Kedutaan Besar China di Indonesia mengirimkan pernyataan tertulis hak jawab atas ucapan Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu yang disampaikan dalam wawancara dengan Kompas pada akhir tahun 2021.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedutaan Besar China di Indonesia menyatakan ”penentangan tegas” terhadap ucapan Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu dalam wawancara eksklusifnya dengan Kompas pada Desember 2021. Menggunakan hak jawab mereka, China menjelaskan bahwa konsep kemerdekaan dan kedaulatan yang dikemukakan oleh Wu melanggar prinsip Satu China yang diakui oleh hampir semua negara di dunia.
Hak jawab itu diberikan pada Selasa (11/1/2022) atas nama Juru Bicara Kedutaan Besar China di Indonesia tanpa menyebut nama pejabat secara spesifik. Pernyataan itu menyebut Wu bukan sebagai Menteri Luar Negeri Taiwan, melainkan Kepala Bagian Urusan Luar Negeri Pihak Penguasa Taiwan.
”Dia mempropagandakan pikiran separatis Taiwan secara terbuka, dengan tujuan membingungkan masyarakat, memutarbalikkan fakta, menyesatkan masyarakat internasional merusak hubungan persahabatan Tiongkok dengan negara lain, dan melanggar Prinsip Satu Tiongkok dengan serius,” demikian Kedubes China melalui pernyataan tertulis tersebut.
Wawancara Kompas dengan Wu, yang digelar atas undangan Taiwan, dilakukan melalui telewicara dari Kantor Perwakilan Ekonomi dan Perdagangan Taiwan di Jakarta, 16 Desember 2021. Seperti dimuat pada edisi 17 Desember 2021, Wu menegaskan, Pemerintah Taiwan menegaskan akan terus memegang prinsip demokrasi. Untuk itu, Taiwan berharap dukungan komunitas internasional untuk menjaga sistem pemerintahan dan cara hidup tersebut.
Wu menekankan, prinsip demokrasi menjadi landasan utama bangsa Taiwan. Dalam wawancara tersebut, Wu juga menyoroti intrusi pesawat-pesawat militer China melintasi batas pertahanan udara Taiwan. Hal itu, menurut Wu, mengancam kedaulatan Taiwan yang selama ini menyatakan sebagai entitas terpisah dari China.
Dalam pernyataan tertulis hak jawabnya, Kedubes China menjelaskan bahwa dalam prinsip Satu China, yang dianggap sebagai ”satu-satunya pemerintah sah” adalah Pemerintah Republik Rakyat China (RRC). Sebanyak 180 negara di dunia mengakui prinsip ini dan menjalin hubungan diplomatik dengan RRC.
Oleh sebab itu, Taiwan atau yang secara resmi menggunakan nama ”Republik China” dalam konteks ini merupakan bagian wilayah RRC. Dengan demikian, hubungan sejumlah negara dengan Taiwan tidak bersifat diplomatik.
Negara-negara yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan, lanjut pernyataan Kedubes China, memutuskan atas kesadaran sendiri. Pernyataan itu juga menjabarkan bahwa Partai Progresif Demokrat (DPP), partai yang berkuasa di Taiwan saat ini, melanggar Konsensus 1992. Mereka gencar mengampanyekan semangat kemerdekaan yang oleh Beijing dinilai sebagai aksi separatis.
Pemerintahan Taiwan dibangun orang-orang yang melarikan diri dari China daratan ketika Partai Komunis China (PKC) pimpinan Mao Zedong memenangi pemilihan umum pada 1949. Kala itu Pemerintah Republik China yang dipimpin Chiang Kai-shek pindah ke Pulau Taiwan. Sementara PKC mendirikan Republik Rakyat China di China daratan.
Kedubes China mengatakan, pihak Taiwan selalu berkolusi dengan pihak asing untuk menyebarluaskan sentimen anti-RRC. Ini akhirnya mengganggu stabilitas di Selat Taiwan yang kemudian membuat RRC berinisiatif melakukan berbagai latihan Tentara Pembebasan Rakyat di wilayah tersebut. Tujuannya, demi menjaga stabilitas dan integritas China serta mengusir kekuatan asing.
Mempersatukan China adalah tren evolusi sejarah China dan kehendak semua rakyatnya, demikian ditegaskan dalam pernyataan Kedubes China. ”Sejarah dan kenyataan telah berulang kali menunjukkan bahwa ’kemerdekaan Taiwan’ adalah jalan buntu, dan tidak ada seseorang pun atau kekuatan apa pun yang dapat menghentikan tren sejarah penyatuan kembali Tiongkok dan peremajaan besar bangsa Tiongkok,” lanjut pernyataan itu.
Di tengah tekanan Beijing, Taiwan semakin mendekat ke Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Ini sebuah fenomena yang, menurut Wu, sudah bisa diperkirakan karena bangsa-bangsa demokratis pasti akan berkumpul bersama.
Pada saat yang sama, Taiwan kehilangan negara-negara sahabat, seperti Nikaragua, Kepulauan Solomon, dan Kiribati. Taiwan menyayangkan hal ini, tetapi juga memaklumi karena negara-negara yang berpisah itu sistem pemerintahannya semakin jauh dari nilai demokrasi.
Sejak 2016, dari 21 negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan, tujuh negara memutuskan hubungan dan beralih kepada China. ”Kami memercayai bahwa diplomasi Taiwan yang menekankan pada konteks pemberdayaan masyarakat lokal di masa depan akan dilihat masyarakat global sebagai sebuah kekuatan dan kepercayaan,” kata Wu.