan kepada Wunna Maung Lwin, pejabat yang ditunjuk Dewan Pemerintahan Negara (SAC) sebagai Menteri Luar Negeri Myanmar. Sebelumnya, pada Oktober tahun lalu, pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing, juga tidak diundang dalam pertemuan para pemimpin negara anggota ASEAN. Sikap tegas ASEAN itu merupakan teguran langka.
Dihubungi secara terpisah, Perwakilan Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum menilai teguran tegas itu sangat penting. Ia menilai langkah tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN.
Ia mengingatkan, selain prinsip tidak turut campur urusan dalam negeri anggota, ASEAN juga sepakat untuk menghormati penegakan hukum, pemerintahan yang konstitusional serta menghormati hak asasi manusia.
Menurut Yuyun, selama ini—dengan dimotori Indonesia—ASEAN terus berupaya mendorong agar prinsip-prinsip itu tidak hanya disepakati. Lebih dari itu, Indonesia ingin agar prinsip-prinsip tersebut diimplementasikan. Dalam kaitan dengan isu Myanmar, menurut Yuyun, penting bagi ASEAN untuk mendorong negara itu patuh pada kesepakatan bersama.
Sebagai catatan, pada April 2021, dalam pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta—mengundang pula Min Aung Hlaing—mereka menyepakati ”Lima Butir Konsensus”. Kelima butir kesepakatan itu adalah penghentian segala bentuk kekerasan, penunjukan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, lawatan utusan khusus untuk bertemu semua pihak di Myanmar, pembukaan akses bantuan kemanusiaan, dan dialog oleh semua pihak di Myanmar. Hingga sekarang, baru penunjukan utusan khusus yang terwujud (Kompas.id, 2/2/2022).
Upaya baru
Di sisi lain, di samping jalur diplomasi resmi, menurut Yuyun, perlu jalur atau upaya lain untuk memperkuat upaya ASEAN. Lembaga itu bisa mendorong AICHR untuk terlibat lebih banyak. Yuyun berpendapat, selain mendorong implementasi lima butir kesepakatan itu, perlu membuka ruang lebih luas untuk mendengarkan keluh kesah warga Myanmar.
”Sejauh ini yang terpikir adalah menampung keluhan warga, mendengar pengaduan mereka,” kata Yuyun.
Materi itu kemudian dapat menjadi laporan AICHR kepada ASEAN yang bisa digunakan sebagai basis mengambil langkah atas isu Myanmar. Menurut dia, selama ini rakyat Myanmar belum banyak didengar, padahal merekalah korban utama dalam konflik politik di negara itu.
Ia mengaku gagasan itu tidak mudah diwujudkan. ”Namun, semua peluang perlu diupayakan agar ada lebih banyak kemungkinan untuk menjawab tantangan yang ada,” kata Yuyun.
Sebelumnya, dalam perbincangan via Whatsapp, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Lidya Cristin Sinaga, melihat penting bagi ASEAN untuk lebih melibatkan AICHR serta NGO. Langkah itu, menurut dia, dapat membantu Kamboja untuk tetap mengarusutamakan isu Myanmar sebagai agenda penting ASEAN.
”Salah satu caranya dengan membuka kanal-kanal bagi suara-suara dari NGO di ASEAN serta dengan melibatkan AICHR, termasuk menggunakan masukan atau review dari AICHR sebagai konsiderasi penting bagi pengambilan keputusan di ASEAN terkait Myanmar,” kata Lidya.
Bagi Lidya, faktor keketuaan mempunyai pengaruh besar dalam mendorong suatu agenda di ASEAN. Dengan memanfaatkan mekanisme Troika (ketua ASEAN saat ini, sebelumnya, dan yang akan datang), Indonesia—Ketua ASEAN pada 2023—dilihatnya dapat memberi masukan kepada Kamboja.
”Dengan kondisi internal di ASEAN sendiri yang memang sangat berbeda pemahaman dan derajat penerapan demokrasi di internal negaranya, tidak mudah bagi ASEAN untuk menegakkan demokrasi. Namun, di atas semuanya, sebagai komunitas yang berorientasi dan berpusat pada people of ASEAN, menjadi tanggung jawab ASEAN untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi masyarakat Myanmar dalam prinsip human security. Itu dulu saja bagi saya sebagai entry point kenapa ASEAN perlu menaruh perhatian pada isu Myanmar,” papar Lidya.
Langkah itu menjadi kian penting karena, menurut Lidya, isu Myanmar bukan lagi semata-mata persoalan politik regional. Isu Myanmar sudah menyangkut masalah keamanan regional, termasuk pengungsi Myanmar yang bisa merembes lebih jauh bukan hanya ke Thailand, melainkan juga ke Aceh dan Selangor.
”Cara lain adalah terus memperkuat kesatuan di antara like-minded countries di ASEAN, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Brunei, untuk konsisten mendorong sikap tegas ASEAN dan terutama Kamboja sebagai chair. Ini penting untuk menjaga hubungan dan kepercayaan antara masyarakat Myanmar dan ASEAN sendiri,” kata Lidya.
”Bagi saya, ini lebih penting dilihat implikasinya daripada sibuk bersembunyi di balik alasan ini urusan dalam negeri Myanmar,” tambahnya.