Geliat Para Arkeolog Merekonstruksi Peradaban Mesopotamia Kuno di Irak
Arkeolog menggali peninggalan masa lalu untuk mempelajari kehidupan yang diperkirakan bisa terjadi di masa depan. Di Irak, setelah hampir dua dekade ditinggalkan, situs-situs peradaban kuno kembali mendapat perhatian.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Setelah hampir 20 tahun vakum, arkeolog dari dalam dan luar negeri Irak kembali melakukan ekskavasi di sejumlah tempat di negara itu. Ini pertanda baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Wilayah Irak kerap disebut—setidaknya dulu pernah menjadi—salah satu pusat peradaban dunia. Ekspedisi arkeologi itu diharapkan bisa mengembalikan Irak sebagai titik penting dalam sejarah pembangunan masyarakat global.
Di kota Larsa, Provinsi Dhi Qar, Irak selatan, sebanyak 20 arkeolog sibuk menggali. Mereka adalah tim peneliti gabungan untuk proyek kerja sama Irak dengan Perancis.
Apa benda yang mereka cari? Tablet dari tanah liat bertuliskan aksara Sumeria, yang dikenal dengan istilah cuneiform atau aksara paku. Disebut ”aksara paku” karena cara menuliskannya dengan menggunakan baji yang ditorehkan di atas tanah liat lunak, yang kemudian dikeringkan.
”Lihat! Tablet ini bercerita mengenai Dewa Shamash dan Raja Sin-iddinam. Ia dulu raja di Larsa, Sumer, dan Akkad,” kata Dominique Charpin, arkeolog peradaban Mesopotamia dari College de France. Ia dan timnya bersukacita baru menemukan tablet yang diduga berusia 4.000 tahun.
Larsa adalah ibu kota Kerajaan Mesopotamia sebelum kemudian dipindah ke kota Babilonia pada masa 2.000 tahun sebelum Masehi. Di kota seluas 200 hektar ini, tersimpan peninggalan dari zaman Sumeria, Mesopotamia, Akkad, Kekaisaran Iskandar yang Agung, bangsa Persia, dan masa kerajaan Islam. Vallet menyebut Larsa sebagai ladang arkeologi dan ”surga” untuk eksplorasi Mesopotamia kuno.
”Kami senang sekali bisa kembali ke Larsa. Semua proyek arkeologi terhenti di tahun 2003 ketika pecah Perang Irak dan invasi pasukan Amerika Serikat (AS),” kata Regis Vallet, kepala tim peneliti gabungan tersebut.
Menurut Vallet, tim kembali ke situs bersejarah itu pada tahun 2017 ketika situasi di Irak sudah cukup stabil. Dari tahun itu hingga 2021, mereka sudah menemukan 60 tablet tanah liat yang kini disimpan serta dikaji di Museum Nasional Irak di Baghdad.
Pada saat yang sama, ekskavasi juga dilakukan di kota Al Hira, Provinsi Najaf oleh tim gabungan Irak dan Jerman. Kota itu juga salah satu peninggalan peradaban Mesopotamia walaupun usianya lebih muda dibandingkan Larsa. Di sana, tim sedang menggali peninggalan umat Islam sebagai salah satu pertanda masyarakat zaman dulu bisa hidup berdampingan.
Direktur Dewan Peninggalan Bersejarah dan Warisan Budaya Irak Laith Majid Hussein mengungkapkan rasa gembiranya dengan kembalinya para arkeolog ke Irak. ”Ini tidak hanya baik untuk pengetahuan dunia, tetapi juga dari segi ilmuwan Irak, kapasitas mereka bisa ditingkatkan. Semua pihak diuntungkan dengan ekskavasi-ekskavasi ini,” ujarnya.
Irak, walaupun kaya dengan peradaban kuno, kesulitan untuk mendaftarkannya sebagai Situs Warisan Budaya UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa). Butuh 36 tahun bagi UNESCO Irak untuk melobi UNESCO pusat di Perancis untuk menjadikan Babilonia sebagai salah satu Situs Warisan Budaya Dunia.
Taman Babilonia
Padahal di kota ini, Raja Hammurabi hingga Nebuchadnezzar pernah bertakhta. Tujuh keajaiban dunia, yaitu Taman Tergantung Babilonia, juga berasal dari sini. Usaha UNESCO Irak baru berhasil pada Juli 2019 ketika akhirnya Babilonia masuk ke dalam Situs Warisan Budaya UNESCO.
Kendala masuk dalam daftar UNESCO adalah karena Irak kerap mendapat rapor merah akibat minimnya usaha menjaga dan merawat peninggalan bersejarah mereka. Pemerintahan Saddam Hussein (1979-2003) memang sempat melakukan perbaikan di tahun 1980-an, tetapi tidak dilanjutkan dengan program-program mendalam.
Seperti dilansir dari media Al Monitor, Koordinator UNESCO Irak, Qahtan al-Abeed, mengkhawatirkan Pemerintah Irak sendiri tidak mengutamakan peninggalan-peninggalan kuno. Kecenderungan saat ini ialah pemerintah memilih mengutamakan istana Saddam Hussein sebagai atraksi utama wisata dan sejarah modern di Irak. Dana renovasi situs bersejarah akan dikucurkan untuk perbaikan istana tersebut.
Saddam Hussein membangun sejumlah istana yang sangat mewah ketika ia berkuasa. Arsitekturnya meniru peninggalan-peninggalan kuno Sumeria dan Mesopotamia. Bahkan, masyarakat Irak mengejek Saddam ingin bersaing dengan Raja Nebuchadnezzar untuk soal menghabiskan keuangan negara demi membangun istana.
Di samping itu, konflik berkepanjangan serta invasi AS di tahun 2003 juga membuat situs-situs kuno di Irak menjadi sangat rentan. Museum Nasional Inggris (British Museum) menurunkan pakar ke sejumlah titik kuno pada tahun 2015. Laporan mereka mengungkapkan, jalan-jalan di Babilonia yang berusia 2.600 tahun remuk akibat dilalui tank-tank militer AS.
Terdapat pula sengketa antara Kementerian Pariwisata dan Warisan Budaya Irak dengan Kementerian Perminyakan Irak. Sebab, di bawah kota Babilonia dilewati pipa-pipa minyak. Hingga kini, belum ada keputusan, apakah jalur itu akan dialihkan atau dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu perawatan situs Babilonia. (AFP)